Jejak Politik dan Loyalitas dalam Pusaran Suap Proyek Jalan Sumut

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com-Opini | Pusaran suap proyek jalan di Sumatera Utara tidak hanya membongkar borok di sektor infrastruktur, tetapi juga menyingkap pola lama yang tak lekang oleh waktu: politik balas jasa dan loyalitas dalam birokrasi.

Topan Obaja Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, bukan nama asing dalam lingkar kekuasaan Sumut. Ia dikenal publik sebagai salah satu orang dekat Gubernur Sumut, Bobby Nasution, sejak era Wali Kota Medan. Pernah menjabat sebagai Plt Sekda Kota Medan, Topan dianggap sebagai bagian dari tim yang ikut mengantar kemenangan Bobby dalam Pilkada Medan dan turut memberi dukungan struktural dalam kontestasi Pilgubsu.

Kini, ia terseret dalam dugaan suap proyek jalan senilai miliaran rupiah. Uang tunai, transfer, hingga sisa Rp231 juta yang belum jelas arahnya—semuanya sedang ditelusuri KPK bersama PPATK dalam operasi follow the money. Dalam konferensi pers, KPK secara terbuka menyatakan tidak akan mengecualikan siapa pun jika dana itu mengalir ke pejabat lain, termasuk gubernur.

Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang akan dipanggil,” tapi “apakah sistem kekuasaan siap terbuka dikuliti”?
Apakah loyalitas politik telah mengaburkan objektivitas pengangkatan pejabat? Atau apakah kekuasaan lokal mulai terbiasa memelihara struktur yang tidak hanya solid secara birokrasi, tapi juga solid menutup jejak?

KPK berada pada simpul kritis: antara membongkar jaringan, atau hanya mencabut ranting. Bila penelusuran ini benar-benar menyentuh inti kekuasaan, maka ini bisa menjadi uji nyali bagi lembaga antirasuah. Masyarakat tentu berharap, keadilan tak berhenti di lapis teknis—tapi berani menyentuh struktur yang terlindungi oleh relasi kuasa dan loyalitas politik.

Korupsi jalan bukan hanya kejahatan anggaran, tapi juga jalan menuju pembusukan demokrasi lokal. Ketika jabatan jadi imbalan, dan proyek jadi bancakan, maka rakyat tak lagi menempuh jalan pembangunan—melainkan tersesat dalam belantara kekuasaan.

Namun, penting digarisbawahi: hingga saat ini, tidak ada kesimpulan hukum yang menyatakan pejabat puncak di Sumatera Utara terlibat langsung. KPK pun menegaskan, proses pemanggilan akan dilakukan jika ditemukan jejak aliran dana yang relevan, dan tidak ada satu pun pihak yang dikecualikan dari penyelidikan.

Ini adalah saat yang tepat bagi kepala daerah untuk membuktikan integritas dan keterbukaan. Justru dalam momentum seperti inilah, seorang pemimpin diuji bukan hanya dari hasil pembangunan, tetapi dari cara menghadapi badai. Tidak defensif, tidak reaktif, tapi memberi ruang bagi hukum bekerja tanpa intervensi.

Bagi rakyat, kasus ini adalah pengingat: bahwa di balik jalan-jalan yang kita lewati setiap hari, ada proses panjang yang tak selalu mulus. Kita tak bisa terus percaya bahwa semua pembangunan bersih hanya karena diresmikan dengan baliho dan gunting pita. Yang kita butuhkan bukan hanya jalan mulus, tapi juga tata kelola yang lurus.

Ketika loyalitas politik menjadi bagian dari penunjukan jabatan strategis, maka yang diuji bukan hanya kapasitas, tapi juga moralitas. Bila jalan dibangun atas dasar imbalan, maka yang hancur bukan hanya aspal, tapi juga kepercayaan publik.

Dan seperti yang kerap dikatakan banyak warga:  “Kalau jalannya saja bisa dijual, apalagi yang lain?”.**[Red]

📝 Catatan Redaksi:

Tulisan ini berdasarkan informasi terbuka yang telah diberitakan luas oleh media nasional dan lokal, termasuk konferensi pers resmi KPK (28 Juni 2025). Redaksi menekankan bahwa semua pihak tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah hingga proses hukum dinyatakan berkekuatan tetap. Opini ini bertujuan untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih, bukan untuk menyudutkan individu atau lembaga mana pun.

Berita Terkini