LBH BEM PTNU SE-NUSANTARA: Tayangan Trans7 Bukan Sekadar Konten, Melainkan Dugaan Kejahatan Naratif yang Terstruktur

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama Se-Nusantara (LBH BEM PTNU Se-Nusantara) menilai tayangan Trans7 yang memuat narasi bernuansa pelecehan terhadap Pondok Pesantren dan Kyai bukanlah sekadar kelalaian jurnalistik, melainkan mengandung indikasi kuat terjadinya kejahatan naratif yang terstruktur, berupa kekerasan simbolik dan ujaran kebencian terselubung terhadap lembaga pendidikan Islam dan Figur-figur yang dihormati.

Abdul Sahid selaku LBH BEM PTNU Se-Nusantara menegaskan bahwa framing dalam tayangan tersebut mengandung unsur pelanggaran hukum positif, pelanggaran etika penyiaran, serta tindakan yang merendahkan nilai-nilai keagamaan dan pendidikan Islam.

LBH BEM PTNU memandang bahwa narasi yang dibangun dalam tayangan tersebut tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam:

Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, Pasal 156 KUHP tentang Penistaan terhadap Golongan, Serta Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

“Kami tidak melihat tayangan tersebut sebagai kesalahan redaksional semata, tetapi sebagai indikasi adanya Niat Jahat (mens rea) dalam konstruksi pesan yang secara sistematis membentuk opini publik negatif terhadap pesantren. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan serangan terhadap martabat lembaga pendidikan Islam dan figur-figur keagamaan yang dihormati oleh warga Nahdliyin,” tegas Abdul Sahid pada awak media

LBH BEM PTNU menilai bahwa tayangan tersebut mencerminkan bentuk kekerasan epistemik, di mana media secara sistematis merampas hak pesantren untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Narasi yang dihadirkan tidak memberi ruang bagi kebenaran yang lahir dari pengalaman dan tradisi internal pesantren, melainkan menanamkan stigma dan distorsi yang merusak citra lembaga pendidikan Islam.

Dalam khazanah pesantren, menghormati Kyai bukanlah formalitas seremonial, melainkan disiplin batin yang meneguhkan hubungan antara ilmu dan adab. Menunduk bukan tanda takut, melainkan kesadaran spiritual bahwa ilmu tidak akan bersemayam di hati yang sombong. Tradisi ini telah hidup berabad-abad, menjadi sumber moral bangsa jauh sebelum kamera dan layar kaca belajar menilai dengan perspektif sempit.

Namun dalam tayangan Xpose Uncensored Trans7, makna luhur tersebut direduksi secara dangkal. Santri yang beradab disebut penurut, tawadhu‘ dianggap pasrah, dan takzhim disalahartikan sebagai fanatisme.

“Inilah luka epistemik yang paling dalam ketika adab dijadikan bahan tontonan, dan kebijaksanaan yang tumbuh dari kultur pesantren diseret ke ruang sensasi,” (lanjut Abdul Sahid)

LBH BEM PTNU menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak hanya merusak citra pesantren, tetapi juga memperlihatkan kecenderungan diskriminatif terhadap tradisi Islam Nusantara, yang selama ini menjadi pilar pembentuk moralitas bangsa.

Adapun yang menjadi tuntutan LBH BEM PTNU PTNU Se- Nusantara Sebagai berikut : 

1. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk segera membuka penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana yang timbul dari tayangan dimaksud, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

2. Menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjatuhkan sanksi administratif tertinggi terhadap Trans7, serta melakukan audit menyeluruh terhadap sistem produksi dan mekanisme editorial program yang bersangkutan, guna memastikan kepatuhan terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

3. Mendorong Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk memperkuat pengawasan lintas-lembaga terhadap konten media yang berpotensi melecehkan budaya, tradisi, serta simbol-simbol keagamaan masyarakat.

4. Mengimbau seluruh media nasional untuk menegakkan prinsip etika jurnalistik, menjunjung tinggi keberagaman tradisi keagamaan, dan mengedepankan tanggung jawab moral dalam setiap karya penyiaran.

Tindakan reflektif dan evaluatif terhadap media tidak semata bertujuan menghukum, melainkan untuk memastikan bahwa ruang publik tetap menjadi medan pencerdasan, bukan sarana pembentukan stigma.**(Red)

Berita Terkini