Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
𝐊𝐞𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐲𝐬𝐢𝐚: 𝐈𝐤𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐓𝐞𝐫𝐩𝐮𝐭𝐮𝐬.
Mudanews.com-Opini | Berjalanlah ke Johor, dengarkan obrolan di warung kopi Klang, atau sambangi pasar tradisional di Sabah, kita akan menemukan potongan Indonesia di sana. Logat Jawa, dialek Minang, atau tradisi Bugis masih hidup dalam keseharian masyarakat Malaysia.
Atau pergilah ke Negeri Sembilan , kita akan mendengar “Tamboah Ciek atau ungkapan khas Minang lainnya.
Data resmi Kementerian Statistik Malaysia (2020) mencatat 2-3 juta warga Malaysia adalah keturunan Indonesia, itu nenek moyangnya jika termasuk anak cucunya tentu jauh lebih banyak bukti nyata bahwa kedua negara ini lebih dari sekadar tetangga.
𝐃𝐢 𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚?
– Johor:
Di Batu Pahat, masakan Jawa seperti nasi ambeng masih disajikan dalam acara adat.
– Selangor:
Tarian kuda lumping kerap ditampilkan di festival budaya oleh keturunan Jawa.
– Sabah & Sarawak:
Suku Banjar dan Bugis masih mempertahankan maayam (upacara adat) seperti di Kalimantan.
– Negeri Sembilan :
terlihat pada penerapan Adat Perpatih, sistem kekeluargaan matrilineal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Negeri Sembilan hingga kini.
Ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang keluarga yang terpisah oleh batas negara.
𝐊𝐥𝐚𝐢𝐦 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚: 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐨𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐥𝐮𝐤𝐚
Ketika Malaysia mengklaim batik, rendang, atau Reog Ponorogo, rasa nasionalisme kita tersentak. Tapi mari kita renungkan:
1. 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐮𝐦𝐩𝐮𝐧: Klaim ini terjadi karena akar budaya kita sama—sejak era Sriwijaya hingga Kesultanan Melaka.
2. 𝐊𝐞𝐠𝐚𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢: Malaysia lebih lincah mematenkan warisan budaya (Departemen Kebudayaan Malaysia, 2018), sementara Indonesia terlambat bertindak.
3. 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐫𝐡𝐚𝐫𝐠𝐚:Kasus Sipadan-Ligitan (2002) mengajarkan kita bahwa kelalaian berujung pada kehilangan.
Namun, ada batas yang tak boleh dilanggar: 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐧𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚.
𝐏𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐫𝐚𝐬: 𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐢𝐧 𝐀𝐩𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧.
Secara historis, Indonesia bisa saja mengklaim Malaysia:
• 𝐊𝐞𝐬𝐮𝐥𝐭𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐉𝐨𝐡𝐨𝐫-𝐑𝐢𝐚𝐮 adalah pecahan Kerajaan Melayu yang pernah tunduk pada pengaruh Nusantara.
• 𝐒𝐚𝐛𝐚𝐡 & 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐰𝐚𝐤 memiliki ikatan darah dengan Kalimantan melalui migrasi suku Dayak dan Bugis.
Tapi Indonesia 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚, karena:
1. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐨𝐫𝐦𝐚𝐭𝐢 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥: Sejak 1957, Malaysia adalah negara berdaulat (Piagam PBB, 1945).
2. 𝐊𝐨𝐦𝐢𝐭𝐦𝐞𝐧 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐝𝐚𝐦𝐚𝐢𝐚𝐧 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 :Konflik hanya merugikan rakyat kecil di kedua negara.
3. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐨𝐫𝐦𝐚𝐭𝐢 𝐊𝐚𝐰𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐀𝐬𝐞𝐚𝐧: Indonesia adalah salah satu penggagas berdirinya Asean dan Indonesia memandang perlu untuk menjaga stabilitas Kawasan untuk mencegah kekuatan besar masuk menancapkan kukunya di kawasan.
