Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah.Ch.Cht.
Mudanews.com-OPINI | Di era digital, buzzer politik telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan, terutama di negara-negara berkembang.
Mereka adalah aktor-aktor bayangan yang mahir memanipulasi opini publik, melempar isu sensitif, dan menciptakan polarisasi tanpa memiliki latar belakang politik yang jelas.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada indikasi bahwa mereka dilatih dan didanai oleh kekuatan tertentu dengan agenda jangka panjang, bukan untuk membangun, melainkan untuk menghancurkan persatuan bangsa.
Jika kita melihat pentolan para buzzer ini, kita jarang melihat mereka punya latar belakang Pendidikan yang jelas , kebanyakan dari mereka tidak terdeteksi latar pendidikannya secara jelas , jikapun di temukan latar Pendidikan mereka bukanlah Universitas yang kredibel. Keberadaan mereka ibarat bayangan di Lorong-lorong gelap.
𝐁𝐮𝐳𝐳𝐞𝐫 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤: 𝐒𝐞𝐧𝐣𝐚𝐭𝐚 𝐃𝐢𝐠𝐢𝐭𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐞𝐜𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐡
Buzzer politik bekerja dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat narasi yang mereka sebarkan.
Mereka seringkali menargetkan masyarakat dengan tingkat literasi rendah, di mana informasi yang disampaikan mudah diterima tanpa verifikasi.
Menurut Woolley dan Howard (2018), buzzer dan bot sosial media dirancang untuk memanipulasi opini publik dengan menyebarkan konten emosional dan provokatif, sehingga memicu perpecahan (Woolley & Howard, 2018, p. 4).
Tidak hanya itu, para buzzer ini biasanya didukung oleh pendanaan besar, memungkinkan mereka menggunakan peralatan digital canggih seperti 𝘢𝘶𝘵𝘰𝘮𝘢𝘵𝘦𝘥 𝘣𝘰𝘵𝘴, 𝘧𝘢𝘬𝘦 𝘢𝘤𝘤𝘰𝘶𝘯𝘵𝘴, 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘺𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘵𝘰𝘰𝘭𝘴 untuk memperkuat pengaruhnya.
𝘉𝘳𝘢𝘥𝘴𝘩𝘢𝘸 𝘥𝘢𝘯 𝘏𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥 (2019) dalam penelitian mereka menemukan bahwa buzzer seringkali merupakan bagian dari 𝘤𝘺𝘣𝘦𝘳 𝘵𝘳𝘰𝘰𝘱𝘴 kelompok yang sengaja dibentuk untuk memengaruhi diskusi politik secara terkoordinasi (𝘉𝘳𝘢𝘥𝘴𝘩𝘢𝘸 & 𝘏𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥, 2019, 𝘱. 12).
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐑𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫𝐮𝐡?
Di negara dengan tingkat pendidikan rendah, masyarakat cenderung lebih mudah terpapar informasi yang bersifat emosional dan sensasional. Buzzer memanfaatkan hal ini dengan menyebarkan konten-konten yang memicu kebencian, ketakutan, atau fanatisme buta.
Persis seperti yang diungkapkan oleh Tucker et al. (2018), media sosial menjadi alat ampuh untuk menyebarkan disinformasi karena algoritmanya cenderung memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan tinggi, terlepas dari kebenarannya (Tucker et al., 2018, p. 10).
Selain itu, buzzer kerap menggunakan taktik 𝘢𝘴𝘵𝘳𝘰𝘵𝘶𝘳𝘧𝘪𝘯𝘨, menciptakan kesan bahwa suatu opini didukung oleh banyak orang, padahal hanya segelintir akun yang sengaja diperbanyak dengan Fake Account. Hal ini membuat masyarakat awam sulit membedakan mana suara asli rakyat dan mana yang direkayasa.
𝐁𝐮𝐳𝐳𝐞𝐫 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐜𝐮
Ingatkah kita saat krisis keuangan tahun 1998, di mana Rupiah babak belur di hajar doller, saat itu Soros adalah pemicu dengan menggunakan hukum ekonomi yakni memborong dollar sehingga dollar menjadi barang langka di pasar. Harga Dollarpun melonjak, dan kondisi ini diperparah oleh warga Indonesia sendiri. Banyak warga kaya Indonesia ikut membanjiri Rupiah ke pasar dengan membeli Dollar, para warga yang mempunyai kelebihan Financial ini bahkan menjual barang-barang berharga mereka dan mengkonversinya dengan US$ . dan US$ pun melambung dan Negeri ini mengalami krisis.
Secara Finansial memang ini menguntungkan mereka secara pribadi, tapi tanpa mereka sadari mereka turut serta menghancurkan ekonomi negerinya .
Begitu juga dengan buzzer, mereka memicu keterlibatan masyarakat dengan dukungan Algoritma media sosial yang menitikberatkan pada engagement .
Celakanya engagement ini justru meningkat karena berita Hoax , ujaran kebencian, adudomba dan Issu SARA .
