Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah.Ch.Cht.
Tulisan ini merangkum refleksi dari diskusi “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” Great Institute, Kamis 14 Agustus 2025.
Mudanews.com-Opini | Indonesia punya sejarah panjang soal perdebatan kebudayaan. Di awal abad ke-20, ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda, pertanyaan besarnya bukan hanya kapan merdeka, tetapi juga akan seperti apa wajah kebudayaan bangsa setelah merdeka.
Dua nama besar muncul di panggung itu: Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Sutan Takdir, lewat tulisan-tulisannya di Poedjangga Baroe, mendorong Indonesia untuk mengejar modernitas ala Barat. Rasionalitas, teknologi, dan ilmu pengetahuan dianggapnya sebagai syarat mutlak kemajuan. Baginya, tradisi yang terlalu mistis dan irasional akan membebani langkah bangsa.
Sanusi Pane menanggapinya dengan cara berbeda. Dalam esainya “Persoalan Kebudayaan” (1936), ia menggambarkan Barat sebagai Faust—haus akan kuasa dan kemajuan materi—sedangkan Timur sebagai Arjuna yang mencari harmoni batin. Indonesia, menurutnya, harus menjadi jembatan yang menyeimbangkan keduanya. Kemajuan tanpa jiwa hanya akan membuat bangsa kehilangan arah dan identitas.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐞𝐦𝐢𝐤 𝐒𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐫𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐝𝐞𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢.
Beberapa dekade kemudian, perbedaan cara pandang itu menemukan bentuk baru: pertentangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada awal 1960-an.
Manikebu menekankan kebebasan berekspresi, pluralisme nilai, dan otonomi seniman dari tekanan politik. Bagi mereka, kebudayaan adalah perjuangan untuk memanusiakan manusia.
Sebaliknya, Lekra—yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia—berpegang pada semboyan “politik sebagai panglima”. Seni dan kebudayaan, bagi mereka, adalah alat perjuangan kelas yang harus berpihak pada rakyat pekerja.
Njoto, salah satu tokohnya, menulis bahwa seni tak pernah netral: ia harus berpihak.
Pertentangan ini memuncak menjelang 1965, ketika iklim politik semakin panas. Setelah perubahan kekuasaan, Lekra dibubarkan, Manikebu pun berhenti aktif. Namun, luka ideologis dan pertanyaan tentang siapa yang seharusnya memimpin arah kebudayaan tetap membekas.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐞𝐦𝐢𝐤 𝐒𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐫𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐝𝐞𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢.
Kini, kita berada di dunia yang berbeda. Bukan politik atau lembaga kebudayaan yang mengatur arus wacana, melainkan algoritma.
Platform digital menentukan konten apa yang muncul di layar kita, membentuk opini dan tren secara diam-diam melalui logika perhitungan yang tak terlihat.
Fenomena individualisme digital memungkinkan semua orang menjadi produsen sekaligus konsumen budaya (prosumer).
Budaya partisipatif ini demokratis—siapa saja bisa bersuara. Tetapi ada sisi gelapnya: matinya kepakaran. Konten yang viral sering kali mengalahkan argumen berbasis riset dan pengalaman. Popularitas diukur dari likes, views, dan shares, bukan dari kedalaman atau kebenaran.
Pergeseran ini membuat metafora lama perlu diperbarui. Dulu orang berkata, “Politik adalah panglima dan budaya adalah jiwanya.” Sekarang kita patut bertanya: Ketika algoritma menjadi panglima, masihkah budaya bernyawa?
𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐋𝐚𝐥𝐮 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐃𝐢𝐠𝐢𝐭𝐚𝐥
Sejarah mengajarkan beberapa hal penting:
1. Dari STA — Jangan takut pada modernitas. Kuasai teknologi, tapi gunakan dengan visi.
2. Dari Sanusi Pane — Jangan kehilangan jiwa. Pegang erat nilai-nilai budaya dan etika.
3. Dari Manikebu — Hargai kebebasan berekspresi dan keberagaman.
4. Dari Lekra — Sadari bahwa kebudayaan tidak pernah lepas dari kekuasaan, hanya bentuknya yang berubah.
Hari ini, kekuasaan itu berwujud algoritma. Dan seperti halnya politik atau ideologi, ia bisa diarahkan untuk memperkaya atau merusak kebudayaan.
Pilihan ada pada kita—menjadi agen yang menghidupkan budaya, atau sekadar penonton pasif yang hanyut dalam arus digital.
