Oleh Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht.
Mudanews.com-Opini | Tulisan ini di sajikan dalam menyambut Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2025, untuk mengulik keperdulian anak muda terhadap sejarah Bangsanya menuju masa depan yang lebih baik.
𝐆𝐞𝐥𝐨𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐚𝐫𝐮 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝐌𝐮𝐝𝐚
Indonesia tengah berada di ambang babak baru dalam sejarah politiknya. Dalam satu dekade terakhir, dua generasi — Milenial dan Gen Z — muncul sebagai kekuatan sosial dan politik yang menentukan arah perubahan.
Mereka bukan lagi sekadar penonton di tribun demokrasi, melainkan pemain utama yang jumlahnya mendominasi dan suaranya bergaung di ruang publik, terutama di dunia digital.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat bahwa dalam Pemilu 2024, sekitar 55 persen pemilih Indonesia berasal dari kelompok usia muda (KPU, 2024).
Angka ini akan terus meningkat menjelang 2029, ketika seluruh Gen Z sudah mencapai usia dewasa dan menjadi pemilih aktif. Artinya, masa depan politik Indonesia akan bergantung pada bagaimana generasi muda ini memaknai kekuasaan, integritas, dan arah kebijakan publik.
Namun, kebangkitan ini tidak datang dalam ruang hampa. Ia lahir dari ketidakpuasan terhadap status quo, dari rasa jenuh terhadap politik lama yang dianggap penuh drama kekuasaan, janji kosong, dan jarak dengan rakyat.
Generasi muda tumbuh di tengah derasnya arus informasi, transparansi digital, dan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik.
Dari sinilah, muncul tanda-tanda bahwa 2029 bukan hanya soal pergantian pemimpin, tetapi juga pergeseran paradigma politik nasional.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐨𝐧𝐭𝐨𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐀𝐤𝐭𝐨𝐫: 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝟐𝟎𝟏𝟗–𝟐𝟎𝟐𝟒
Periode 2019–2024 menjadi fase penting bagi pembentukan kesadaran politik kaum muda.
Di masa ini, berbagai gerakan sosial seperti aksi penolakan RUU bermasalah, isu lingkungan, dan desakan antikorupsi banyak digerakkan oleh mahasiswa dan aktivis muda.
Mereka tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga menggerakkan opini publik melalui media sosial — dari Twitter hingga TikTok.
Fenomena politik digital ini melahirkan aktivisme baru: tidak selalu dalam bentuk organisasi formal, tetapi dalam jejaring yang cair, spontan, dan viral.
Tagar menjadi simbol perlawanan, unggahan menjadi bentuk partisipasi, dan konten kreatif menjadi alat membangun kesadaran politik kolektif.
Namun, di sisi lain, survei Indikator Politik Indonesia (2021) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan anak muda terhadap partai politik hanya sekitar 32,6 persen. Sementara lembaga seperti TNI, Presiden, dan KPK memperoleh kepercayaan yang jauh lebih tinggi (Republika, 2023).
Ini menandakan jurang antara semangat politik generasi muda dan lembaga politik konvensional yang seharusnya menampung aspirasi mereka.
Generasi ini sadar politik, tetapi enggan terlibat secara formal. Mereka kritis, tetapi skeptis terhadap partai. Di sinilah paradoks besar muncul: mereka mencintai gagasan demokrasi, tetapi kecewa pada para pelakunya.
𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐆𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐢𝐥𝐞𝐧𝐢𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧 𝐙
Berbeda dari generasi sebelumnya, Milenial dan Gen Z lahir di tengah dunia digital. Mereka digital-native, terbiasa dengan kecepatan informasi, transparansi, dan kebebasan berekspresi.
Dalam konteks politik, hal ini membentuk karakter yang sangat khas: mereka menuntut kejujuran, autentisitas, dan konsistensi.
Generasi muda tidak mudah percaya pada retorika yang indah tanpa bukti nyata. Janji kosong cepat terdeteksi, dan setiap inkonsistensi bisa viral dalam hitungan jam.
Mereka menghargai isu konkret seperti lingkungan hidup, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan antikorupsi — bukan sekadar loyalitas terhadap figur atau partai.
Dalam banyak studi, termasuk yang dilakukan oleh CSIS Indonesia (2022) dan Siregar & Lubis (2022), generasi muda cenderung memilih berdasarkan issue-based politicization, bukan patronase atau tradisi politik keluarga.
Mereka terbuka pada kandidat dari berbagai latar belakang, selama kandidat itu menunjukkan integritas dan relevansi dengan nilai mereka.
Namun, idealisme ini memiliki sisi rentan. Dukungan mereka mudah bergeser bila ada indikasi kekecewaan atau pengkhianatan janji.
Di dunia digital, citra bisa runtuh secepat ia dibangun. Karena itu, para aktor politik yang berharap meraih simpati generasi muda harus siap menghadapi publik yang kritis, cerdas, dan cepat berubah.
𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝟐𝟎𝟐𝟗: 𝐏𝐨𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐚𝐧𝐠𝐤𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐆𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐁𝐚𝐫𝐮
Menjelang Pemilu 2029, demografi politik Indonesia akan berubah drastis. Proyeksi menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pemilih akan berasal dari Milenial dan Gen Z.
Jika dalam Pemilu 2024 kekuatan mereka sudah terasa, maka di 2029 mereka akan menjadi faktor penentu kemenangan.