Para content creator amatiran ini di monetize karena memiliki engagement besar dengan memproduksi berita yang berisi komunikasi kebencian, dan tanpa mereka sadari, mereka sudah menjadi Buzzer. Ini lah yang saya maksud Buzzer sebagai pemicu.
𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐃𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫𝐮𝐡 𝐁𝐮𝐳𝐳𝐞𝐫?
Meskipun buzzer memiliki senjata digital yang kuat, bukan berarti masyarakat tidak bisa melawannya. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Meningkatkan Literasi Digital. Edukasi tentang cara mengenali berita palsu, bias informasi, dan teknik propaganda harus gencar dilakukan. Masyarakat perlu diajarkan untuk selalu memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.
2. Mengembangkan Sikap Kritis . Tidak semua yang viral berarti benar. Masyarakat harus dibiasakan untuk bertanya: Siapa yang diuntungkan dari isu ini? Apakah sumbernya kredibel?
3. Memperkuat Persatuan di Tingkat Akar Rumput** – Buzzer berhasil karena mereka menciptakan perpecahan. Jika masyarakat sadar bahwa mereka sedang diadu domba, upaya buzzer akan sia-sia.
4. Kolaborasi dengan Platform Media Sosial. Pemerintah dan organisasi sipil dapat bekerja sama dengan platform seperti Facebook, Twitter, dan TikTok untuk mendeteksi dan membatasi akun-akun buzzer.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐏𝐞𝐫𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐦𝐮𝐥𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧
Buzzer politik bukan sekadar gangguan di dunia maya, mereka adalah ancaman serius bagi stabilitas negara.
Dengan pendanaan besar dan taktik manipulatif, mereka mampu menggerogoti persatuan bangsa. Namun, kekuatan terbesar melawan buzzer terletak pada masyarakat sendiri.
Dengan meningkatkan literasi, mengasah sikap kritis, dan menjaga persatuan, masyarakat dapat menjadi tameng terkuat melawan propaganda digital yang merusak.
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘉𝘳𝘢𝘥𝘴𝘩𝘢𝘸, 𝘚., & 𝘏𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥, 𝘗. 𝘕. (2019). 𝘛𝘩𝘦 𝘨𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳: 2019 𝘨𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘷𝘦𝘯𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘰𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘦𝘥 𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘱𝘶𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘦𝘵 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.31235/𝘰𝘴𝘧.𝘪𝘰/6𝘮4𝘵𝘴 (𝘱. 12).
2. 𝘛𝘶𝘤𝘬𝘦𝘳, 𝘑. 𝘈., 𝘎𝘶𝘦𝘴𝘴, 𝘈., 𝘉𝘢𝘳𝘣𝘦𝘳𝘢, 𝘗., 𝘝𝘢𝘤𝘤𝘢𝘳𝘪, 𝘊., 𝘚𝘪𝘦𝘨𝘦𝘭, 𝘈., 𝘚𝘢𝘯𝘰𝘷𝘪𝘤𝘩, 𝘚., 𝘚𝘵𝘶𝘬𝘢𝘭, 𝘋., & 𝘕𝘺𝘩𝘢𝘯, 𝘉. (2018). 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢, 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘱𝘰𝘭𝘢𝘳𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯, 𝘢𝘯𝘥 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘈 𝘳𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘴𝘤𝘪𝘦𝘯𝘵𝘪𝘧𝘪𝘤 𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳𝘢𝘵𝘶𝘳𝘦. 𝘏𝘦𝘸𝘭𝘦𝘵𝘵 𝘍𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.2139/𝘴𝘴𝘳𝘯.3144139 (𝘱. 10).
3. 𝘞𝘰𝘰𝘭𝘭𝘦𝘺, 𝘚. 𝘊., & 𝘏𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥, 𝘗. 𝘕. (2018). 𝘊𝘰𝘮𝘱𝘶𝘵𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘱𝘳𝘰𝘱𝘢𝘨𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘸𝘰𝘳𝘭𝘥𝘸𝘪𝘥𝘦: 𝘌𝘹𝘦𝘤𝘶𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘴𝘶𝘮𝘮𝘢𝘳𝘺. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘦𝘵 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘦𝘮𝘵𝘦𝘤𝘩.𝘰𝘪𝘪.𝘰𝘹.𝘢𝘤.𝘶𝘬/𝘸𝘱-𝘤𝘰𝘯𝘵𝘦𝘯𝘵/𝘶𝘱𝘭𝘰𝘢𝘥𝘴/𝘴𝘪𝘵𝘦𝘴/12/2018/07/𝘊𝘰𝘮𝘱𝘳𝘰𝘱-𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭-𝘌𝘹𝘦𝘤𝘶𝘵𝘪𝘷𝘦-𝘚𝘶𝘮𝘮𝘢𝘳𝘺.𝘱𝘥𝘧 (𝘱. 4).
✍️ Isi opini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi Mudanews.

