Pasaman Barat Mendunia [1]: Jejak Suluk Naqsabandiyah Lubuak Landua

Breaking News
- Advertisement -

Penulis: Wahyu Triono KS.

Mudanews.com-Opini | Di antara sunyi hutan yang melagukan zikir, berdiri sebatang tonggak kayu yang tak hanya menyangga atap, tapi juga langit hati para penempuh jalan Tuhan. Di balik lebat rimba Pasaman Barat, di sebuah nagari bernama Lubuak Landua, Aua Kuniang berdiri sebuah surau sederhana namun agung, Surau Baiturrahman.

Tempat ini bukan sekadar rumah ibadah, melainkan pusat dari perjalanan spiritual yang telah menembus batas negeri, Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah, sebuah tarekat yang hidup dan menyala dari akar Ranah Minang, lalu membubung tinggi ke langit dunia.

Awal Cahaya dari Tarekat (Suluk)

Sebelum masuk ke Nusantara, Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah telah berkembang luas di Mesir dan wilayah Timur Tengah. Akar ajarannya bermula sejak masa Rasulullah Muhammad SAW dengan nama Asroriyah (ilmu ketuhanan), lalu dikenal sebagai Siddiqiyah di era Abu Bakar Ash-Shiddiq. Perkembangannya berlanjut hingga ke Ranah Minang. Nama Naqsabandiyah sendiri diambil dari pendirinya, Syekh Muhammad Bahauddin Naqsabandi, yang dikenal dengan zikir dan kedekatannya kepada Allah SWT.

Penyebaran kajian Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah di Ranah Minang disebarkan oleh dua orang ulama yaitu Maulana Syekh Ibrahim Bin Fahati Al-Khalidi Kumpulan dan Syekh Simaburi yang berguru kepada Syekh Ismail Al-Minangkabauwi di Jabal Abi Qubais.

Berkembangnya Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah di Lubuak Landua –awal mula sebagai cahaya– karena adanya peran dari Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I) yang menimba ilmu ke Kumpulan tahun 1835 dan sempat belajar ke Madinah. Kemudian beliau kembali ke Lubuak Landua dan menyebarkan Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah dengan memimbing para salik di rumahnya, jumlah jama’ah pun masih sedikit, 10-20 orang jama’ah.

Pada tahun 1852 Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I) mendirikan Surau Baiturrahman (Surau Buya Lubuak Landua) yang dijadikan sebagai pusat sentral dalam mempelajari Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah di Pasaman Barat, maka Surau menjadi tempat dalam penyebaran Tarekat ini.

Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I) wafat pada usia 122 tahun, meninggalkan warisan ilmu dan zikir yang menyebar ke seluruh penjuru Sumatera, bahkan nusantara, menjadikan surau ini pusat tarekat Naqsabandiyah yang mendunia.

Setelah Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I) meninggal dunia tahun 1921, kedudukan guru/mursyid diamanatkan kepada anaknya Syekh Muhammad Amin (Buya Lubuak Landua II). Tetapi hanya memimpin singkat hingga akhir hayatnya pada 1927, sehingga Syekh Abdul Majid Khalidi Amin (Buya Lubuak Landua III) meneruskan kepemimpinan dari 1927 hingga 1984 —lebih dari lima dekade— beliau dipandang sebagai sosok penguat madrasah spiritual di surau ini.

Pada tahun 1984 Syekh Abdul Majid Khalidi Amin (Buya Lubuak Landua III) berpulang kerahmatullah sehingga posisi guru/mursyid diamanatkan kepada adiknya Syekh Abdul Jabar (Buya Lubuak Landua IV). Masa jabatan sebagai guru/mursyid yang diemban Syekh Abdul Jabar (Buya Lubuak Landua IV) tidak berlangsung lama (sekitar 7 tahun) sebab tahun 1991 beliau berpulang ke rahmatullah, kemudian posisi guru/mursyid digantikan oleh Syekh Bahri (Buya Lubuak Landua V) dari tahun 1991-2008 (anak dari Syekh Jabar).

Setelah Syekh Bahri (Buya Lubuak Landua V) meninggal dunia posisi guru/mursyid kemudian diamanatkan kepada Syekh Mustafa Kamal (Buya Lubuak Landua VI) dari tahun 2008-2020. Setelah Syekh Mustafa Kamal (Buya Lubuak Landua VI) meninggal dunia digantikan oleh Syekh Inyak Labai Nuzirman (Buya Lubuak Landua VII) dari tahun 2020-sekarang.

Sanad berdasarkan jejak ruhani tersebut mempraktikkan tarekat (suluk) dan ru’ya bil qalbi, dimana para guru/mursyid menerapkan tradisi suluk khalwat di surau —berdiam dalam keheningan 10–40 hari, hanya ditemani zikir, membaca Al-Qur’an, dan tawashul, terutama di bulan suci Ramadan, bulan Rajab, dan Sya’ban.

Kemudian tradisi ru’yah bil qalbi yaitu melihat hilal melalui ilham batin dengan izin Tuhan, sebagai metode khusus menentukan awal Ramadan, secara epistemologis didasari pada maqam mukasyafah.

Wisata Spritual

Selain menjadi tempat Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah, kawasan Surau Baiturrahman (Surau Buya Lubuak Landua) menjadi destinasi wisata spritual yang mendunia dengan objek wisata antara lain. Pertama, Tonggak kayu dari hutan, sebagai tiang yang menyangga atap surau dan ruh.

