Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah.Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan ketahanan dan dinamika yang patut dicermati.
Setelah mengalami turbulensi selama krisis finansial Asia 1998, Indonesia bangkit dan konsisten mencatat pertumbuhan positif, dengan rata-rata sekitar 5-6% per tahun sebelum pandemi COVID-19 (World Bank, 2023).
Namun, untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi dan menyediakan lapangan kerja bagi populasi muda yang besar, pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan hingga 8% secara berkelanjutan dan inklusif—yang berarti manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite.
Pencapaian target ini memerlukan lebih dari sekadar pemulihan ekonomi biasa; ia memerlukan transformasi struktural yang mendalam. Artikel ini akan menganalisis fakta ekonomi Indonesia 20 tahun terakhir, mengkaji kendala yang dihadapi, serta merangkum pandangan ahli dan teori ekonomi untuk merumuskan jalan menuju pertumbuhan 8% yang inklusif.
𝐅𝐚𝐤𝐭𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐮𝐦𝐛𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝟐𝟎 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫 (𝟐𝟎𝟎𝟒-𝟐𝟎𝟐𝟒)
Perekonomian Indonesia pasca-Reformasi ditandai oleh stabilitas makroekonomi yang terjaga, ditopang oleh:
1. Konsumsi Domestik yang Kuat: Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB konsisten di atas 50%, menjadikan Indonesia tahan terhadap guncangan eksternal (BPS, 2023).
2. Manajemen Fiskal yang Pruden: Penerapan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara telah menjaga defisit APBN pada batas yang aman (<3%).
3. Stabilitas Sistem Keuangan: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia berhasil mengatur sistem perbankan yang relatif stabil.
Namun, di balik stabilitas ini, beberapa tantangan struktural menghambat laju pertumbuhan untuk mencapai level yang lebih tinggi:
– Infrastruktur yang Masih Tertinggal: Menurut World Bank (2023), kesenjangan infrastruktur Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya masih signifikan, terutama di luar Jawa, menghambat efisiensi logistik dan daya saing.
– Ketergantungan pada Ekspor Komoditas: Struktur ekspor masih didominasi oleh sumber daya alam (seperti batu bara, minyak sawit), yang membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
– Produktivitas Tenaga Kerja yang Rendah: Tingkat partisipasi angkatan kerja tinggi, tetapi kualitas sumber daya manusia dan adopsi teknologi masih rendah, sehingga membatasi produktivitas (OECD, 2022).
– Inklusivitas yang Belum Optimal: Pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya inklusif. Rasio Gini Indonesia masih berada di sekitar 0,38 (BPS, 2023), menunjukkan kesenjangan pendapatan yang moderat tetapi persisten. Pembangunan ekonomi juga masih terpusat di wilayah Jawa dan Sumatera.
–
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝟖%? 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐡𝐥𝐢.
Target pertumbuhan 8% bukanlah angka arbitrer. Menurut model pertumbuhan Solow, pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas (kemajuan teknologi) dan akumulasi modal. Indonesia perlu meningkatkan kedua faktor ini secara signifikan.
Ekonom seperti Joseph E. Stiglitz menekankan pentingnya pertumbuhan inklusif. Dalam bukunya Creating a Learning Society (2014), ia berargumen bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika disertai dengan peningkatan kapabilitas seluruh masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan menciptakan peluang yang merata.
Artinya, mengejar pertumbuhan tinggi tanpa inklusivitas akan berujung pada instabilitas sosial yang justru menghambat pertumbuhan itu sendiri.
Pandangan ahli dalam negeri, seperti Faisal Basri, sering menyoroti perlunya diversifikasi ekonomi dan hilirisasi industri (Basri, 2021).
Ketergantungan pada komoditas mentah membuat nilai tambah terbuang ke negara lain. Hilirisasi—seperti memproses nikel menjadi baterai kendaraan listrik—adalah kunci untuk menciptakan rantai nilai yang lebih panjang, lapangan kerja yang berkualitas, dan pertumbuhan yang lebih tinggi.
𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝟖% 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢𝐟.
Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah strategi transformatif yang diperlukan:
1.Mempercepat Pembangunan Infrastruktur yang Berkualitas dan Terhubung:
– Fokus pada infrastruktur yang meningkatkan produktivitas: logistik (pelabuhan, bandara, jalan tol), energi hijau, dan infrastruktur digital (jalur serat optik, 5G).
– Referensi Teori: Model Big Push oleh Rosenstein-Rodan menyarankan investasi besar-besaran dan terkoordinasi dalam infrastruktur untuk memicu industrialisasi.
2. Mendorong Hilirisasi Industri dan Penguatan Sektor Manufaktur:
– Konsisten dalam menerapkan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku mentah untuk menarik investasi di sektor pengolahan.
– Menciptakan ecosystem untuk industri masa depan: EV battery, elektronik, dan kimia berbasis sumber daya lokal.
– Referensi Teori: Industrial Policy yang diadvokasi oleh Dani Rodrik (2004) menunjukkan bahwa intervensi pemerintah yang tepat sasaran dapat berhasil menciptakan industri berdaya saing.
3. Investasi Besar-besaran pada Sumber Daya Manusia (SDM):
– Meningkatkan kualitas dan akses pendidikan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri.
– Memperkuat sistem kesehatan dan jaminan sosial untuk menciptakan tenaga kerja yang produktif dan sehat.
– Referensi Teori: Teori Human Capital oleh Gary Becker (1964) menyatakan bahwa investasi dalam pendidikan dan kesehatan adalah investasi dalam modal manusia yang menghasilkan return ekonomi yang tinggi.
4. Memperdalam Inklusi Keuangan dan Pemberdayaan UMKM:
– Memanfaatkan teknologi fintech untuk menjangkau segmen masyarakat yang belum terlayani perbankan.
– Memberikan pelatihan dan akses permodalan kepada UMKM untuk naik kelas dan terintegrasi dalam rantai pasok global.
– Pandangan Ahli: Program seperti ini sejalan dengan konsep pro-poor growth yang dikembangkan UNDP, yang menekankan pada pemberdayaan kelompok rentan untuk ikut serta dalam pertumbuhan.
–
5. Memastikan Tata Kelola yang Baik dan Iklim Investasi yang Kondusif:
– Penyederhanaan regulasi dan birokrasi melalui Omnibus Law harus diimplementasikan dengan transparan untuk menarik investasi asing langsung (FDI) yang berkualitas.
– Memerangi korupsi dan memastikan kepastian hukum.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang berkelanjutan dan inklusif adalah tujuan yang ambisius namun mungkin bagi Indonesia.
Pencapaian ini tidak dapat mengandalkan business-as-usual, tetapi memerlukan lompatan transformatif melalui:
1. Transformasi struktural dari ekonomi berbasis komoditas ke ekonomi berbasis industri dan jasa bernilai tambah tinggi.
2. Investasi masif dan berkelanjutan dalam infrastruktur fisik dan digital.
3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai tulang punggung produktivitas nasional.
Dengan komitmen politik yang kuat, kebijakan yang tepat sasaran, dan tata kelola yang baik, Indonesia dapat membuka potensi pertumbuhan ekonominya yang besar dan memastikan bahwa buah dari pertumbuhan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐏𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚
1. 𝘉𝘢𝘴𝘳𝘪, 𝘍. (2021). 𝘛𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘴𝘪 𝘌𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘗𝘦𝘯𝘦𝘳𝘣𝘪𝘵 𝘉𝘶𝘬𝘶 𝘒𝘰𝘮𝘱𝘢𝘴.
