Mudanews.com-Opuni | Di jantung Samarkand, ada sebuah lapangan luas yang disebut Registan—secara harfiah berarti “tempat berpasir.” Namun jangan bayangkan hamparan kosong.
Registan itu panggung peradaban, tempat tiga bangunan megah berdiri saling berhadapan, seperti tiga profesor yang terus berdialog meski telah melewati lima abad.
Ketiganya adalah: Madrasah Ulugh Beg (1417-1420), Madrasah Sher-Dor (1619-1636), dan Madrasah Tilya-Kori (1646–1660). Bersama-sama, mereka menjadikan Registan bukan hanya pusat ibadah, tapi juga universitas terbuka, asri, penuh seni, dan berakar pada tradisi ilmiah Islam.
Yang pertama dan tertua adalah Madrasah Ulugh Beg, didirikan oleh sang pangeran astronom. Dari luar, bangunannya tampak seperti pintu gerbang menuju surga. Portal raksasa dengan lengkung pishtaq dihiasi mosaik biru turquoise, kaligrafi kufi berkilau di bawah matahari. Di atas pintu tertulis:
“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun perempuan.”
Di balik gerbang, terbentang halaman luas dengan pepohonan rindang, kolam air mancur, dan lorong-lorong menuju ruang kuliah. Dua lantai kamarnya berjejer, dipakai mahasiswa sebagai asrama.
Mereka belajar di bawah bimbingan dosen yang juga tinggal di madrasah. Mahasiswa tidak hanya menekuni kitab fiqih atau tafsir, pun juga matematika, astronomi, dan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke bahasa Arab.
Setiap malam, di balkon-balkon kecil kamar, para mahasiswa membaca kitab dengan cahaya lampu minyak. Dari kejauhan, cahaya itu tampak seperti rasi bintang yang menempel di dinding madrasah. Samarkand, benar-benar pesona kampus di bawah langit.
Madrasah Sher-Dor: Seni yang Berani
Dua abad setelah Ulugh Beg, muncul madrasah kedua: Sher-Dor, yang berarti “berbulu singa.” Dinamakan demikian karena fasad pintunya menampilkan dua singa emas mengejar kijang, dengan matahari manusiawi di atasnya.
Pemandangan yang mengejutkan, karena dalam tradisi Islam ortodoks, gambar makhluk hidup sering dihindari. Namun arsitek Samarkand berani melampaui batas. Ahoi, seni bukan hanya ornamentasi, tapi juga pernyataan.
Sher-Dor pun jadi simbol era baru, ketika Samarkand mencoba meneguhkan dirinya kembali setelah masa kejatuhan. Di dalamnya, mahasiswa belajar dengan suasana yang lebih ornamental: dinding penuh ukiran geometris, warna biru, emas, dan oranye yang bersaing merebut mata.
Jika Madrasah Ulugh Beg citra kampus sains, maka Sher-Dor merek dari kampus seni—tempat di mana keberanian berekspresi menemukan ruang bebasnya.
Madrasah Tilya-Kori: Kemewahan dan Kesempurnaan
Yang ketiga adalah Madrasah Tilya-Kori, berarti “berlapis emas.” Yang dibangun setengah abad setelah Sher-Dor. Yang melengkapi simetri Registan.
Dari luar, bangunannya megah dengan kubah besar, tapi yang paling memukau ada di dalam: ruang shalat dengan dinding dan kubah berlapis emas murni.
Cahaya matahari yang selinap masuk dari jendela kecil membuat ruangan itu seolah berkilau-kilauan tanpa lampu.
Tilya-Kori berfungsi ganda: sebagai madrasah sekaligus masjid utama Samarkand. Di sini mahasiswa belajar sekaligus beribadah. Yang membuktikan bahwa ilmu dan iman bukan dua jalan terpisah, melainkan dua alur sungai yang mengalir ke lautan yang sama.
Registan: Universitas Terbuka
Jika kita menyatukan tiga madrasah ini, maka Registan tampil sebagai universitas perdana di Asia Tengah. Mahasiswanya datang dari Persia, India, bahkan Anatolia. Mereka tinggal di asrama. Makan bersama di dapur umum. Tentu belajar dari para dosen yang menetap sama di madrasah.
Model ini nyaris identik dengan college society di Oxford atau Cambridge. Bahkan analog dengan pesantren di nusantara. Para santri tinggal di pondok. Belajar bersama. Diawasi kiai yang juga hidup dalam kompleks. Ada disiplin. Ada spiritualitas. Ada kebersamaan. Aka kekuatan.
Di Registan, kampus dan hunian bukan dua entitas terpisah, melainkan satu kesatuan. Halaman madrasah jadi ruang diskusi terbuka. Serambi masjid jadi ruang kuliah. Kamar asrama jadi ruang refleksi. Setiap sudut Registan adalah kelas. Setiap jendela adalah perpustakaan. Setiap gerbang adalah undangan untuk belajar.
Registan Kini
Kini, Registan jadi jantung wisata Samarkand. Ribuan orang berdiri di tengah alun-alun, mengangkat ponsel untuk menangkap tiga madrasah sekaligus.
Pada malam hari, lampu sorot menyinari mosaik biru dan emas, menjadikannya seperti istana dongeng.
Namun bagi sesiapa yang mengerti, Registan lebih dari sekadar pemandangan Instagramable. Namun simbol bahwa peradaban tidak hanya dibangun dengan pedang, tapi juga dengan buku, tinta, dan dialog. Bahwa universitas bisa lahir dari halaman masjid. Dan, pesantren bisa berakar dari ruh madrasah Samarkand.
Registan adalah universitas di bawah langit: kampus pertama yang menyatukan ilmu, seni, dan iman dalam satu panggung agung. Tabik. (Muhammad Joni)