Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kabar dari keponakan. “Teh, udah tahu belum anjang Iskar kena stroke.” Lalu, ia kirim foto abang kandung saya terbaring di tempat tidur di rumahnya di kampung. Lalu, saya kirim doa untuk kesembuhannya.
Sedih melihat abang yang pensiunan guru terbujur sudah sulit komunikasi. Stroke yang menyerang abang saya adalah bagian dari 2,9 juta warga Indonesia terkena penyakit itu setiap tahunnya. Inilah pembahasan kita kali ini, stroke. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!
Otak kita, wak, adalah pusat komando yang lebih hebat dari markas besar tentara mana pun. Begitu ia mogok karena stroke, seluruh tubuh seperti negara tanpa presiden, kacau, bingung, dan sering kali butuh “kudeta kursi roda”. Data sudah jelas, di Indonesia sekitar 2,9 juta orang per tahun kena stroke. Angka yang seharusnya membuat kita langsung berhenti ngunyah gorengan di pinggir jalan. Riskesdas 2018 mencatat prevalensi stroke 10,9 per 1.000 penduduk, dan Survei Kesehatan 2023 menyebut 8,3 per 1.000 penduduk. Itu bukan sekadar angka, itu adalah kode keras dari semesta bahwa pembuluh darah kita rapuh seperti selang air bocor yang dipaksa mengalirkan tekanan tinggi.
Mari kita jujur. Penyebab utama stroke itu bukan konspirasi global, melainkan ulah kita sendiri. Hipertensi adalah raja iblisnya, didukung oleh pasukan kolesterol, diabetes, rokok, alkohol, stres, kurang tidur, hingga pola makan penuh garam, gula, dan minyak jelantah. Pecahnya pembuluh darah otak bukanlah keajaiban, melainkan akibat logis dari hidup yang tak pernah mau kompromi. Jangan sok-sok bilang, “Ah, umur di tangan Tuhan.” Tuhan kasih tangan kita untuk berhenti merokok, bukan untuk memencet korek setiap jam.
Global pun tak kalah menakutkan. Setiap tahun 12 juta orang di dunia kena stroke, dan sekitar 7 juta mati karenanya. Bayangkan, wak! Satu kota sebesar Jakarta lenyap tiap tahun hanya gara-gara orang-orang malas jalan kaki dan terlalu cinta makanan instan.
Lalu apa yang harus dilakukan? Jawabannya sederhana, tapi sering kali kita abaikan seolah-olah itu iklan murahan. Kontrol tekanan darah, cek tensi, jangan tunggu kepala meledak baru ke dokter. Pola makan sehat, kurangi garam, gula, lemak trans, perbanyak buah, sayur, ikan. Tapi kita sering lebih percaya pada nasi goreng tengah malam ketimbang apel pagi hari. Aktif bergerak, 30 menit olahraga, 5 kali seminggu. Jalan cepat pun cukup. Namun kita malah sibuk menghitung langkah dari kasur ke kulkas. Berhenti merokok dan batasi alkohol, kalau mau gaya, gaya hidup sehat itu jauh lebih keren. Tidur cukup, kelola stres, dan cek kesehatan rutin, itu bukan kelemahan, itu bentuk cinta pada tubuh sendiri.
Ironinya, biaya stroke di Indonesia pada 2023 saja tembus Rp 5,2 triliun. Uang sebanyak itu kalau dipakai beli sayur, buah, dan sepatu olahraga, mungkin kita sudah bisa mengubah gaya hidup nasional. Tapi manusia memang aneh, rela keluar duit triliunan untuk berobat, tapi pelit sekali untuk beli wortel dan jalan kaki.
Filsafat sehatnya sederhana, tubuh ini ibarat rumah kontrakan, dan otak adalah ruang tamunya. Kalau atap bocor, listrik korslet, tamu kabur. Maka rawatlah rumah itu, jangan tunggu digusur oleh stroke. Hidup sehat itu bukan pilihan mewah, melainkan kewajiban agar kita tak jadi statistik di laporan Kemenkes. So, mulai sekarang, kalau tangan mau meraih rokok, bayangkan ia sedang menggenggam tiket masuk ICU. Kalau mau tuang garam berlebihan, bayangkan sedang menulis surat wasiat.
Pilihan akhirnya ada pada kita, mau jadi angka yang disebut dengan nada prihatin setiap Hari Stroke Sedunia, atau mau jadi orang yang masih bisa menertawakan dunia dengan otak yang utuh. Sehat itu revolusi paling keren, wak. Jangan tunggu stroke mengetuk pintu, karena ia tidak mengetuk, ia mendobrak. Mohon doa dari semua followers agar abang saya bisa sembuh.****