Mudanews.com – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat dan menimbulkan perdebatan sengit di ruang publik. Usulan ini pertama kali digulirkan oleh pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada September 2024 dan kini telah memasuki tahap peninjauan akhir oleh pemerintah menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025.
Rencana tersebut memunculkan dua arus besar: mereka yang mendukung atas dasar jasa pembangunan dan pengabdian Soeharto terhadap bangsa, serta mereka yang menolak dengan alasan rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia dan praktik otoritarianisme selama Orde Baru.
Sejumlah politisi dan tokoh masyarakat menyatakan Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional. Mereka menilai, jasa Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan dan masa awal pemerintahan tak bisa dihapus dari sejarah bangsa.
Soeharto dikenal pernah terlibat dalam operasi militer pembebasan Irian Barat serta pembangunan ekonomi yang dianggap membawa stabilitas pada era 1970–1980-an.
“Kita tidak boleh terus mewariskan dendam sejarah. Soeharto adalah bagian dari perjalanan bangsa yang perlu dikenang,” ujar seorang pimpinan MPR RI, dikutip dari Antara.
Keluarga Soeharto pun menyambut hangat usulan tersebut. Siti Hediati Hariyadi, atau Titiek Soeharto, mengatakan, “Bagi kami, Pak Harto sudah pahlawan bagi jutaan rakyat yang mencintainya. Penghargaan negara hanya bentuk pengakuan resmi.”
Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada April 2025 juga menyebut bahwa secara administrasi, syarat pengajuan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah terpenuhi.
Namun dukungan itu berhadapan dengan gelombang penolakan dari kalangan akademisi, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai usulan tersebut mengabaikan catatan kelam masa Orde Baru.
Berbagai organisasi HAM menegaskan bahwa rezim Soeharto meninggalkan luka mendalam: pembunuhan massal 1965–1966, Tragedi Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, kekerasan di Aceh dan Papua, hingga kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan ratusan orang.
“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan korban pelanggaran HAM,” ujar perwakilan Amnesty International Indonesia, dikutip dari Rakyat.News.
Selain itu, sejumlah sejarawan menilai pemberian gelar tersebut berpotensi merevisi sejarah dan memutihkan pelanggaran masa lalu. “Pahlawan nasional harus memiliki integritas moral tanpa cacat dalam kejahatan kemanusiaan. Soeharto tidak memenuhi kriteria itu,” tulis Kompas.id dalam laporannya.
Lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil pun menandatangani petisi menolak gelar pahlawan bagi Soeharto, dan meminta pemerintah memprioritaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebelum memberikan penghargaan.
Hingga awal November 2025, nama Soeharto dikabarkan masuk dalam daftar 40 calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang tengah dipertimbangkan pemerintah. Keputusan final akan diumumkan pada 10 November, bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Istana Negara menyebut proses ini masih dalam tahap kajian mendalam. “Pemerintah menilai seluruh aspek historis, hukum, dan moral secara hati-hati,” kata juru bicara pemerintah dalam konferensi pers di Jakarta.
Catatan redaksi: terlepas dari keputusan akhir nanti, wacana Soeharto sebagai pahlawan nasional telah membuka kembali ruang diskusi publik tentang bagaimana bangsa ini mendefinisikan kata pahlawan. Apakah ia diukur dari pembangunan dan stabilitas, atau dari keberanian menegakkan kemanusiaan dan keadilan?
Keputusan pemerintah nanti tak hanya menentukan gelar bagi satu tokoh, tetapi juga arah bagaimana Indonesia mengenang masa lalunya.
Redaksi Mudanews.com
