Mudanews.com – Jakarta | Kasus ambruknya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) adalah cermin pahit bagaimana salah urus manajemen bisa menggulung bukan hanya perusahaan, tapi juga merugikan negara dan masyarakat luas.
Sepanjang 2018–2023, Sritex memperoleh kredit dari 28 bank, termasuk tiga Bank Pembangunan Daerah (BPD), dengan total kucuran mencapai Rp25,1 triliun. Pada saat kredit disetujui, kondisi keuangan Sritex — khususnya di tahun 2020 — tercatat masih sehat: aset Rp27,37 triliun, ekuitas Rp5,47 triliun, dan rasio utang terhadap aset (DAR) sekitar 80 persen. Semua indikator itu menempatkan Sritex dalam kategori layak kredit.
Namun, yang terjadi setelah pencairan kredit adalah kisah lain. Penyidikan Kejaksaan Agung mengungkap pola penyalahgunaan dana yang mengarah pada kepentingan pribadi di jajaran manajemen puncak. Direktur dan eks direktur keuangan diduga mengalihkan dana kredit untuk membeli properti pribadi, melunasi utang pribadi, hingga menggunakan dokumen palsu dalam proses pencairan. Semua itu jelas bertentangan dengan tujuan kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja dan pengembangan usaha.
Akibatnya, Sritex tak sanggup membayar kewajiban, dinyatakan pailit pada 1 Maret 2025, dan terhenti operasinya. Sekitar 10 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian tanpa menerima pesangon, sementara industri tekstil nasional kehilangan salah satu pemain utamanya.
Di tengah situasi ini, sembilan bankir BPD justru ikut menjadi tersangka. Padahal, keputusan mereka menyalurkan kredit dibuat berdasarkan informasi keuangan yang wajar pada saat itu, tanpa indikasi pelanggaran yang nyata. Menghukum penyalur kredit yang menjalankan prosedur sesuai standar adalah langkah yang berisiko menciptakan preseden keliru, di mana korban misrepresentation justru diposisikan sebagai pelaku.
Belajar dari kasus Tsinghua Unigroup di China, yang juga bangkrut akibat penyalahgunaan dana oleh pimpinan perusahaan, fokus penegakan hukum mestinya diarahkan kepada pihak yang benar-benar menyalahgunakan kewenangan dan dana. Di China, hukuman dijatuhkan keras kepada pelaku utama, tanpa mengorbankan pihak yang bertindak sesuai prosedur.
Kerugian negara sebesar Rp1,08 triliun dalam kasus Sritex jelas bersumber dari tata kelola yang korup, bukan dari proses persetujuan kredit yang sah. Jika ingin memberikan efek jera, hukum harus diarahkan kepada otak dan pelaku utama, agar dunia usaha tidak kehilangan kepercayaan pada sistem, dan masyarakat tidak kembali menjadi korban salah arah penindakan.
[Redaksi] – Mudanews