Ilmu Tak Boleh Korupsi, Jujur Sesungguhnya Rektor Ilmu

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI | Nun, di aula megah sebuah universitas, musik mars akademik mengalun. Sayup dibawa angin utara swara liriknya ‘Pengabdi Bangsa’. Toga menghitam. Kamera berderet. Papan nama bertuliskan “Sidang Promosi Doktor.”

Tepuk tangan panjang menyambut seorang kandidat doktor yang baru saja disahkan.

Tapi di tengah riuh itu, diam-diam muncul pertanyaan sunyi: Apakah gelar ini hasil ilmu yang jujur. Atau sekadar formalitas yang dirancang rapi untuk menipu rasa ingin tahu kita sendiri?

Kita hidup di zaman di mana substansi kalah oleh bungkus. Maknawi dikalahkan oleh seremoni. Kita membangun panggung akademik megah, tapi lupa memastikan bahwa panggung itu tidak kosong muruah.

Di sebalik toga dan lembar ijazah, seringkali tak berdenyut “jantung” ilmu bahkan parah gezah. Entah hanya gema nama bak puak labu.

Ilmu, sejatinya; boleh keliru. Tapi ilmu haram untuk berdusta. Fakta juncto ilmu itu jujur-cum-tulus. Kekeliruan bisa saja bagian dari asa pencarian; dusta adalah pengkhianatan terhadap kebenaran.

Dalam teori filsafat ilmu, dikenal istilah falsifikasi—konsep yang diperkenalkan Karl Popper—bahwa ilmu justru maju ketika berani diuji dan dibantah. Pun oleh mahasiswa sendiri.

Sebuah teori baru lahir bukan karena dipuja, bukan karena dibeli di mall UMKM. Tapi karena mampu bertahan dari serangan bukti balik (sebutlah tagen bewijs) yang ingin menggugurkannya. Falsifikasi tiori yang jujur, terbuka dan manusiawi.

Namun di negeri ini, falsifikasi sering disalahpahami. Kita terlalu sibuk memberhalakan ilmu, bukan memutakhirkan. Gelar dianggap akhir dari perjalanan, bukan awal dari pencarian berkelanjutan. Dan di situlah stagnasi dimulai: ketika S3 menjadi status sosial, bukan status epistemik.

Seorang doktor yang berhenti membaca setelah wisuda sejatinya telah menistakan ilmunya sendiri. Yang menjadikan gelar sebagai benteng, bukan jendela. Padahal ilmu sejati harus selalu terbuka terhadap koreksi, terhadap kritisi, terhadap revisi, terhadap kenyataan baru yang mungkin mematahkan seluruh keyakinan lama. Falsifikasi bumi datar ke bumi bulat, itu pelajaran hebat.

Jujur: Ilmu yang Hidup

Ilmu yang jujur tidak takut salah. Ilmu jangan dikorupsi. Ilmu tumbuh karena kritik. Maju-cum-berkembang karena keraguan dan pertanyaan.

Sebaliknya, ilmu yang ingin selalu benar akan segera mati. Karena memenjarakan dirinya sendiri dalam ruang kebanggaan dan kepalsuan. Ilmu tak perlu toga. Ilmu bukan upacara, jangan jadikan berhala apalagi papan bunga.

Dalam dunia akademik kita, banyak karya ilmiah ditulis untuk memenuhi target, untuk kejar SKP. Halah-parah, ilmu bukan untuk menembus kebenaran. Banyak penelitian disusun demi pencapaian administratif, untuk pangkat. Bukan tulus pencerahan intelektual. Mana arti ‘Pengabdi Bangsa’. Kita sibuk mengumpulkan kutipan, tapi melupakan kejujuran metodologis.

Padahal, falsifikasi bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menyucikan ilmu dari kesalahan. Mengangkat hadast atas “najis” kebohongan. Falsifikasi, menurut saya, tabir moral yang memisahkan ilmuwan dari penjilat gelar. Itu cara agar pengetahuan tetap hidup, tetap terbuka, tetap relevan. Dengan atau tanpa gambar suara.

Tapi ketika sistem akademik lebih menghargai formalitas ketimbang integritas, falsifikasi berubah menjadi ancaman. Berani jujur jadi bangkai di universitas. Koreksi dianggap serangan. Revisi dianggap pelecehan. Sang jujur memoto orang yang memoto gambar suara dianggap musuh oligark kampus. Hambar suara bagai “buang angin” pembatal wudhuk.

Padahal, ilmu yang tak boleh disentuh kritik sejatinya bukan ilmu, melainkan pabrikasi dungu.

S3 yang Stagnan, Gelar yang Luntur

Kita kini menyaksikan paradoks yang getir: semakin banyak gelar doktor, semakin sedikit gelaran pemikiran.

Di ruang-ruang seminar, kita mendengar kalimat yang panjang tapi kosong. Di forum akademik, argumen ilmiah kerap digantikan oleh “kata dosen pembimbing saya”.

