Gelar Ngobrol Komunitas Pringsewu, Ken Setiawan: Ancaman Radikalisme Kini Ada di Genggaman

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Pringsewu  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar acara “Ngobrol Bareng Komunitas” sebagai bagian dari upaya pencegahan dini terhadap paham radikalisme dan terorisme di Kabupaten Pringsewu, Lampung, pada 21 September 2025.

Kegiatan ini diselenggarakan di Gedung Serba Guna (GSG) Padepokan PSHT, dengan melibatkan berbagai organisasi komunitas yang ada di daerah tersebut.

Tujuan dari acara ini adalah untuk menjalin hubungan harmonis antar komunitas serta memperkuat mereka sebagai agen perdamaian yang dapat mengkampanyekan bahaya radikalisme dan terorisme di tengah masyarakat.

Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Alizammil Yusuf, M.Si., anggota Komisi XIII DPR RI, yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas organisasi dalam menghadapi tantangan radikalisasi di Indonesia.

Dilanjutkan dengan sambutan dari Kasubdit Kesiapsiagaan dan Pengendalian Krisis BNPT, Kolonel Inf. Indra Gunawan, yang menjelaskan tentang peran BNPT dalam melakukan mitigasi terhadap ancaman terorisme di Indonesia.

Namun, sorotan utama dalam acara ini adalah pemaparan dari Ken Setiawan, seorang aktivis yang juga mantan radikal yang kini aktif dalam menyebarkan pesan perdamaian.

Dalam sesi ceramahnya, Ken mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya penangkapan teroris yang melibatkan anak-anak di bawah umur.

Salah satu kasus yang disorot adalah penangkapan seorang remaja di Lampung oleh Densus 88.

Ken menyatakan bahwa banyak dari mereka yang terpapar radikalisasi melalui media sosial, yang merupakan saluran utama penyebaran paham ekstremisme.

“Dulu saya adalah orang yang paling radikal. Saya menolak dan mengingkari Pancasila. Bahkan, saya menganggap Pancasila sebagai tahgût (berhala) yang harus ditolak.

Namun, setelah melalui proses panjang, saya menyadari kekeliruan itu dan kini saya kembali setia kepada NKRI,” ungkap Ken, mengingatkan audiens akan bahaya pemahaman yang keliru terhadap negara dan ideologi yang berlaku di Indonesia.

Ken juga menceritakan pengalaman pribadinya tentang proses doktrinasi yang ia alami, yang mirip dengan teknik hipnosis.

Ia dijauhkan dari pemikiran kritis melalui pertanyaan-pertanyaan manipulatif seperti, “Bagus mana, Pancasila atau Al-Quran?”, yang disertai dengan kutipan ayat-ayat tertentu yang mengarahkan pada penolakan terhadap negara.

Proses ini, menurut Ken, bertujuan untuk menggiring individu untuk menolak negara dan menciptakan pemahaman bahwa segala sesuatu yang berbeda dengan ajaran yang diyakini adalah salah.

Dalam acara ini, Ken juga melakukan simulasi perekrutan dengan salah satu peserta bernama Budi, yang dalam waktu singkat langsung menyatakan penolakannya terhadap negara.

“Negara kesatuan Republik Indonesia undang-undangnya melawan hukum Tuhan,” ujar Budi dalam sesi percakapan tersebut, yang menjadi contoh betapa cepatnya seseorang bisa terpengaruh oleh paham radikal.

Ken menyampaikan bahwa radikalisasi adalah sebuah “virus” yang bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan, atau profesi.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif masyarakat untuk memahami ancaman ini, yang dapat datang dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan internet.

Ken juga menjelaskan tentang pentingnya memahami sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang tidak hanya berarti mencintai Tuhan, tetapi juga mencintai tanah air Indonesia.

“Jika kita cinta Tuhan, maka kita juga harus cinta tanah air kita, Indonesia,” kata Ken.

Ia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW sangat mencintai Mekkah dan memperjuangkan keadilan dan persatuan di sana, sebagai teladan dalam mencintai tanah air.

Ken mengingatkan bahwa ancaman radikalisme kini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, mengingat betapa mudahnya ideologi ekstremisme menyebar melalui media digital.

“Ancaman radikalisme ada dalam genggaman tangan kita, melalui gadget.

Penyebaran paham ekstremisme semakin cepat dan masif melalui media sosial, yang menyasar generasi muda yang rentan dan mudah terpengaruh,” jelasnya.

Menurut Ken, rendahnya literasi dan kemampuan masyarakat untuk memilah informasi juga menjadi faktor utama mengapa radikalisasi begitu cepat berkembang.

Tanpa kemampuan untuk memverifikasi informasi, masyarakat lebih mudah diprovokasi dan terjebak dalam penyebaran berita palsu (hoax).

“Masyarakat harus lebih kritis, meningkatkan literasi, dan lebih berhati-hati dalam menerima informasi,” tegasnya.

Acara “Ngobrol Bareng Komunitas” ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa untuk mengatasi ancaman radikalisasi dan terorisme, masyarakat harus bersatu, memahami pentingnya Pancasila, dan meningkatkan kemampuan literasi.

Dengan begitu, Indonesia dapat terhindar dari ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Masyarakat Harus Cermat dalam Menyaring Informasi
Penyebaran informasi yang salah atau hoax sangat berbahaya, terutama di media sosial.

Dengan begitu, kita dapat memperkuat pertahanan sosial dan menjaga keutuhan NKRI.**(Red)

Berita Terkini