Tubuh Melayu yang Mengingat ‘Ba’:  Festival Pacu Jalur 2025 dari Kuantan ke Dunia

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Joni

Mudanews.com-OPINI | Rabu, 20 Agustus 2025. Saya berazam hadir di sini. Sungai Kuantan, Riau, Indonesia.  Untuk Festival Pacu Jalur. Amba membayangkan vibes pagi subuh syafiie yang pekat, ketika kabut masih menggantung seperti jaring laba-laba di atas air.

Puluhan lelaki muda berdiri mengelilingi sebuah perahu panjang. Tak satu pun dari mereka memegang ponsel. Tak satu pun tersenyum ke kamera.

Eksotik merambat rasa ulu hati  amba tatkala di ujung perahu a.k.a jalur, nun seorang pria tua memercikkan air bunga. Di tangannya, seikat daun sirih. Di mulutnya, gumaman mantra a.k.a doa. Wajahnya tak meminta perhatian pun kamera. Ia sedang berbicara hidmat pada sesuatu yang tidak terlihat.

Inilah panggai jalur — altar ritual dalam perahu Pacu Jalur. Dan inilah Festival Pacu Jalur 2025, warisan Melayu yang menolak dijinakkan predator zaman dijital

Tak Sekadar Lomba

Pacu adalah lomba. Jalur? Jalur berasal dari kata ‘menjulur’ artinya panjang menjulur. Dari semula masa kolonial belanda, pacu jalur digelar memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina dan dianggap sebagai sebuah festival.

Apa yang Anda lihat saat Pacu Jalur dimulai bukan hanya lomba perahu.

Yang Anda lihat adalah drama dunia air, teater tubuh Melayu, dan perlawanan kolektif kampung terhadap pelupaan massal pada akar.

Puluhan pendayung dudok bersila dalam jalur sepanjang 25–40 meter. Di saat dering aba-aba ditiupkan, mereka tak sekadar mendayung. Mereka menghentakkan kaki. Mereka membungkuk. Gerakan itu disebut hetak bocah. Sekali lagi: hetak bocah! Serempak. Tegas. Lugas. Elok kali. Seolah air itu punya detak jantung sendiri. Pacu laju tanpa kelok.

Tubuh-tubuh tangguh Melayu itu tidak hanya mendayung demi atraksi kesenian air. Mereka mendayung menjinakkan kerajaan waktu. Mereka kolektor tamadun Melayu.

Ritual dan Risiko

Sebagai kolektor “tamadun” novel-novel John Grisham, saya hendak menulis email ke manajemennya. Mengajak datang ke Kuantan dan menulis tentang thriller Pacu Jalur. Apa mungkin Grisham akan menyoroti sisi gelap dan sisi harap dari sebuah tradisi Melayu –yang tengah dilirik pasar pariwisata global. Bahwa ketika ritual mulai dijadwalkan demi konten drone dan TikTok, vibes Pacu Jalur ori bisa terancam hilang kikis.

Namun, untong saje masih ada etnografi perlawanan. Di dusun-dusun di sepanjang Sungai Kuantan, jalur disiapkan dengan penuh hormat. Mantra tetap dibaca. Tepung tawar tetap dikibas. Semangat ditebar. Doa tetap dibisikkan. Di sinilah aura reportase ala National Geographic terasa: sebuah peradaban  yang masih jaga percaya pada hal-hal yang tak kasat mata. Itu pacu  kebenaran yang sebernarnya.

Kata guru mengaji amba di Tanjungpura, Langkat; bisikan doa membuat yang apa-apa menjadi yang bermakna karena berkah diajak serta. Seperti  bisikan ‘Orom Bismillah’ ke putik kopi –yang dinikahkan dengan angin berwalikan air, bersaksikan tanah dan matahari– di tradisi Gayo.

Begitu lah hetak-hetak bocah dan tubuh-tubuh “ayah” pendayung Pacu Jalur itu bergerak dengan bismillah menghela pacu,  ritual budaya jalur iku membuat sukaria menjulur dari Melayu.

Agustus 2025: Dari Sungai ke Dunia

Festival Pacu Jalur tahun ini akan digelar 20–24 Agustus 2025 di Tepian Narosa, Kuantan Tengah, Riau. Perhelatan ini kini sudah masuk agenda Kharisma Event Nusantara (KEN) dan ditargetkan menjadi magnet budaya internasional.

Wisatawan mancanegara mulai berdatangan. Amba membaca dari media, makjang tim dokumenter dari Eropa dan Asia telah mendaftarkan izin liputan. Penerjemah Melayu–Inggris disiapkan. Sementara warga Kuantan membenahi rumah-rumah mereka untuk berkah homestay. Karena… tidak ada hotel berbintang di Kuansing.

