Menelisik Strategi Intelegen, Prabowo di Tengah Perang Bayangan Jokowi, Gibran dan Noel

Breaking News
- Advertisement -

_Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Ketua FKPPI Candisari Semarang, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an._

Mudanewa.com OPINI – Malam itu, Jakarta mendadak riuh oleh kabar tak terduga. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang pejabat muda dalam kabinet baru Presiden Prabowo Subianto. Sosok itu bukan nama asing, Immanuel Ebenezer yang akrab dipanggil Noel. Wakil Menteri Tenaga Kerja itu terjerat kasus yang menampar wajah pemerintahan hanya beberapa bulan setelah resmi dilantik.

OTT KPK itu terus diputar nonstop oleh hampir semua media, seolah operasi ini prestasi besar dalam sejarah KPK, padahal masih banyak target koruptor KPK dan Kejaksaan yang masih tersisa.

Bagi sebagian orang, kasus ini mungkin sekadar peristiwa hukum biasa. Namun, bagi mereka yang memahami dinamika politik, kejatuhan Noel adalah lebih dari sekedar skandal personal. Kasus OTT Noel membuka tabir soal kerentanan screening politik, dugaan infiltrasi, hingga permainan intelijen di balik layar peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo.

Riwayat Noel tidak bisa dilepaskan dari romantika reformasi 98. Sebagai aktivis mahasiswa, ia ikut berdiri di garis depan melawan Orde Baru. Namun setelah euforia itu reda, hidup membawanya ke jalan berliku. Pernah menjadi pengemudi ojek online, ia lalu menemukan jalannya kembali ke politik dengan mendirikan Jokowi Mania (Joman) organisasi relawan yang dikenal fanatik membela Jokowi di paruh periode kekuasaan.

Seperti roda yang berputar, loyalitas Noel berbalik arah. Dari pengagum menjadi pengkritik. Dari juru sorak Jokowi, ia berubah menjadi oposisi internal yang vokal. Peralihan itu mengantarnya pada barisan baru di kubu Prabowo Subianto.

Di Pilpres 2024, Noel tampil sebagai pendukung keras Prabowo, persis saat awal ia mendirikan Jokowi mania. Karena inilah kemudian lewat berbagai lobi, dan “kemampuan menjilatnya” (atau mungkin titipan Jokowi) kemudian memperoleh kursi strategis di kabinet merah putih pemerintahan Prabowo – Gibran. Tentu langkah ini merupakan transformasi karier politik yang cepat, tak banyak keluar biaya, dari tukang ojek, relawan, aktivis, hingga pejabat negara, seakan menegaskan betapa cairnya peta politik Indonesia. Padahal banyak fakta politisi yang berdarah-darah hingga kini diposisi antrian yang belum pasti akan masuk dalam kabinet. Namun demikian justru di puncak kariernya, Noel terjungkal.

Pertanyaan besar segera muncul, mengapa begitu cepat? Mengapa di awal pemerintahan baru, seorang aktivis muda yang pernah dekat dengan Jokowi, kini di kubu Prabowo, justru jatuh memalukan ditangan OTT KPK?

Dari perspektif hukum, KPK tentu menegaskan bahwa operasi dilakukan berdasarkan bukti. Namun dalam politik, waktu penangkapan kerap lebih penting ketumbang dari kasusnya itu sendiri. Momentum OTT terhadap Noel membuat opini publik segera mengaitkan skandal ini dengan rapuhnya barisan Prabowo.

Seolah ada pesan tersembunyi, jika orang dekat Prabowo saja bisa tersandung, bagaimana dengan yang lain?

Teori klasik intelijen sering menyebut istilah “controlled penetration”, penyusupan terukur yang bertujuan melemahkan lawan dari dalam. Mantan kepala CIA, Allen Dulles, pernah menekankan bahwa infiltrasi politik lebih efektif daripada konfrontasi terbuka, “Satu orang yang ditanam di lingkaran musuh dapat lebih berbahaya daripada seribu pasukan di medan perang.”

Dalam kacamata itu, Noel bisa dilihat sebagai “kuda troya” politik. Ia masuk ke lingkaran Prabowo setelah lama berakar di barisan Jokowi. Lalu, ketika ia jatuh, bukan hanya dirinya yang hancur, melainkan juga wibawa Prabowo ikut tergores.

