Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht.
Mudanews.com-Opini | Di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang, masyarakat tampak sibuk memperdebatkan hal-hal yang bersifat simbolik dan emosional.
Polemik tentang identitas, moralitas publik, hingga isu-isu yang dibumbui teori konspirasi, sering kali menyita perhatian lebih besar daripada pembahasan tentang pendidikan berkualitas, kemiskinan struktural, reformasi birokrasi, atau penguatan riset dan teknologi.
Fenomena ini bukan sekadar bentuk ketertinggalan, melainkan cerminan dari disorientasi kolektif: sebuah kegagalan dalam menetapkan prioritas di tengah kompleksitas tantangan pembangunan.
Mengapa hal ini terjadi? Apa saja faktor yang mempengaruhinya? Dan bagaimana solusi yang dapat ditawarkan?
Tulisan ini mencoba menguraikan persoalan tersebut secara analitis, disertai ilustrasi faktual dari beberapa negara dunia ketiga, serta menawarkan refleksi kebijakan yang layak direnungkan.
𝐀𝐤𝐚𝐫 𝐏𝐞𝐫𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐅𝐨𝐤𝐮𝐬 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐊𝐞𝐫𝐚𝐩 𝐌𝐞𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞𝐧𝐠?
1.Pendidikan yang Tidak Mendorong Daya Kritis
Sistem pendidikan di banyak negara dunia ketiga masih didominasi oleh metode pembelajaran berbasis hafalan dan otoritarianisme akademik.
Akibatnya, peserta didik tidak dibiasakan untuk berpikir kritis, bertanya, atau mengevaluasi informasi secara mandiri. Hal ini menciptakan generasi yang pasif dalam menghadapi informasi publik.
Contoh Aktual:
Di Nigeria, UNESCO (2024) melaporkan bahwa lebih dari 60% siswa tingkat menengah tidak pernah diperkenalkan pada metode pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem-based learning).
Teori Terkait: Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed mengkritik model pendidikan “gaya bank”, di mana murid diposisikan sebagai penampung informasi, bukan subjek aktif dalam proses belajar.
2.Budaya Politik yang Populis dan Mengalihkan Fokus :
Politik populis kerap mengedepankan eksploitasi emosi kolektif melalui isu agama, etnisitas, atau nasionalisme sempit.
Strategi ini efektif dalam membangun dukungan jangka pendek, namun mengorbankan diskursus rasional mengenai tata kelola, keadilan sosial, atau pembangunan jangka panjang.
Contoh Aktual: Dalam Pemilu India 2024, narasi nasionalisme dan religiusitas mendominasi wacana publik, sedangkan isu pengangguran dan krisis pertanian hampir tidak mendapat tempat dalam perdebatan nasional (BBC, 2024).
Teori Terkait: Noam Chomsky (1997) menjelaskan dalam Manufacturing Consent bahwa elite politik dan media massa kerap menciptakan “realitas buatan” untuk menjaga dominasi kekuasaan dengan memanipulasi opini publik.
3.Mentalitas Instan dan Ketiadaan Visi Pembangunan Jangka Panjang
Banyak pemerintah di dunia ketiga lebih memilih proyek-proyek yang cepat terlihat hasilnya namun minim dampak struktural.
Hal ini sering kali didorong oleh keinginan membangun citra politik dalam jangka pendek, terutama menjelang pemilu.
Contoh Aktual:
Di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, proyek “smart city” yang diluncurkan tahun 2023 menuai kritik karena lebih menekankan aspek simbolik ketimbang penyediaan infrastruktur dasar seperti air bersih dan transportasi (Africa Development Review, 2024).
Teori Terkait: Acemoglu dan Robinson (2012) menyebut praktik ini sebagai ciri dari institusi ekstraktif yang hanya menguntungkan elite politik dan ekonomi, bukan rakyat secara luas.
4.Rendahnya Literasi Media dan Informasi di Era Digital
Tingginya penetrasi media sosial tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memilah informasi secara kritis. Akibatnya, publik mudah terpengaruh oleh informasi menyesatkan, hoaks, atau wacana dangkal yang viral tanpa validasi.
Contoh Aktual: Survei Kominfo (2023) menunjukkan bahwa 60% masyarakat Indonesia mengandalkan media sosial sebagai sumber utama berita, tanpa verifikasi silang.
Hal ini memperparah polarisasi dan membuat isu-isu strategis kehilangan momentum pembahasan.
Teori Terkait: Neil Postman (1985) dalam 𝘈𝘮𝘶𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘖𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴 𝘵𝘰 𝘋𝘦𝘢𝘵𝘩 menyoroti dampak budaya hiburan terhadap kemunduran kualitas diskursus publik di masyarakat modern.
Rencana Aksi: Jalan Menuju Perubahan yang Substansial
1.Reformasi Pendidikan Berbasis Kritis dan Inklusif
– Mengubah paradigma belajar dari hafalan menuju pembelajaran berbasis pemecahan masalah dan dialog terbuka.
– Mengintegrasikan pendidikan filsafat dan literasi digital sejak jenjang menengah
– Mendorong budaya debat dan refleksi intelektual di ruang kelas.
2.Penguatan Demokrasi Substantif dan Media Independen
– Merancang regulasi yang membatasi eksploitasi politik identitas.
– Memperkuat media berbasis jurnalisme investigatif dan data.
– Meningkatkan partisipasi publik dalam pengawasan anggaran dan kebijakan.