Referensi
1. 𝘈𝘭𝘪𝘴𝘫𝘢𝘩𝘣𝘢𝘯𝘢, 𝘚. 𝘛. (1935). 𝘔𝘦𝘯𝘶𝘫𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘶. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘗𝘶𝘴𝘵𝘢𝘬𝘢 𝘙𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵.
2. 𝘈𝘭𝘪𝘴𝘫𝘢𝘩𝘣𝘢𝘯𝘢, 𝘚. 𝘛. (1948). 𝘌𝘴𝘵𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢: 𝘚𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘉𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘔𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘋𝘢𝘴𝘢𝘳. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘉𝘢𝘭𝘢𝘪 𝘗𝘶𝘴𝘵𝘢𝘬𝘢.
3. 𝘊𝘢𝘴𝘵𝘦𝘭𝘭𝘴, 𝘔. (2010). 𝘛𝘩𝘦 𝘙𝘪𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘕𝘦𝘵𝘸𝘰𝘳𝘬 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺 (2𝘯𝘥 𝘦𝘥.). 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥: 𝘞𝘪𝘭𝘦𝘺-𝘉𝘭𝘢𝘤𝘬𝘸𝘦𝘭𝘭.
4. 𝘍𝘭𝘰𝘳𝘪𝘥𝘪, 𝘓. (2014). 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘰𝘶𝘳𝘵𝘩 𝘙𝘦𝘷𝘰𝘭𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘏𝘰𝘸 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘧𝘰𝘴𝘱𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘪𝘴 𝘙𝘦𝘴𝘩𝘢𝘱𝘪𝘯𝘨 𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘙𝘦𝘢𝘭𝘪𝘵𝘺. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥: 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
5. 𝘍𝘰𝘶𝘭𝘤𝘩𝘦𝘳, 𝘒. (1986). 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘪𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳𝘢𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘢𝘳𝘵𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 “𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘗𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦’𝘴 𝘊𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘦” 1950–1965. 𝘔𝘰𝘯𝘢𝘴𝘩 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
6. 𝘑𝘦𝘯𝘬𝘪𝘯𝘴, 𝘏. (2006). 𝘊𝘰𝘯𝘷𝘦𝘳𝘨𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘊𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘦: 𝘞𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘖𝘭𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘕𝘦𝘸 𝘔𝘦𝘥𝘪𝘢 𝘊𝘰𝘭𝘭𝘪𝘥𝘦. 𝘕𝘦𝘸 𝘠𝘰𝘳𝘬: 𝘕𝘦𝘸 𝘠𝘰𝘳𝘬 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
7. 𝘔𝘢𝘯𝘪𝘧𝘦𝘴 𝘒𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯. (1963). 𝘛𝘦𝘬𝘴 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘔𝘢𝘯𝘪𝘧𝘦𝘴 𝘒𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘚𝘦𝘬𝘳𝘦𝘵𝘢𝘳𝘪𝘢𝘵 𝘔𝘢𝘯𝘪𝘧𝘦𝘴 𝘒𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯.
8. 𝘔𝘰𝘳𝘧𝘪𝘵, 𝘔. (1981). 𝘗𝘢𝘯𝘤𝘢𝘴𝘪𝘭𝘢: 𝘛𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘪𝘥𝘦𝘰𝘭𝘰𝘨𝘺 𝘢𝘤𝘤𝘰𝘳𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘕𝘦𝘸 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳 𝘨𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵. 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘶𝘳𝘷𝘦𝘺, 21(8), 838–851. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.2307/2643881
9. 𝘔𝘰𝘳𝘰𝘻𝘰𝘷, 𝘌. (2013). 𝘛𝘰 𝘚𝘢𝘷𝘦 𝘌𝘷𝘦𝘳𝘺𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨, 𝘊𝘭𝘪𝘤𝘬 𝘏𝘦𝘳𝘦: 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘰𝘭𝘭𝘺 𝘰𝘧 𝘛𝘦𝘤𝘩𝘯𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘚𝘰𝘭𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯𝘪𝘴𝘮. 𝘕𝘦𝘸 𝘠𝘰𝘳𝘬: 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴.
10. 𝘗𝘢𝘯𝘦, 𝘚. (1936). 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘰𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘗𝘶𝘴𝘵𝘢𝘬𝘢 𝘙𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵.
11. 𝘙𝘪𝘤𝘬𝘭𝘦𝘧𝘴, 𝘔. 𝘊. (2008). 𝘈 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘪𝘯𝘤𝘦 𝘤. 1200 (4𝘵𝘩 𝘦𝘥.). 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘧𝘰𝘳𝘥: 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
12. 𝘚𝘦𝘯, 𝘒., & 𝘏𝘪𝘭𝘭, 𝘋. 𝘛. (2000). 𝘔𝘦𝘥𝘪𝘢, 𝘊𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥: 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.