Potensi ini bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga dalam arah ideologis dan perilaku politik. Generasi muda tidak lagi puas hanya menjadi objek kampanye. Mereka ingin menjadi subjek yang ikut merumuskan kebijakan, mengontrol kekuasaan, dan mengawasi kinerja pejabat publik.
Namun, kebangkitan ini juga menghadapi sejumlah tantangan besar:
1. Apatisme dan skeptisisme politik. Sebagian anak muda memilih menjauh dari politik formal karena merasa tidak ada yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Fenomena golput idealis masih menjadi ancaman bagi tingkat partisipasi.
2. Disinformasi dan polarisasi digital. Ruang media sosial yang menjadi arena utama kaum muda juga rentan terhadap hoaks, manipulasi narasi, dan ujaran kebencian.
3. Populisme dangkal. Di tengah derasnya arus informasi, politik viral kadang lebih menonjol daripada substansi. Hal ini bisa mengaburkan perbedaan antara kejujuran dan pencitraan.
Meski begitu, peluang untuk transformasi politik tetap besar. Partai-partai yang mampu mengadopsi nilai-nilai baru seperti transparansi, partisipasi dua arah, dan integritas digital berpotensi besar mendapatkan dukungan elektoral yang signifikan.
𝐈𝐦𝐩𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐁𝐚𝐫𝐮 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝟐𝟎𝟐𝟗
Kebangkitan politik generasi muda memaksa partai lama dan calon pemimpin untuk meninjau ulang cara mereka berinteraksi dengan publik. Pendekatan paternalistik dan komunikasi satu arah tidak lagi relevan.
Beberapa strategi yang mulai terlihat efektif antara lain:
– Fokus pada isu konkret. Generasi muda lebih peduli pada kebijakan nyata ketimbang jargon. Isu seperti perubahan iklim, korupsi, pemerataan ekonomi, dan keadilan sosial jauh lebih menggugah dibanding janji populis.
– Kampanye digital yang autentik. Keberhasilan kampanye tidak lagi diukur dari jumlah baliho atau spanduk, melainkan dari interaksi digital yang jujur dan bermakna. Kandidat yang mampu berkomunikasi langsung dengan pemilih muda melalui media sosial dengan gaya egaliter akan unggul.
– Pelibatan anak muda dalam proses politik. Tidak cukup hanya menjadikan mereka sasaran kampanye. Mereka harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, riset publik, hingga tim komunikasi politik.
– Transparansi dan integritas personal. Dalam ekosistem politik digital, setiap kesalahan bisa menjadi bumerang. Karena itu, kredibilitas menjadi modal utama.
Para pengamat menilai, politik 2029 akan menjadi ujian bagi institusi politik Indonesia. Jika partai-partai lama gagal beradaptasi, akan muncul kekuatan baru — partai muda, gerakan independen, atau koalisi sipil yang lahir dari akar digital.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩 – 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐤𝐞𝐩𝐭𝐢𝐬𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧
Kebangkitan politik Milenial dan Gen Z bukan hanya tentang angka demografis, tetapi tentang perubahan paradigma demokrasi.
Generasi ini membawa energi baru: kritis, berani, dan idealis, namun juga pragmatis dan adaptif. Mereka menuntut politik yang lebih bersih, transparan, dan berorientasi pada solusi.
Jika perubahan ini dikelola dengan baik, maka 2029 bisa menjadi tonggak transformasi politik Indonesia. Namun, jika aspirasi mereka kembali diabaikan, maka generasi muda yang kini haus partisipasi bisa berubah menjadi generasi yang sinis terhadap demokrasi.
Akhirnya, kebangkitan ini bukan semata tentang siapa yang menang atau kalah dalam pemilu, melainkan tentang bagaimana politik Indonesia menemukan wajah barunya — politik yang lebih jujur, terbuka, dan manusiawi.
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
– Antaranews. (2023, July 9). KPU khawatir indeks kepercayaan anak muda terhadap parpol masih rendah. https://www.antaranews.com/berita/3467814
– CSIS Indonesia. (2022). Pemilih muda dalam pemilihan umum 2024. https://s3-csis-web.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/doc/Pemilih_Muda_Dalam_Pemilihan_Umum_2024.pdf
– Indikator Politik Indonesia. (2021). Survei nasional: Kepercayaan publik terhadap lembaga politik dan demokrasi.
– Komisi Pemilihan Umum (KPU). (2024, January 4). 55% pemilih didominasi generasi muda bantu KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. https://www.kpu.go.id/berita/baca/11684
– Republika. (2023, September 10). Survei: Anak muda tak percaya parpol. https://www.republika.id/posts/15179/survei-anak-muda-tak-percaya-parpol
– Setkab RI. (2023, July 10). Moderasi dan modernisasi pemilu dalam perspektif generasi muda. https://setkab.go.id
– Siregar, R., & Lubis, A. (2022). Idealisme politik generasi milenial: Optimisme dan pesimisme generasi muda dalam dinamika politik kontemporer. Sosial Humaniora: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 6(2), 115–129.
– Tufekci, Z., & Wilson, C. (2012). Social media and the decision to participate in political protest: Observations from Tahrir Square. Journal of Communication, 62(2), 363–379.
– Zhang, Y., & Pan, J. (2023). Casual social media use among the youth: Effects on online and offline political participation. arXiv preprint arXiv:2312.10095.
[Red]