Ketika ilmu berhenti berkembang, gelar pun kehilangan maknanya. Dalam dunia profesi—dokter, pengacara, insinyur, ilmuwan komputer—gelar bisa luntur, bahkan absurd, jika tidak lagi ditopang oleh bukti, etika, dan kerja nyata. Gelar kalah telak dengan profesional experience. Gelar tanpa akseptasi publik, hanya boleh duduk di kursi belakang seminar pemikiran.

Seorang dokter yang mengutip jurnal palsu, seorang lawyer yang memanipulasi norma hukum, seorang insinyur yang menipu data teknis, sejatinya sedang mengubur gelarnya sendiri. Bahkan bunuh diri reputasi. Apalagi kini era digital forensik.
Era kuasa algoritme data.

Di hadapan masyarakat, mereka yang dusta ilmu bukan lagi ilmuwan, melainkan pedagang asong legitimasi.

Dalam dunia profesi, gelar bukan simbol kekuasaan, tapi janji moral. Profesional trust yang mahal bukan berderetan gelar. Pekerjaan profesional lawyer 30 menit, yang dibangun dari pengalaman 30 tahun. Maka pasar redho membayar bukan untuk 30 menit tapi harga untuk trustee 30 tahun pengalaman.

Jangannlesur untuk berjanji bahwa ilmu yang digunakan adalah ilmu yang jujur, maka integritas tegak. Maka, secara negasi; ketika integritas runtuh, gelar ikut rubuh. Jangan pulak kalian rubuhkan kampus jujur bernalar kami?

Dusta Akademik

Dusta akademik tak lahir dari ruang kosong. Namun tumbuh dari sistem tata kelola yang longgar, dari budaya yang lebih mencintai simbol daripada isi.

Perbaikan tata kelola perguruan tinggi dan lembaga penelitian tidak cukup dilakukan lewat audit administratif atau sertifikasi mutu. Namun harus dimulai dari revolusi kejujuran akademik. Bangkai kebohongan kudu diberangus, namun perlu diperiksa dulu oleh “KKK”: komisi korupsi kejujuran.

Kita memerlukan reformasi etika ilmiah yang tidak hanya menilai hasil, tapi juga menelisik niat. Setiap promotor harus berani bertanya: apakah disertasi ini memperkaya ilmu, atau sekadar mengulang data lama dengan kemasan baru? Dikerjakan nalar sendiri atau dibeli di pasar gelap disertasi yang konon mengkurat-mengakar.

Apakah penelitian ini jujur menampilkan hasil yang ditemukan, atau sekadar menyesuaikan dengan ekspektasi sponsor dan arogansi pembimbing?

Ilmu harus menjadi medan keberanian, bukan tempat persembunyian. Karena hanya dari kejujuran itulah, tata kelola pengetahuan bisa diperbaiki.

Tidak Berhala

Ilmu tidak boleh menjadi berhala baru yang disembah tanpa kritik. Ilmu harus tetap manusiawi—rapuh, berubah, dan mau disangkal. Dalam peradaban yang sehat, gelar bukan mahkota, tapi amanah.

Ketika seorang ilmuwan mengatakan “saya bisa salah”, di situlah ilmuwan sejati yang paling benar. Ketika seorang profesor mau direvisi oleh mahasiswa, di situlah ilmu sedang bertumbuh.

Dan ketika sebuah universitas berani membuka pintu bagi kritik internal, menjadi taman ilmu di musim semi, di situlah ilmu menemukan jantungnya kembali. Karena MAWAR bukan M.A.W.A.R begitu kata Jalaluddin Rumi.

Seperti dalam kisah-kisah “mazhab” hukum Grishamian, di mana kebenaran hukum sering dipertaruhkan oleh manusia yang sok berkuasa, dunia akademik pun kini sedang diuji oleh hal yang sama: apakah kita berpihak pada kebenaran, atau pada kenyamanan seakan sistem?

Epilog: Kejujuran= Rektor Ilmu Pengetahuan

Dalam perjalanan panjang sejarah pengetahuan, gelar akan berubah, teori akan gugur, metode akan diganti. Tapi satu hal yang abadi: kejujuran intelektual.

Yang tidak memerlukan toga, pun tidak menunggu wisuda. Yang tumbuh di hati yang berani mengakui bahwa ilmu bukan milik siapa pun—bahwa setiap tesis bisa gugur, setiap teori bisa usang, tapi kejujuran tak pernah kadaluarsa.

Dan mungkin, di masa depan nanti, ketika gelar-gelar telah pudar dan kampus-kampus berganti nama, satu hal akan tetap dikenang: mereka yang berani mengatakan bahwa ilmu boleh keliru, tapi tak boleh berdusta. Bagai seloka ironik melayu: ayam mati di lumbung padi, jangan kalian matikan ilmu di lumbung padi kejujuran. Malahan, dan camkan: ilmu tak boleh korupsi. Jujur adalah rektor ilmu pengetahuan.

Tabik.
Adv. Muhammad Joni, SH.MH;
Sekjen PP IKA USU; Ketua PB ISMI-Ikatan Sarjana Melayu Indonesia.

Berita Terkini