Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com Jember – Saat baca beritanya, kopi yang sedang saya minum nyaris muncrat. Kok, iso wakil bupati laporkan bupatinya ke KPK. Parah benar ni Jember, wak! Mari kita lindas, eh salah, kupas fenomena super absrud ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Jember kembali trending. Bukan karena kopi Ijen yang bikin melek atau tumpeng pecel pitik yang bikin kenyang, tapi karena duet maut pemimpin daerahnya berubah jadi duet maut rebutan panggung. Muhammad Fawait, sang Bupati, dan Djoko Susanto, sang Wakil Bupati, kini resmi membuka season baru, “Lapor Melapor ke KPK.” Rakyat? Tinggal nonton sambil ngemil rengginang.
Awalnya manis, lho. Tahun 2024, mereka diusung 15 partai. Iya, 15! Dari Gerindra, PKB, PKS, Golkar, PPP, PAN, NasDem, sampai PSI, Gelora, Garuda, PKN, Buruh, PBB, pokoknya kayak pesta kawinan gede, semua partai datang bawa kado. Harapan rakyat, ini pasangan sakti, kompak kayak Upin-Ipin. Nyatanya? Malah jadi Nobita sama Giant rebutan Doraemon.
Sampai akhirnya, Wakil Bupati Djoko meledak. Ia lapor ke KPK dengan daftar “kejanggalan” yang bikin rakyat geleng-geleng. Katanya, APBD disusun tanpa transparansi. Lalu, muncul tim misterius bernama TP3D, kedengarannya kayak grup boyband gagal audisi K-Pop, tapi ternyata tim “pengarah pembangunan” yang dituding nggak ada dasar hukum. Belum cukup, mobil dinas dipakai orang yang nggak jelas, kayak main sewa Tayo gratis. Puncaknya, koordinasi antar-OPD mandek, kayak motor mogok di tanjakan.
KPK yang biasanya nangani korupsi kelas kakap, sekarang kedapetan laporan ala drama rumah tangga pejabat. Mereka sampai bilang, “Iya, laporan sudah kami terima. Akan kami tindak lanjuti lewat fungsi supervisi.” Artinya apa? Ya artinya KPK sekarang bukan cuma jadi pemburu koruptor, tapi juga jadi konselor pernikahan politik yang retak. Bayangkan, cak! Penyidik KPK yang biasa bongkar kasus suap triliunan, sekarang harus dengar curhat, “Mas, saya nggak diajak rapat, mas.”
Rakyat Jember? Sudah jelas yang paling kasihan. Mereka memilih dengan penuh harapan, rela berpanas-panas di TPS, bahkan ribut sama tetangga gara-gara beda pilihan. Harapannya jelas, pupuk murah, jalan mulus, sekolah gampang. Eh, yang didapat malah tontonan drama politik kelas Dilan 1990, “Jangan rindu, berat. Lebih berat liat bupati dan wakil bupati nggak akur.”
Secara filsafat, ini tragedi Yunani. Dulu rakyat kasih amanah, sekarang amanah itu berubah jadi rebutan spotlight. Plato bilang pemimpin ideal adalah yang nggak haus kekuasaan. Tapi di Jember, kayaknya Plato kudu update status, “Pemimpin ideal adalah yang nggak saling lapor ke KPK.” Kalau ini diterjemahkan ke bahasa warung kopi, “Woi, kami pilih kalian untuk kerja, bukan buat berantem kayak bocah rebutan layangan sobek!”
Pertanyaannya sekarang, siapa yang sebenarnya kerja? Kalau bupati sibuk jaga wibawa, wakil sibuk nyusun berkas laporan, lalu siapa yang mikirin rakyat? Jangan-jangan, yang paling rajin kerja malah KPK yang bukan orang Jember. Ironis, cak!
Moral ceritanya, rakyat selalu jadi korban tontonan. Mereka bayar pajak, tapi yang mereka dapat bukan pembangunan, melainkan sinetron politik Bupati vs Wakil: Duel di KPK. Episode berikutnya? Entah. Mungkin nanti ada spin-off, “Demo Warga: Dari Sawah ke Balai Kota.”
So, kalau rakyat Jember sekarang sering bilang, “Aduh, kasian sampeyan nih,” itu wajar. Karena mereka bukan cuma kehilangan pelayanan, tapi juga kehilangan harapan. Dari pesta demokrasi yang penuh janji, berubah jadi pesta pora politik penuh intrik.
Lalu, kita? Ya siapin aja kopi tanpa gula, wak. Soalnya drama ini kayaknya masih panjang. Bisa jadi 15 musim, sesuai jumlah partai yang dulu ngusung mereka.
#camanewak