Ken Setiawan: Isra Mi’raj Transformasi Agama dari Ibadah Spiritual Menuju Realitas Politik

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Bandar Lampung – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, menjadi narasumber dalam sarasehan kebangsaan yang diselenggarakan oleh Majelis Umat Kristen Indonesia di Bandar Lampung, pada Rabu (10/9/2025).

Dalam acara tersebut, Ken memaparkan pandangannya mengenai Isra Miraj dari perspektif lintas agama, sebuah sudut pandang yang jarang dibahas.

Dalam pemaparannya, Ken menekankan bahwa Isra Mi’raj bukan sekadar perjalanan spiritual Nabi Muhammad, melainkan juga momentum transformatif yang mengubah peran agama dari semata-mata ibadah spiritual menjadi gerakan sosial-politik yang melawan penindasan.

“Isra Mi’raj adalah kilas balik perjalanan spiritual manusia menuju kesadaran tertinggi, yang kemudian bertransformasi menjadi aktualisasi ajaran agama dalam realitas sosial dan politik,” ujar Ken di hadapan para peserta sarasehan.

Ajaran Islam, Kelanjutan Taurat dan Injil

Menurut Ken, Islam hadir bukan sebagai ajaran yang sepenuhnya baru, melainkan kelanjutan dari pesan-pesan ketuhanan sebelumnya, yakni Taurat dan Injil.

Ia menyoroti pentingnya pemahaman lintas agama dalam menafsirkan sejarah Islam, termasuk masa awal kenabian Muhammad SAW.

Ken mengungkapkan bahwa sejak kecil Nabi Muhammad telah dekat dengan ajaran-ajaran Kristen dan tokoh-tokoh pendeta.

Bahkan, ia menyebut bahwa pernikahan Nabi Muhammad dengan Khadijah dilakukan sebelum turunnya syariat Islam, sehingga mengikuti syariat agama yang berlaku saat itu yakni Kristen.

“Di usia 12 tahun, Nabi Muhammad sudah dikenali potensinya oleh pendeta Kristen bernama Buhaira.

Dan saat menerima wahyu pertama di usia 40 tahun, yang menafsirkan adalah Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Kristen dan sepupu Khadijah,” jelas Ken.

Isra Mi’raj: Titik Balik Menuju Perlawanan Politik

Ken menjelaskan bahwa periode awal dakwah Nabi, yakni selama 13 tahun di Makkah, adalah masa dakwah sembunyi-sembunyi yang disebut sebagai masa Darun Nadwah.

Di masa ini, menurutnya, dakwah lebih berfokus pada aspek spiritual dan kesadaran personal.

Namun, setelah peristiwa Isra Mi’raj yang terjadi saat Nabi Muhammad berusia 53 tahun terjadi transformasi besar.

Agama kemudian diaktualisasikan dalam perjuangan sosial-politik melawan penindasan Quraisy.

Isra Mi’raj adalah titik balik

Di sinilah rukun Islam diturunkan sebagai strategi perjuangan.

Syahadat menjadi deklarasi perlawanan, sholat sebagai media komunikasi massal, zakat sebagai distribusi kekayaan, puasa sebagai bentuk solidaritas kelas, dan haji sebagai kongres global umat manusia yang menentang penindasan,” tegasnya.

Makna Rukun Islam dalam Perspektif Sosial
Ken menafsirkan rukun Islam secara kontekstual dan progresif.

Ia menyatakan bahwa

– Syahadat bukan hanya pengakuan spiritual, tapi deklarasi politik atas keberpihakan kepada keadilan.

– Shalat berfungsi sebagai pengorganisasian masyarakat dan penguatan solidaritas sosial.

– Zakat menjadi sistem distribusi kekayaan untuk menciptakan kesejahteraan.

– Puasa dilihat sebagai latihan solidaritas dan perlawanan terhadap ketimpangan ekonomi.

– Haji adalah simbol kesetaraan dan persatuan global dalam melawan ketidakadilan.

“Puasa bukan sekadar menahan lapar. Ini adalah bentuk pembagian sarapan dan makan siang kepada saudara yang miskin. Dan ibadah haji menyatukan manusia tanpa memandang ras dan kelas, melambangkan perlawanan bersama terhadap penindasan,” paparnya.

Menutup Ruang Intoleransi

Ken Setiawan berharap bahwa dengan memahami makna Isra Mi’raj dan rukun Islam dalam perspektif lintas agama dan sosial-politik, masyarakat Indonesia dapat mengakhiri perdebatan sektarian yang sering memicu intoleransi.

“Musuh para nabi bukanlah agama lain, tapi para penguasa yang menindas rakyatnya.

Saatnya kita bergandengan tangan memperjuangkan keadilan sosial, hidup rukun, damai, dan sejahtera, meski berasal dari latar belakang yang berbeda-beda,” pungkasnya.**(Red)

Berita Terkini