2. 𝘉𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘶𝘴𝘢𝘵 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘬 (𝘉𝘗𝘚). (2023). *𝘉𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘙𝘦𝘴𝘮𝘪 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘬: 𝘗𝘦𝘳𝘵𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘌𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘛𝘳𝘪𝘸𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘐𝘝-2023*. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘣𝘱𝘴.𝘨𝘰.𝘪𝘥/𝘱𝘳𝘦𝘴𝘴𝘳𝘦𝘭𝘦𝘢𝘴𝘦/2024/02/05/1923/𝘦𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪-𝘪𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢-𝘵𝘳𝘪𝘸𝘶𝘭𝘢𝘯-𝘪𝘷-2023-𝘵𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩-5-04-𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯–𝘤-𝘵𝘰-𝘤–𝘥𝘢𝘯-𝘵𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩-5-05-𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯–𝘺-𝘰𝘯-𝘺–.𝘩𝘵𝘮𝘭
3. 𝘉𝘦𝘤𝘬𝘦𝘳, 𝘎. 𝘚. (1964). 𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘊𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭: 𝘈 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘦𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘮𝘱𝘪𝘳𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘈𝘯𝘢𝘭𝘺𝘴𝘪𝘴, 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘚𝘱𝘦𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘙𝘦𝘧𝘦𝘳𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘵𝘰 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘧 𝘊𝘩𝘪𝘤𝘢𝘨𝘰 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
4. 𝘖𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘧𝘰𝘳 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘊𝘰-𝘰𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 (𝘖𝘌𝘊𝘋). (2022). 𝘖𝘌𝘊𝘋 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘚𝘶𝘳𝘷𝘦𝘺𝘴: 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 2022. 𝘖𝘌𝘊𝘋 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.1787/𝘧𝘥7𝘦7𝘣39-𝘦𝘯
5. 𝘙𝘰𝘥𝘳𝘪𝘬, 𝘋. (2004). 𝘐𝘯𝘥𝘶𝘴𝘵𝘳𝘪𝘢𝘭 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘧𝘰𝘳 𝘵𝘩𝘦 𝘛𝘸𝘦𝘯𝘵𝘺-𝘍𝘪𝘳𝘴𝘵 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺. 𝘑𝘰𝘩𝘯 𝘍. 𝘒𝘦𝘯𝘯𝘦𝘥𝘺 𝘚𝘤𝘩𝘰𝘰𝘭 𝘰𝘧 𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵, 𝘏𝘢𝘳𝘷𝘢𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺.
6. 𝘚𝘵𝘪𝘨𝘭𝘪𝘵𝘻, 𝘑. 𝘌. (2014). 𝘊𝘳𝘦𝘢𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘢 𝘓𝘦𝘢𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺: 𝘈 𝘕𝘦𝘸 𝘈𝘱𝘱𝘳𝘰𝘢𝘤𝘩 𝘵𝘰 𝘎𝘳𝘰𝘸𝘵𝘩, 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵, 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘗𝘳𝘰𝘨𝘳𝘦𝘴𝘴. 𝘊𝘰𝘭𝘶𝘮𝘣𝘪𝘢 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
7. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬. (2023). *𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘗𝘳𝘰𝘴𝘱𝘦𝘤𝘵𝘴: 𝘋𝘦𝘤𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 2023 – 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥𝘴 𝘍𝘢𝘴𝘵𝘦𝘳 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘭𝘦𝘢𝘯𝘦𝘳 𝘎𝘳𝘰𝘸𝘵𝘩*. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬 𝘎𝘳𝘰𝘶𝘱. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘰𝘱𝘦𝘯𝘬𝘯𝘰𝘸𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.𝘸𝘰𝘳𝘭𝘥𝘣𝘢𝘯𝘬.𝘰𝘳𝘨/𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘪𝘦𝘴/𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯/07𝘦36𝘤6𝘥-6𝘢4𝘧-4𝘥36-8𝘣4𝘢-38𝘤9𝘤7𝘢4𝘣73𝘢