Apa yang Sudah Disepakati Secara Politik, Jangan Pernah Diperdebatkan Secara Estetis

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto ,Pengamat dan Pemerhati sosial politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Kutipan ini terdengar sederhana, namun menyimpan kedalaman filosofi politik yang tajam. Sukarno bukan sekadar berbicara tentang politik dalam arti kekuasaan, melainkan tentang konsensus nasional — tentang keputusan yang lahir dari proses sejarah dan perjuangan kolektif bangsa.

Dalam kalimat itu, tersirat pesan bahwa politik adalah ruang keputusan bersama, sementara estetika adalah ruang perasaan dan selera pribadi. Ketika sesuatu sudah diputuskan melalui mekanisme politik — baik melalui musyawarah, konstitusi, atau konsensus nasional — maka ia tidak boleh digoyahkan oleh perdebatan subjektif yang bersifat rasa, selera, atau penampilan.

1. Politik Adalah Ranah Keputusan Kolektif

Politik, bagi Sukarno, bukan sekadar pertarungan partai atau jabatan. Politik adalah arena penentuan arah bangsa.
Ketika sebuah keputusan sudah melewati proses politik — artinya ia sudah melalui pertimbangan realitas sosial, kepentingan rakyat, dan kompromi di antara berbagai kekuatan.

Maka, keputusan politik sejatinya adalah hasil tertinggi dari musyawarah bangsa.
Ia mungkin tidak sempurna, tapi ia adalah hasil dari proses yang disepakati bersama.

Dalam konteks itu, memperdebatkan keputusan politik dengan alasan estetis — misalnya karena “tidak indah”, “tidak sesuai selera”, atau “terlihat jelek di mata dunia” — adalah bentuk ketidakdewasaan politik.

2. Estetika: Ranah Subjektif, Bukan Kebenaran

Estetika menyentuh rasa: apa yang indah, pantas, atau elok.
Namun rasa keindahan selalu relatif dan personal.
Apa yang indah bagi satu kelompok bisa dianggap buruk oleh kelompok lain.

Sukarno mengingatkan bahwa jika urusan politik — yang menyangkut nasib rakyat — dibiarkan dipengaruhi oleh selera estetika, maka bangsa akan terjebak dalam perdebatan yang tiada akhir.

“Negara tidak bisa dibangun dengan perasaan, tetapi dengan keputusan.”

Dengan kata lain, Sukarno menegaskan bahwa politik membutuhkan keberanian mengambil keputusan, bukan sekadar menyenangkan mata atau telinga rakyat.

3. Konteks Historis: Politik di Atas Segalanya

Ungkapan ini diduga muncul dari masa ketika Sukarno sedang menghadapi berbagai perdebatan ideologis di awal 1960-an — masa ketika politik Indonesia berupaya mencari bentuk antara Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin.

Banyak kaum intelektual dan seniman saat itu mengkritik langkah-langkah politik Sukarno sebagai “tidak estetis” — tidak indah, terlalu keras, terlalu simbolik, bahkan teatrikal.
Namun bagi Sukarno, semua langkah itu adalah keputusan politik yang diperlukan untuk menjaga revolusi tetap hidup.

Ia memahami bahwa kadang “keindahan revolusi” tidak tampak dalam bentuk yang rapi, tapi dalam keberanian untuk bertindak meski tampak kacau bagi mata estetika.

4. Makna Filsafat Politik: Antara Rasionalitas dan Simbol

Kalimat Sukarno juga mengandung pelajaran filsafat politik modern: bahwa politik harus rasional, estetika harus emosional — dan keduanya tidak boleh saling menggantikan.

Ketika keputusan politik dihakimi dengan ukuran estetika, maka rasionalitas publik akan tergantikan oleh romantisme dan simbolisme kosong.
Sebaliknya, jika estetika dipolitisasi, maka seni kehilangan kebebasannya.

Sukarno ingin menjaga keseimbangan:

Keputusan politik harus dijalankan dengan disiplin,
sementara estetika dibiarkan menjadi inspirasi, bukan alat penentang.

5. Relevansi Zaman Sekarang

Kutipan ini terasa sangat relevan di masa kini, ketika perdebatan publik sering kali kehilangan batas antara substansi dan citra.

Orang lebih memperdebatkan tampilan calon pemimpin, bukan gagasannya.

Lebih sibuk menilai kemasan kebijakan, bukan dampaknya.

Lebih ramai menertawakan retorika politik, daripada memeriksa hasilnya.

Kita hidup di zaman di mana politik sering diseret ke ruang estetika: yang penting tampak bagus di media sosial, terlihat elegan di depan kamera, terdengar bijak di panggung debat — meskipun tanpa isi.

Padahal Sukarno mengingatkan:

Politik adalah ruang keputusan, bukan ruang penampilan.

6. Kesimpulan: Kebijaksanaan dalam Kerasnya Realitas

Kutipan Sukarno mengajarkan kita tentang kedewasaan berpikir dan keberanian bernegara.
Bahwa tidak semua keputusan politik akan tampak indah.
Ada kalanya keputusan itu keras, getir, bahkan “tidak enak dilihat” — tetapi diperlukan demi masa depan bangsa.

Keindahan sejati dari politik bukan pada bentuknya,
tetapi pada niat dan hasilnya untuk rakyat.

Maka benar kata Bung Karno:

“Apa yang sudah disepakati secara politik, jangan pernah diperdebatkan secara estetis.”
Sebab di balik politik yang tampak kaku dan kasar,
terkadang tersembunyi keindahan tertinggi:
keberanian untuk bertanggung jawab.

Berita Terkini