Dan di situlah daya tariknya, itu touristik nan otentik.  Tidak ada resort mahal. Tidak ada panggung buatan. Hanya sungai. Kayu. Dan tubuh-tubuh kampung puak Melayu yang setia menjaga Pacu Jalur tetap bernyawa.

Bahasa Non Teks

Dikeleh dari pandangan udara, Pacu Jalur tampak seperti barisan huruf-huruf hidup. Pendayungnya membentuk kaligrafi bergerak. Setiap hetak adalah titik. Setiap bocah adalah lengkung. Amba mencermati huruf ‘ba’ dari lengkung bocah dan hetak titik bawah. ‘Ba’ adalah Bismillah.

Inilah koreo bahasa tubuh non teks tamadun Melayu. Bukan untuk ditonton, tapi untuk dibaca dari rasa.

Tubuh kolektif yang tidak bicara “saya”, tapi “kami”, memulai dengan ‘Ba’  .

Huruf ‘Ba’ (ب) dalam ‘Bismillah’ (بِسْمِ ٱللَّٰهِ) memiliki arti ‘dengan’ atau ‘atas nama’. Secara lengkap, Bismillah berarti Dengan nama Allah.

Di zaman ketika budaya semakin terpersonalisasi dan terdigitalisasi hambar rasa, Pacu Jalur datang sebagai anomali melawan globalstream yang meneriakkan jiwa Melayu: ia bukan milik satu orang, tapi seluruh kampung, bahkan bangsa.

Pacu Jalur memang viral. Mari kita bertanya pada kita bertanya  apakah viralitas cukup untuk menjaga warisan? Apakah tiga menit di Reels bisa menampung rahasia lestari sang tiga abad tradisi?

Kekhawatiran itu nyata dari pikiran amba. Tapi dari amatan amba dari liputan vidio lakon sejumlah onjai (pawang jalur), patik menengok mereka tidak takut, ada mantra adikodrati tepian Narosa. Syaraf nya taknak tergoda doktrin ketakutan (Shock Doctrine) adalah teori yang diusung Naomi Klein dalam buku berjudul sama.

Tapi tubuh-tubuh Melayu menghidupi Pacu Jalur itu dengan cara  bertungkus lumus tabah menjaga, bukan karena pariwisata, bukan tersebab viral tapi karena kami belum selesai dengan sungai. Tersebab Melayu!

Majelis Pembaca.  Di Kuantan amba belajar lagi,  hatta sang air bukan sekadar elemen kimiawi. Ia adalah memori kolektif nan Melayuwi. Dan, helat Pacu Jalur adalah cara kekita mengingat ‘Ba’, melalui tubuh, melalui gerak, melalui hetak.

Dunia modern bisa datang dengan kamera, dengan jadwal, dengan keramaian. Tapi selama tubuh-tubuh itu masih tahu kapan harus hetak dan kapan harus ‘Ba’ — maka tradisi pun tamadun belum mati.

Bagi pembaca yang haus keajaiban yang nyata, bukan yang pabrikatif, datanglah ke Kuantan, Riau.

Tinggalkan layar dijital. Duduk di tepi sungai, mata hati memindai. Dan,  rasakan lah: bagaimana tubuh-tubuh tangguh Melayu itu bicara — dengan sang air, dengan tuah pengayuh kayu, dan dengan ruh semangat yang tak bisa dijinakkan sang ketakutan bergentayangan

INFO PRAKTIS FESTIVAL PACU JALUR 2025:

Waktu: 20–24 Agustus 2025.

Lokasi: Tepian Narosa, Kuantan Tengah, Riau.

Akomodasi: 20 hotel/wisma (391 kamar), ratusan homestay warga

Akses: Jalan Teluk Kuantan–Cerenti sedang diperbaiki, hubungi Dinas Pariwisata Riau untuk pemandu lokal

Epilog:

Di dunia yang makin cepat, Pacu Jalur datang seperti jeda. Yang mengingatkan kekita pada ritme yang lebih tua, lebih jujur, lebih dalam, lebih berasa. Lebih menjulur.

Dari Kuantan untuk dunia. Dari tubuh kampung untuk sejarah menjulur  yang tak mau dibisikkan ketakutan. Pacu Jalur, adalah kekita. “Tradisi bukan untuk dipajang di brosur, tapi untuk dijalani—dengan peluh, doa, dan rasa dengan ‘Ba’ bermula”. Tabik.

(Muhammad Joni, SH.MH., Advokat di Jakarta, Ketua dept. Sosial Politik Hukum dan Advokasi PB ISMI_Ikatan Sarjana Melayu Indonesia, Sekjen PP IKA USU)

Tulisan ini adalah bagian dari upaya merawat ingatan budaya dan membuka ruang dialog warisan leluhur di tengah arus zaman digital. (Red)

🖊️ Mudanews – Jernih Melihat Fakta

Berita Terkini