Sengkarut Migas (1): Mosi Hak Lokal dan Negara yang Tergadai

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Joni

Mudanews.com-Opini | Ahoi. Daku anak Melayu dari Langkat — tanah minyak yang pernah menyala seperti doa yang tak pernah padam. Di Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara,  di bawah langit yang masih menyimpan bau aspal dan nostalgia, pernah berdiri kilang minyak pertama republik ini.

Tahun 1883, Aeliko Zijlker, orang Belanda ahli tembakau, menemukan cairan hitam dari rahim bumi Telaga Said. Di sanalah, di bawah izin Sultan Musa, minyak pertama Indonesia mengalir deras, saksi bahwa negeri ini sejak mula kaya: punya daya, punya hak, dan punya harga diri.

Kini kilang itu dimatikan, dan sunyi.  Pipa-pipa jumbo yang dulu mendesah bahlan episentrum kehidupan, alahai berkarat dan membisu. Rumah karyawan (Puraka) Pertamina yang dulu megah berdiri,  kini seperti candi kenangan — kosong, pengap, ditinggalkan, dilelang negara sendiri. Warga lokal hanya tersenyum getir, menyebutnya seakan “museum Pertamina”, tempat sejarah dikubur bersama kejayaan yang tak diwariskan.

Kota minyak itu telah kehilangan jantungnya. Bak pepatah: Habis manis, sepah dibuang. Mungkin benar pepatah Melayu lama: “Kaya sebentar, miskin berlama. Amba yakin itu salah, karena sumur tua mintak Langkat tidak mati. Tak nihil kandungan terbukti. Bisa tersebab karena malas-malasan, meminjam istilah Menteri Keuangan Purbaya, mengeritik Pertamina lama tak membangun kilang.

Dari Lokal ke Nasional, Lalu Dibelah Lagi

Sejarah adalah guru yang jujur, sekaligus saksi pengkhianatan kita pada kejujuran itu. Dulu, lembaga migas Indonesia tumbuh dari lokal menjadi nasional — PERMINA, PERTAMIN, PERMIGAN — tiga anak bangsa yang menyatu menjadi PERTAMINA tahun 1968. Yang pernah menjadi simbol integrasi energi nasional, perusahaan yang bukan sekadar korporasi, tapi representasi kedaulatan.

Namun sejarah pun bisa terbalik. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas — yang katanya untuk membuka pasar — justru menjadi pedang yang memotong urat nadi negara sendiri. PERTAMINA yang dulu pemegang mining rights dan economic rights, kini hanya pemain biasa di pasar yang dikendalikan harga keekonomian.

Dari penguasa sumber daya, menjadi kontraktor yang harus ikut tender di rumahnya sendiri.

Kita menyaksikan bagaimana negara kehilangan wibawa, dan rakyat kehilangan hak. Di meja hukum, negeri ini seperti terdakwa yang lupa membela diri.

Mosi Nasionalisasi Dikhianati

Pernah, tujuh dasawarsa silam, seorang bernama Mohammad Hasan berdiri lantang di parlemen. Dia mengajukan Mosi Nasionalisasi tahun 1951 — bukan dengan teriakan ideologi, tapi dengan keyakinan: bahwa minyak di Sumatera Utara adalah darah Indonesia sendiri. Dia menuntut konsesi asing dinegosiasi ulang, agar hasil bumi tak hanya menguntungkan kompeni pendatang.  Dan sejarah berpihak padanya: nasionalisasi lahir, PERMINA dan PERTAMIN muncul, lalu menyatu menjadi PERTAMINA.

Kini, kita hidup di masa ketika mosi itu kehilangan gema. Negara kembali menjual haknya sedikit demi sedikit, dibungkus bahasa pasar dan efisiensi. Padahal konstitusi sudah terang: bumi, air, dan kekayaan alam di bawahnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi “rakyat” kini terdengar seperti kata yang diselipkan di nota kaki undang-undang.

Hak Menguasai Negara yang Didegradasi

Mahkamah Konstitusi sudah mengajarkan panca fungsi Hak Menguasai Negara: beleids, bestuurdaad, regelendaad, beheersdaad, toezichthoudensdaad.

Lima tangan kuasa negara untuk mengelola, bukan menjual.Namun, apa gunanya tangan jika tak digerakkan?

Pertamina kini bukan National Oil Company (NOC) sejati. Yang hanya salah satu pemain dalam pasar global. Padahal di dunia, NOC justru menjadi simbol kedaulatan baru. Tahun 1970, 70 persen perdagangan minyak dunia dikuasai korporasi multinasional; satu dekade kemudian, separuhnya telah direbut NOC dari negara-negara yang berani berdiri di atas kaki sendiri.

Indonesia dulu pernah di antara mereka — kini hanya penonton yang menatap ladang minyak dari layar berita.

Kembalikan ke Singgasana Konstitusi

Kita harus berani kembali ke konstitusi. Revisi total malah ganti fundamental UU Migas bukan sekadar urusan birokrasi, tapi upaya moral: menegakkan Hak Menguasai Negara yang dijanjikan oleh Pasal 33 UUD 1945.

Negara tak boleh terus berperan sebagai pedagang yang menawar hasil bumi kepada investor asing. Negara harus kembali menjadi pemilik yang sah — bukan sekadar pengawas yang sopan.

Maka, memperkuat Pertamina sebagai National Oil Company yang anti korupsi totally bukan pilihan teknis, tapi panggilan sejarah. Karena dalam setiap tetes minyak di bumi Langkat, Siak, Aceh Tinur,  Papua Barat, Masela, dan lebih banyak lagi,  tersimpan doa para leluhur yang menanam hak milik bangsa di dalam tanahnya sendiri.

Jika hari ini kita abai, maka sejarah akan menulis kita sebagai generasi yang menukar emas dengan debu, dan kedaulatan dengan kontrak kerja sama.

Dan seperti bait T. Amir Hamzah dalam Padamu Jua: “Hidupku, mati pun aku berserah… Segala pun hilang, tetapi Kau tetap.”

Bagi bangsa ini, “Kau” itu adalah kedaulatan — hak yang tak boleh dijual, walau bumi sudah lelah.

Apakah minyak kita masih milik kita?

Ataukah hanya tinggal aroma di udara Pangkalan Brandan yang perlahan menguap, meninggalkan kenangan tanpa hak, dan negara tanpa daya? Tabik.

*) Muhammad Joni, Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Ketua PB Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI), Sekjen PP IKA USU.

[Red]

Berita Terkini