3.Pembangunan Jangka Panjang yang Berbasis Data
– Setiap kebijakan dan proyek pembangunan harus didasarkan pada riset, evaluasi dampak, dan partisipasi multi-stakeholder.
– Mengurangi ketergantungan terhadap proyek populis yang minim keberlanjutan.
– Membentuk lembaga evaluasi independen yang dapat melampaui siklus politik elektoral.
4.Kampanye Literasi Digital dan Informasi Publik
– Membangun gerakan literasi informasi secara nasional dengan melibatkan universitas, LSM, dan komunitas lokal.
– Menjalin kerja sama antara pemerintah dan platform digital dalam memerangi hoaks.
– Membangun ruang diskusi publik berbasis bukti dan dialog rasional.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐦𝐮𝐥𝐢𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐫𝐚𝐡, 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐥𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟
Distraksi publik terhadap isu-isu yang tidak strategis bukan sekadar fenomena spontan, melainkan hasil dari sistem sosial-politik yang gagal membangun nalar publik.
Tanpa reformasi menyeluruh di bidang pendidikan, politik, dan media, masyarakat akan terus terjebak dalam siklus disorientasi dan stagnasi.
Transformasi ini membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan, ia memerlukan kesadaran kolektif, keberanian politik, dan kemauan untuk membangun budaya baru: budaya berpikir, berdiskusi, dan berorientasi jangka panjang.
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1.𝘈𝘤𝘦𝘮𝘰𝘨𝘭𝘶, 𝘋., & 𝘙𝘰𝘣𝘪𝘯𝘴𝘰𝘯, 𝘑. 𝘈. (2012). 𝘞𝘩𝘺 𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘧𝘢𝘪𝘭: 𝘛𝘩𝘦 𝘰𝘳𝘪𝘨𝘪𝘯𝘴 𝘰𝘧 𝘱𝘰𝘸𝘦𝘳, 𝘱𝘳𝘰𝘴𝘱𝘦𝘳𝘪𝘵𝘺, 𝘢𝘯𝘥 𝘱𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘺. 𝘊𝘳𝘰𝘸𝘯 𝘉𝘶𝘴𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴.
2. 𝘉𝘉𝘊. (2024). 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢 𝘦𝘭𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘔𝘰𝘥𝘪’𝘴 𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮 𝘢𝘯𝘥 𝘫𝘰𝘣𝘴 𝘤𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴. 𝘙𝘦𝘵𝘳𝘪𝘦𝘷𝘦𝘥 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘣𝘣𝘤.𝘤𝘰𝘮/𝘯𝘦𝘸𝘴/𝘸𝘰𝘳𝘭𝘥-𝘢𝘴𝘪𝘢-𝘪𝘯𝘥𝘪𝘢
3. 𝘊𝘩𝘰𝘮𝘴𝘬𝘺, 𝘕. (1997). 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘰𝘯𝘴𝘦𝘯𝘵: 𝘛𝘩𝘦 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘴 𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢. 𝘗𝘢𝘯𝘵𝘩𝘦𝘰𝘯 𝘉𝘰𝘰𝘬𝘴.
4. 𝘍𝘳𝘦𝘪𝘳𝘦, 𝘗. (1970). 𝘗𝘦𝘥𝘢𝘨𝘰𝘨𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘰𝘱𝘱𝘳𝘦𝘴𝘴𝘦𝘥. 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘶𝘮.
5. 𝘒𝘰𝘮𝘪𝘯𝘧𝘰. (2023). 𝘚𝘶𝘳𝘷𝘦𝘪 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘬𝘴 𝘓𝘪𝘵𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘋𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘭 𝘕𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. 𝘒𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘒𝘰𝘮𝘶𝘯𝘪𝘬𝘢𝘴𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘙𝘐.
6. 𝘗𝘰𝘴𝘵𝘮𝘢𝘯, 𝘕. (1985). 𝘈𝘮𝘶𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴 𝘵𝘰 𝘥𝘦𝘢𝘵𝘩: 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘥𝘪𝘴𝘤𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘢𝘨𝘦 𝘰𝘧 𝘴𝘩𝘰𝘸 𝘣𝘶𝘴𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴. 𝘝𝘪𝘬𝘪𝘯𝘨.
7. 𝘜𝘕𝘌𝘚𝘊𝘖. (2024). 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘔𝘰𝘯𝘪𝘵𝘰𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵: 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘤𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘍𝘶𝘵𝘶𝘳𝘦𝘴. 𝘗𝘢𝘳𝘪𝘴: 𝘜𝘕𝘌𝘚𝘊𝘖 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.
8. 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘤𝘢 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸. (2024). 𝘜𝘳𝘣𝘢𝘯 𝘐𝘭𝘭𝘶𝘴𝘪𝘰𝘯𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘊𝘰𝘴𝘵 𝘰𝘧 𝘚𝘺𝘮𝘣𝘰𝘭𝘪𝘤 𝘗𝘳𝘰𝘫𝘦𝘤𝘵𝘴 𝘪𝘯 𝘊𝘰𝘯𝘨𝘰. 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘉𝘢𝘯𝘬.
Penutup
Opini ini menyuguhkan refleksi tajam tentang disorientasi publik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menyikapi isu strategis. Ketika perdebatan publik lebih banyak diisi oleh simbolisme, sensasi, dan sentimen jangka pendek, maka reformasi di bidang pendidikan, politik, dan media menjadi syarat mutlak untuk membangun arah baru yang rasional dan berjangka panjang.
Tulisan ini patut menjadi bahan renungan bagi pemangku kepentingan, akademisi, dan masyarakat luas dalam membangun kesadaran kolektif yang lebih kritis dan solutif.(RED)