MUDANEWS.COM, CIANJUR – Hingga pertengahan Oktober 2025, RAPBD Tahun Anggaran 2026 belum juga disampaikan oleh Bupati kepada DPRD, sebagaimana diakui sejumlah anggota legislatif.
Padahal, menurut Permendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026 dan Lampiran Permendagri 77 Tahun 2020, setelah KUA PPAS disepakati, Raperda APBD disampaikan ke DPRD paling lambat minggu ketiga atau keempat Oktober. Artinya, Cianjur melampaui jadwal yang ditetapkan Kemendagri.
Keterlambatan ini bukan sekadar kelalaian administratif. Tapi lebih ke lemahnya disiplin fiskal, buruknya manajemen birokrasi, dan indikasi kuat adanya motif politik eksekutif untuk mempersempit waktu pembahasan DPRD.
Dengan keterlambatan seperti ini, DPRD kehilangan waktu menelaah substansi dan terpaksa membahas RAPBD secara terburu-buru. Alhasil, fungsi kontrol legislatif tereduksi menjadi formalitas, dan keputusan anggaran lebih ditentukan oleh kehendak eksekutif ketimbang hasil pembahasan yang partisipatif.
Fenomena ini berulang dari tahun ke tahun, menjadi pola sistemik yang menggerus akuntabilitas publik.
Birokrasi Longgar, Kepemimpinan Lemah
Masalah utamanya bukan hanya jadwal yang molor, tetapi lemahnya kendali kepala daerah terhadap TAPD. Informasi yang kita dapat, penyebab utamanya adalah banyak perangkat daerah terlambat menyusun RKA-SKPD, dampak dari koordinasi buruk, data tak siap, dan adanya tarik-menarik kepentingan.
Padahal, Pasal 89 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019 secara tegas mewajibkan kepala daerah menyusun KUA dan PPAS berdasarkan RKPD dan pedoman Kemendagri.
Dengan melanggar tahapan waktu ini, Cianjur telah mengabaikan prinsip akuntabilitas fiskal nasional dan memperlihatkan lemahnya kepemimpinan daerah dalam menegakkan aturan penganggaran.
Waktu Diperpendek, Kontrol Publik Dihilangkan
Keterlambatan penyampaian RAPBD bukan hanya mempersempit ruang kerja DPRD, tetapi juga menutup peluang partisipasi publik. Dalam kondisi ideal, pembahasan RAPBD dilakukan secara terbuka melalui dengar pendapat, konsultasi publik, dan pengujian program prioritas. Namun ketika waktu dipersempit, semua proses partisipatif dikorbankan demi formalitas persetujuan.
Akibatnya sudah dapat kita tebak, yaitu akan banyak program publik lolos tanpa evaluasi, sementara alokasi belanja birokrasi, akan lolos tanpa tanpa koreksi.
Asep Toha, Direktur Politic Social and Local Government Studies (Poslogis)