Namun, pesan ini harus jelas:
“𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒂𝒉𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒆𝒅𝒂𝒖𝒍𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒎𝒂𝒕𝒊. 𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒄𝒐𝒃𝒂-𝒄𝒐𝒃𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒔𝒊𝒌 𝒘𝒊𝒍𝒂𝒚𝒂𝒉 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂, 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒂𝒔𝒖𝒔 𝑺𝒊𝒑𝒂𝒅𝒂𝒏-𝑳𝒊𝒈𝒊𝒕𝒂𝒏. 𝑵𝒆𝒈𝒆𝒓𝒊 𝒊𝒏𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒅𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒓𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈, 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒈𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒍𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒋𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒍 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉 𝒂𝒊𝒓.”
𝐒𝐢𝐩𝐚𝐝𝐚𝐧-𝐋𝐢𝐠𝐢𝐭𝐚𝐧: 𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐒𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡
Keputusan Mahkamah Internasional (2002) yang memenangkan Malaysia atas Sipadan-Ligitan masih menyisakan kepahitan. Banyak kalangan di Indonesia percaya:
– Malaysia memanfaatkan krisis politik 1998 saat Indonesia lemah (Smith, 2005).
– Proses hukum dianggap tidak adil karena mengabaikan bukti historis Indonesia (Kompas, 2002).
Ini pelajaran berharga: 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐥𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐠𝐢.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩: 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐚𝐮𝐝𝐚𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐫𝐭𝐚𝐛𝐚𝐭.
Keturunan Indonesia di Malaysia adalah jembatan, bukan alat politik. Mari kita:
• 𝐏𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 dengan mendaftarkan warisan kita ke UNESCO.
• 𝐓𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐰𝐚𝐬𝐩𝐚𝐝𝐚𝐚𝐧 terhadap pelanggaran kedaulatan.
• 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐤𝐨𝐥𝐚𝐛𝐨𝐫𝐚𝐬𝐢, bukan konflik—karena masa depan Asia Tenggara tergantung pada kerja sama kita.
Sejarah sudah membuktikan: ketika bersatu, Nusantara adalah kekuatan besar. Tapi ketika ada yang bermain curang, Indonesia tidak akan tinggal diam.
Referensi:
1. 𝘋𝘦𝘱𝘢𝘳𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺𝘴𝘪𝘢. (2020). 𝘔𝘪𝘨𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘥𝘦𝘮𝘰𝘨𝘳𝘢𝘱𝘩𝘪𝘤 𝘥𝘢𝘵𝘢 2020. 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢𝘫𝘢𝘺𝘢: 𝘖𝘧𝘧𝘪𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵.
2. 𝘋𝘦𝘱𝘢𝘳𝘵𝘦𝘮𝘦𝘯 𝘒𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺𝘴𝘪𝘢. (2018). 𝘗𝘦𝘯𝘥𝘢𝘧𝘵𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘳𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. 𝘒𝘶𝘢𝘭𝘢 𝘓𝘶𝘮𝘱𝘶𝘳: 𝘒𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯.
3. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘊𝘰𝘶𝘳𝘵 𝘰𝘧 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦. (2002). 𝘚𝘰𝘷𝘦𝘳𝘦𝘪𝘨𝘯𝘵𝘺 𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘓𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘚𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯 (𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘷. 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺𝘴𝘪𝘢). 𝘐𝘊𝘑 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵𝘴.
4. 𝘚𝘮𝘪𝘵𝘩, 𝘈. (2005). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘵𝘳𝘰𝘶𝘣𝘭𝘦𝘥 𝘸𝘢𝘵𝘦𝘳𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯-𝘓𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘱𝘶𝘵𝘦. 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴, 36(2), 145–160. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.1080/03068370500095423
5. 𝘒𝘰𝘮𝘱𝘢𝘴. (2002, 𝘋𝘦𝘤𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 18). 𝘋𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘪 𝘉𝘢𝘭𝘪𝘬 𝘒𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘚𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯-𝘓𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘯.
Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah bentuk cinta pada tanah air. Kita ingin persahabatan, tetapi juga siap mempertahankan harga diri bangsa. Seperti kata Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Mari jaga persatuan, tapi jangan korbankan kedaulatan.