Penulis: Wahyu Triono KS
Mudanews.com-Opini | Senja baru saja tiba, di kaki Gunung Pasaman (Ofir), tepat di perempatan jalan yang mulai sepi, pernah berdiri papan nama jalan, bertuliskan: “Jalan Jenderal Soeharto”. Menjadi petunjuk yang sangat tegas “Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat.”
Sudah cukup banyak daerah-daerah dan kota-kota yang saya kunjungi, sepertinya baru kali itu saya menemukan nama jalan yang diberi nama “Jalan Jenderal Soeharto.”
Ini adalah kisah lama tentang tanah basah yang dulunya sepi, yang kemudian berdirilah bangunan dan harapan, tangan kekuasaan menggurat jejak, menanam sejarah di bumi Minang. Di bumi yang sepi sebelum tangan kekuasaan menyentuhnya, setelahnya tumbuh jejak-jejak pembangunan —di bawah bayang orde baru.
Warisan Sejarah Kolonial
Di antara lebat rimba dan hamparan tanah yang dahulu liar dan lengang, Pasaman Barat menjadi saksi bisu atas jejak kekuasaan Presiden Soeharto. Wilayah ini, yang kini menjadi bagian dari Sumatera Barat, pernah berada dalam arus deras pembangunan nasional.
Di masa orde baru, pembangunan bukan hanya wacana di ruang sidang, tetapi juga nyata di tanah-tanah perintisan. Pasaman Barat, dalam segala keterpencilannya dahulu, mendapat limpahan sentuhan kekuasaan itu.
Di barat ranah Minang, tepatnya di Pasaman Barat, sejarah kekuasaan Presiden Soeharto bukan hanya tercatat dalam arsip, melainkan tertanam dalam jalanan, sekolah, pasar, dan sawah. Kabupaten yang kini menjadi salah satu lumbung ekonomi Sumatera Barat ini dulunya hanyalah dataran subur yang terhampar sepi, hingga datang angin pembangunan dari Jakarta di era orde baru.
Presiden Soeharto, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, memandang daerah-daerah pinggiran sebagai ladang pembangunan. Pasaman Barat pun tak luput dari bidikan pembangunan ala orde baru, sebuah masa di mana pembangunan menjadi mantra dan stabilitas menjadi tujuan utama.
Sebelum pembangunan besar-besaran di era orde baru, Pasaman Barat menyimpan warisan sejarah kolonial Belanda yang masih membekas. Sistem irigasi peninggalan kolonial di beberapa wilayah seperti Luhak Nan Duo dan Kinali menjadi titik pijak bagi pembangunan lebih lanjut. Ladang dan sawah yang dibuka oleh kolonial menjadi landasan awal bagi Indonesia untuk merancang masa depan pertaniannya di wilayah ini. Di ladang lama yang pernah dijajah, kini tumbuh kembali dengan arah baru —bukan untuk menanam kopi bagi penjajah, tapi padi bagi anak negeri.
Warisan sejarah kolonial di Pasaman Barat menjadi pengingat bahwa kekuasaan tak pernah hadir dalam ruang hampa —ia selalu bertaut dengan masa lalu, membentuk tapak-tapak yang kemudian diwarisi, diolah, dan ditafsirkan ulang dalam dinamika kekuasaan di era Presiden Soeharto dan seterusnya.
Geliat Ekonomi
Di balik lanskap alam yang hijau dan tenang di Pasaman Barat, tersimpan jejak ekonomi yang tak terpisahkan dari kekuasaan Presiden Soeharto di masa orde baru. Tapak Sang Jenderal bukan hanya simbol historis, tetapi juga cikal bakal perubahan sosial-ekonomi di kawasan ini. Melalui kebijakan transmigrasi dan pembukaan lahan skala besar, kawasan ini menjelma menjadi pusat aktivitas ekonomi baru yang memengaruhi struktur masyarakat hingga hari ini.
Dari beberapa catatan yang dapat ditelusuri bagaimana jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat, tak hanya meninggalkan warisan politik, tetapi juga denyut ekonomi yang terus bertransformasi di tengah tantangan zaman.
Pertama, Pembangunan Jalan Simpang Empat – Manggopoh, sebagai urat nadi ekonomi yang dihidupkan. Salah satu proyek penting Presiden Soeharto di Pasaman Barat adalah pembangunan jalan penghubung Simpang Empat – Manggopoh. Jalan ini menjadi urat nadi baru yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pusat perdagangan di pantai barat.
Dengan infrastruktur ini, hasil tani dan perkebunan yang sebelumnya sulit dipasarkan kini bisa menjangkau Padang dan kota-kota lainnya. Jalan ini bukan sekadar aspal dan batu, tetapi lambang keterhubungan antara kekuasaan pusat dan rakyat di pelosok. Jalan panjang itu bukan sekadar jalan, ia adalah lorong waktu yang mengantar rakyat keluar dari keterisolasian.
Kedua, Sekolah Inpres, Pasar Inpres, dan Puskesmas merupakan pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk rakyat. Dalam semangat Instruksi Presiden atau Inpres, dibangunlah berbagai fasilitas umum di Pasaman Barat. Sekolah Dasar Inpres bermunculan, membuka jendela dunia bagi anak-anak desa. Di balik papan nama SD Inpres itu, tertulis harapan: agar anak dusun bisa menulis takdirnya sendiri.
