Program Lima Hari Sekolah Dinilai Tidak Manusiawi, Franky Partogi Minta Pemprov Sumut Evaluasi

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Simalungun | Sejumlah orang tua murid di Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun menyampaikan keluhan terhadap kebijakan program lima hari sekolah yang mulai diterapkan di Sumatera Utara sejak Juni 2025. Mereka menilai kebijakan tersebut membuat siswa kelelahan dan kehilangan waktu untuk beristirahat, beribadah, maupun mengikuti kegiatan pengembangan diri di luar jam belajar.

Keluhan ini disampaikan masyarakat dalam kegiatan Reses Masa Sidang I Tahun Sidang II 2025–2026 Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Fraksi PDI Perjuangan, Franky Partogi Wijaya Sirait yang dilaksanakan pada 5 hingga 14 Oktober 2025 di daerah pemilihan Siantar–Simalungun.

Salah satu aspirasi datang dari Pendeta Dr. Zahara Sitinjak warga Kelurahan Sukadame, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar.

“Waktu belajar lima hari sangat membebani anak-anak kami. Mereka sering pulang pukul tujuh malam dan langsung tertidur karena kelelahan, bahkan sulit dibangunkan untuk makan malam. Kami berharap kebijakan ini dikaji ulang, karena sistem enam hari sekolah sebelumnya lebih manusiawi dan memperhatikan kesehatan mental anak,” ujar Zahara.

Keluhan serupa disampaikan Ibu Yohana Nababan, warga Nagori Rambung Merah, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun.

“Anak-anak jadi cepat lelah, dan kegiatan lain seperti les maupun ibadah gereja sering terabaikan. Kami berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan ini karena beban yang berat bisa memicu stres, baik secara fisik maupun mental,” ungkap Yohana.

Tak hanya dari kalangan orang tua, sejumlah siswa SMA Negeri 1 Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, juga turut menyampaikan keluhan serupa. Mereka mengaku kebijakan lima hari sekolah membuat sebagian orang tua khawatir karena ponsel mereka ditahan selama jam belajar, sehingga komunikasi menjadi terhambat.

“Kadang orang tua ingin memberi kabar penting, tapi kami tidak bisa dihubungi karena HP ditahan guru. Angkot kesana juga jarang,Apalagi ada teman-teman kami yang rumahnya jauh di Hutabayu raja dan harus pulang sore, tentu orang tua cemas saat mau menjemput dan tidak bisa memastikan keadaan anaknya saat pulang naik apa dan sudah dimana ,”
ujar salah satu siswa dalam dialog bersama Franky dalam sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Franky menjelaskan bahwa dasar penerapan program ini adalah Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/435/KPTS/2025 tentang Penetapan Lima Hari Sekolah pada Satuan Pendidikan di Provinsi Sumatera Utara.
Ia menilai, setelah berjalan selama lima bulan, sudah sepatutnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak kebijakan tersebut di lapangan.

“Kita memandang tujuannya baik, yakni efisiensi waktu belajar serta pencegahan tawuran, geng motor, dan penyalahgunaan narkoba. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan dampak psikologis, sosial, dan keamanan anak-anak di lapangan. Aspirasi ini akan saya sampaikan secara resmi kepada Pemprov Sumut untuk dilakukan kajian mendalam,” ujar Franky.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pendidikan yang bermartabat tidak hanya diukur dari lamanya waktu belajar, tetapi juga dari keseimbangan antara akademik, istirahat, kehidupan sosial, dan pembentukan karakter anak.

“Jangan sampai semangat meningkatkan kualitas pendidikan justru mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan anak. Kita ingin anak-anak tumbuh sehat, bahagia, dan menjadi manusia yang bermartabat di dunia pendidikan,” tegasnya.

Selain isu lima hari sekolah, kegiatan reses yang digelar Franky di berbagai titik di Siantar dan Simalungun juga diwarnai beragam aspirasi masyarakat lainnya. Di antaranya, perbaikan infrastruktur jalan dan drainase, pengadaan lampu penerangan jalan di kawasan rawan kriminalitas, keluhan terhadap kualitas Program Makan Bergizi Gratis, serta usulan pemberian insentif bagi pendeta, guru ngaji, dan tokoh agama tanpa membedakan latar keyakinan.

“Semua aspirasi ini menunjukkan bahwa masyarakat ingin kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kesejahteraan dan ketenangan hidup warga, tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik,” tutup Franky.***(Red)

Berita Terkini