Pembangunan Surau Baiturrahman bukan sembarangan. Tonggak-tonggaknya berasal dari kayu tua hutan yang dipilih tidak hanya dengan mata, tapi dengan hati dan ruh. Dikisahkan bahwa tonggak-tonggak itu dibawa bukan dengan kekuatan fisik semata, melainkan dibimbing oleh kekuatan spiritual para guru/mursyid.

Bukan kayunya yang berat, tapi dzikir yang meringankannya. Malam-malam hening, kayu-kayu itu dipanggul dari rimba dengan iringan salawat dan zikir. Mereka tak hanya membangun surau, tapi menyulam surga di bumi. Tiap pukulan palu, tiap tetes keringat, mengandung makna dan maqam.

Kedua, Terdapat makam para guru/mursyid sebagai simfoni sunyi di halaman, tepatnya di bawah Surau. Di Surau Baiturrahman terdapat makam sederhana namun penuh khidmat, milik para guru/mursyid Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah Surau Lubuak Landua. Nisan-nisan mereka terhampar tenang, menjadi maqam yang tetap dikunjungi peziarah. Makam yang tidak pernah sepi dari zikir, tawasul para penempuh jalan Tuhan, jejak yang tak hilang di tanah. Tak ada kubah megah, hanya tanah sederhana dan nisan bersahaja. Tetapi dari situ, harum ruh suci menjulang ke langit, menyapa jiwa yang berziarah.

Pusara para guru/mursyid di Lubuak Landua telah menjadi maqam —tempat yang dikunjungi bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk merenung. Di sinilah banyak orang menemukan kembali makna hidup, setelah lama tersesat dalam gemerlap dunia. Para peziarah datang, duduk diam di atas tikar pandan, terkadang tak berkata apa-apa. Tapi dari keheningan itu, lahir zikir dan tekad baru untuk menapaki tarekat (suluk) yang berat namun nikmat, menuju Allah SWT.

Ketiga, Ikan Larangan sebagai wisata ruhani dalam simbol kehidupan. Tak jauh dari surau, mengalir sungai jernih yang dihuni oleh ikan larangan —ikan-ikan yang tidak boleh ditangkap dan dimakan, sebagai simbol penjagaan terhadap berkah dan amanah Tuhan. Airnya bening seperti hati yang dibersihkan dalam tarekat/suluk.

Destinasi ini bukan hanya wisata alam, melainkan juga wisata batin dan spritual. Banyak peziarah yang datang, bukan hanya melihat ikan, tapi merasakan sejuknya spiritualitas yang hidup dari tanah ini. Airnya bening karena tidak diusik. Begitu pula hati, akan jernih bila tidak dicemari oleh dunia semata yang bersifat fana.

Penutup

Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I) menanam tongkat, lalu menanam zikir di relung nisan. Sanad bergema di kalbu, ruh mereka tak pernah padam. Dari Lubuak Landua sampai ke ujung negeri, deru zikir terdengar penuh nurani, karena guru/mursyid adalah nakhoda, menerbangkan kapal ruh ke pelabuhan Ilahi.

Tarekat ini bukan tarekat yang berisik. Ia tidak menempuh jalan promosi, tapi kesahajaan. Namun justru karena kesunyian itu, dunia datang mendekat. Surau Baiturrahman telah menjadi titik temu, tempat berguru, tempat tarekat (bersuluk), dan tempat pulang bagi banyak ruh yang haus akan makna. Dari tanah kecil ini, ajaran Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah Lubuak Landua menyebar seperti mata air yang tak pernah kering.

Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah Lubuak Landua, Aua Kuniang, Pasaman Barat menyusuri jalan sunyi menuju cahaya, karena Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah di surau ini menganut suluk yang dalam. Praktik khalwat selama 10, 20, bahkan 40 hari. Para penempuh jalan (salik) tinggal di dalam surau, memutus diri dari dunia luar, hanya bersama Allah dan zikir yang tak putus.

Suluk mereka telah dikenal luas, bukan hanya di Pasaman Barat atau Minangkabau, tetapi hingga ke negeri seberang —Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan komunitas diaspora di Eropa. Karena melalui tarekat (suluk) ini hening bukanlah kekosongan. Hening adalah ruang di mana ruh mengenali kembali cahaya asalnya.

Dari surau ini, para guru/mursyid, khalifah, dan salik telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, menyebarkan ajaran tasawuf yang damai, merangkul, dan membumi. Tarekat (Suluk) Naqsabandiyah Lubuak Landua menjelma menjadi magnet spiritual yang memanggil para pencari Tuhan dari seluruh penjuru dunia.

Tuhan, di surau kayu ini kami bersimpuh, pada tonggak tua kami bersandar. Biarkan zikir kami menjadi angin, menyentuh hati-hati yang haus, hingga dunia mengenal makna damai dari surau kecil ini. Al-Fatihah untuk Syekh Maulana Muhammad Basyir (Buya Lubuak Landua I), Sanad Cahaya dari Surau ke Langit –Para Guru/Mursyid di Surau Lubuak Landua, Kaum Muslimin dan Muslimat dan Para Orangtua kita. [WT, Asyura, 10 Muharram 1447 H/6/7/2025 M].

Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS. Akademisi dan Praktisi Kebijakan Publik, Founder dan Pengasuh TPA LEADER dan CIA Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri.

Berita Terkini