Pasar Inpres menggeliat sebagai pusat ekonomi rakyat, memutar roda jual beli dari pagi hingga senja. Di sektor kesehatan, Puskesmas dibangun sebagai lini pertama layanan kesehatan. Bagi rakyat yang sebelumnya bergantung pada dukun kampung, kehadiran Puskesmas membawa harapan dan ilmu medis modern.
Ketiga, Irigasi dan Peternakan, Kerja Sama GTZ dari Pemerintah Jerman. Salah satu tonggak penting dalam pembangunan pertanian di Pasaman Barat adalah kerja sama antara Indonesia dan GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit) dari Jerman. Program ini menyasar irigasi teknis dan pengembangan peternakan yang modern.
Sistem irigasi di daerah seperti Sasak dan Talamau diperkuat, membuka lahan pertanian baru dan meningkatkan produktivitas. Sementara itu, peternakan sapi dan kambing dikembangkan dengan sistem terpadu. Dari Jerman datang bantuan, bukan penjajahan, air mengalir di parit sawah, dan anak sapi lahir di kandang rakyat.
Keempat, Transmigrasi TNI Angkatan Darat, Membuka Lahan, Membangun Desa. Program transmigrasi di Pasaman Barat bukan hanya didominasi oleh sipil, melainkan juga dijalankan melalui TNI Angkatan Darat. Para tentara datang tak membawa senjata, tapi cangkul dan semangat membangun.
Mereka membuka lahan-lahan baru di daerah seperti di Ofir, Jambak, Bandarejo, Sungai Aur dan Koto Balingka dan daerah lainnya. Desa-desa baru pun lahir, dihuni oleh para transmigran dari Jawa, dengan harapan hidup yang lebih baik dan rasa kebangsaan yang diperkuat. Dulu mereka datang untuk perang; kini mereka menanam jagung, dan menjaga NKRI dari kelaparan.
Kelima, Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, Sistem Plasma dan Inti Rakyat. Salah satu proyek paling ambisius di era Soeharto adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan sistem Plasma dan Inti Rakyat. Di bawah naungan PTPN IV, ribuan hektare lahan dibuka untuk kelapa sawit.
Model ini menjadikan rakyat bukan sekadar buruh, melainkan mitra. Petani plasma mendapatkan lahan, bibit, dan pelatihan, sementara PTPN IV mengelola dan memasarkan hasilnya. Ini adalah contoh nyata industrialisasi pedesaan yang bercita rasa kekeluargaan. Di balik daun sawit yang menjulang, ada kisah rakyat yang menanam, dan negara yang menyiram.
Keenam, Pembangunan Pabrik PTPN IV, Simbol Industrialisasi Pedesaan. Untuk mendukung produksi sawit, dibangun pula pabrik kelapa sawit oleh PTPN IV. Asap dari cerobongnya menjadi tanda zaman telah berubah; Pasaman Barat bukan lagi daerah agraris semata, tetapi telah merambah industri.
Dengan teknologi pengolahan modern, pabrik ini menyerap tenaga kerja lokal, memutar roda ekonomi, dan menjadikan kelapa sawit sebagai primadona ekspor. Di desa kecil, berdirilah pabrik besar, tak lagi menjual tanah, tapi hasil bumi yang bernilai dunia.
Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat bukan hanya tertanam dalam sejarah politik, tetapi juga terus hidup dalam geliat ekonomi masyarakat yang tumbuh di atas tapak-tapak kebijakan masa lalu —warisan yang kini menjadi pijakan bagi arah masa depan.
Penutup
Kisah ini adalah tentang jejak yang masih tertinggal, Jejak Presiden Soeharto di Pasaman Barat yang masih membekas. Dari jalan raya hingga pasar, dari ladang sawit hingga irigasi, semua adalah tapak sejarah kekuasaan yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat.
Meski Orde Baru telah lama berakhir, bangunan dan sistem yang ia wariskan masih menjadi denyut ekonomi hari ini. Presiden Soeharto telah tiada, tetapi sawah, sekolah, dan pasar yang ia bangun tetap berbicara.
Meskipun tidak semua yang dibangun adalah berkat, dan tak semua yang tertinggal adalah luka. Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat ibarat dua sisi mata uang, pembangunan dan kontrol, pertumbuhan dan ketimpangan. Jalan, sekolah, pasar, pabrik, transmigrasi —semuanya tumbuh dari tangan kekuasaan yang kuat dan sentralistik.
Namun di tengah bayang itu, ada kehidupan yang tetap tumbuh. Petani yang panen dua kali setahun. Anak transmigran yang kini jadi dokter, teknokrat dan pejabat. Jalan tanah yang berubah jadi jalur ekonomi. Itulah warisan, baik atau buruk, yang ditinggalkan oleh kekuasaan yang dulu tak tertandingi.
Jejak Presiden Soeharto di Pasaman Barat bukan sekadar catatan sejarah —ia adalah lapisan tanah, pohon sawit, dan ingatan yang masih tumbuh di tiap pagi yang sunyi. Dan jika pembangunan adalah puisi, maka Pasaman Barat adalah bait panjang yang ditulis Presiden Soeharto dengan tinta pembangunan. [WT, 3/7/2025].
Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS. Akademisi dan Praktisi Kebijakan Publik, Founder CIA dan LEADER Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri.**