Namun, ada juga tafsir lain, bahwa ini bukan infiltrasi, melainkan kegagalan screening politik. Presiden Prabowo dan timnya kurang cermat membaca rekam jejak Noel, yang sejak awal menunjukkan pola zig-zag, aktivis, relawan Jokowi, pengkritik, lalu menjadi pejabat Prabowo. Jalur seperti itu memang menyimpan risiko besar, sebab loyalitasnya rapuh dan mudah dipertanyakan.

Tapi bisa juga masuknya Noel dalam kabinet Prabowo merupakan bagian dari persyaratan dari Jokowi ke Prabowo, sehingga Noel tak bisa ditolak.

Mana yang benar? Politik seringkali tidak memberikan jawaban tunggal.

Jika kita menoleh ke Rusia pasca 1991, pola serupa pernah terjadi. Reformasi pasca runtuhnya Uni Soviet diwarnai oleh infiltrasi eks-KGB ke dalam struktur demokrasi muda. Mereka tidak menumbangkan sistem dengan frontal, melainkan melemahkannya dari dalam. Akhirnya, Vladimir Putin mantan KGB bangkit menguasai negara.

Indonesia pun punya sejarah tak jauh berbeda. Di era Demokrasi Terpimpin, partai-partai dan kelompok intelijen saling menanamkan kader di kubu lawan. Penyusupan menjadi alat untuk menciptakan kebingungan, melemahkan legitimasi, dan pada akhirnya mengubah jalannya sejarah.

Maka, tidak mustahil jika kasus Noel dilihat dalam bingkai yang sama yaitu sebuah perang bayangam yang dimainkan di atas panggung transisi kekuasaan.

Yang membuat situasi ini semakin rumit adalah warisan ekonomi rezim Jokowi. Utang negara kini menembus Rp 9.105 triliun dengan beban bunga yang mencekik APBN. Utang luar negeri mencapai USD 435,6 miliar. Meski inflasi masih terkendali di angka 2,37% dan Bank Indonesia mencoba melonggarkan suku bunga ke 5,00%, ruang fiskal pemerintah tetap sempit.

Dengan kondisi demikian, setiap guncangan politik menjadi berlipat ganda dampaknya. OTT seorang wakil menteri memang kasus kecil di atas kertas, namun di pasar dan opini publik, ia bisa memicu krisis kepercayaan yang jauh lebih besar.

Dalam formasi kabinet Prabowo, keberadaan Gibran anak Jokowi sebagai wakil presiden memberi warna unik. Publik menilai Jokowi masih punya “bayangan kendali” di pemerintahan baru. Dalam situasi ini, kejatuhan Noel mantan loyalis Jokowi yang kemudian lompat ke Prabowo memberi ruang bagi spekulasi, bahwa hanya “orang Jokowi sejati” yang bersih, sementara Noel pilihan Prabowo rentan bermasalah.

Jika persepsi ini sengaja digiring, maka OTT Noel bukan sekadar operasi hukum tapi operasi persepsi.

Kasus Noel memperlihatkan bahwa pemerintahan Prabowo menghadapi ujian bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di level legitimasi politik. Di satu sisi, ia harus mengendalikan utang, menstabilkan pasar, dan menjaga pertumbuhan. Di sisi lain, ia harus memastikan lingkaran dalamnya tidak menjadi titik lemah yang mudah disusupi.

Sejarah menunjukkan, pemimpin baru yang gagal melindungi orang-orang di sekelilingnya akan terus diguncang dari dalam. Jika Prabowo tidak segera memperkuat mekanisme screening politik dan memperkuat filter intelijen, maka kasus Noel bisa menjadi pembuka dari serangkaian serangan berikutnya.

Prabowo mungkin baru memulai pemerintahannya, tapi bayangan perang intelijen sudah lebih dulu bermain.

Noel bukan sekadar cerita individu. Ia simbol dari betapa cair, rapuh, dan manipulatifnya politik Indonesia di masa transisi. OTT terhadapnya bisa dibaca sebagai peringatan dini, bahwa kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh kursi resmi, melainkan juga oleh siapa yang bermain di balik layar.

Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025, 23:27 Wib.

Berita Terkini