Mudanews.com-Oipini | Indonesia bukan sekadar tanah dan air. Ia adalah ruh, tumpah darah, dan harapan yang dijahit dari berjuta suara. Dalam hembus angin kemerdekaan yang lahir di tengah jerit perjuangan dan darah yang tumpah, 22 Juni 1945 bukan sekadar tanggal —ia adalah kesaksian sejarah.
Pada hari itu, lahir Piagam Jakarta, sebuah naskah awal pembukaan Undang-Undang Dasar yang mengandung tujuh kata yang kemudian menjadi perdebatan: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” dalam sila pertama, yang kemudian diubah.
Piagam Jakarta Bukan Piagam Madinah.
Piagam Jakarta Bukan Piagam Madinah! Karena Piagam Madinah adalah konstitusi kenabian di Yatsrib, yang dibangun atas fondasi nubuwwah dan wahyu. Ia menyatukan kaum Muslimin, Yahudi, dan Pagan Arab (kepercayaan dan praktik keagamaan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam) dalam tatanan teokratis yang menyeimbangkan hak dan kewajiban antar kelompok.
Sementara Piagam Jakarta lahir dari musyawarah panjang, hasil dari tafakur kebangsaan dalam ruang majelis yang dibentuk oleh manusia biasa —tokoh lintas agama, ideologi, dan suku. Di sini tak ada Muhammad SAW. Di sini ada Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan tokoh-tokoh lain yang juga terlibat dalam perumusan Piagam Jakarta antara lain Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, KH Wahid Hasyim, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin yang mendengar getar tanah air. Mereka tak membawa wahyu, tetapi membawa hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Secara umum, Piagam Jakarta memiliki struktur yang hampir identik dengan Pembukaan UUD 1945 yang sekarang kita kenal. Namun, ada satu perbedaan kunci, Sila Pertama dalam Piagam Jakarta, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Frasa ini yang kemudian menjadi sumber perdebatan serius.
Pertanyaannya kemudian, mengapa menjadi kontroversi? Kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dipandang oleh sebagian kalangan, terutama tokoh-tokoh dari Indonesia Timur dan non-Muslim, sebagai berpotensi diskriminatif dan bisa mengancam persatuan bangsa, bahkan mengancam tidak akan bergabung dengan Indonesia jika kalimat itu tetap dipertahankan.
Untuk menghindari disintegrasi bangsa, pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi, tujuh kata tersebut dihapus dan diganti menjadi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini dilakukan atas prakarsa dan persetujuan bersama, termasuk tokoh-tokoh Islam, seperti Mohammad Hatta yang menyampaikan langsung permintaan tersebut kepada tokoh Islam seperti Kasman Singodimedjo dan K.H. Wahid Hasyim, yang dengan berat hati menerima demi keutuhan bangsa.
Secara yuridis, Piagam Jakarta tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena tidak menjadi bagian dari konstitusi yang disahkan. Namun secara historis dan politis, Piagam Jakarta tetap menjadi dokumen penting dan sering dikutip dalam perdebatan tentang dasar negara, peran agama dalam negara, dan semangat kompromi kebangsaan.
Refleksi Historis dan Etis
Ditinjau dari makna dan pengaruh Piagam Jakarta dalam NKRI sebagai refleksi historis dan etis mengisahkan dan menyisakan suatu luka sejarah yang mengajarkan cinta, saat tujuh kata itu akhirnya dihapus pada 18 Agustus 1945 demi menjamin kesatuan bangsa, ada luka yang tak tersembuhkan.
Banyak tokoh Islam merasa dikhianati, bahwa janji atas dasar negara yang menghargai syariat Islam tak ditepati. Namun seperti luka pada kulit pejuang, luka itu bukan untuk dikenang dalam dendam, tetapi untuk dikenang sebagai bekas dari pengorbanan cinta kepada tanah air. “Wahai sejarah, engkau penuh darah, Tapi justru dari merahmu lahir cahaya.”
Secara historis dan etis terdapat beberapa catatan berkaitan dengan dihapusnya tujuh kata pada Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945. Pertama, Simbol kompromi dan kebijaksanaan umat Islam yang meskipun mayoritas, memilih untuk tidak memaksakan syariat Islam dalam konstitusi demi persatuan nasional.
Kedua, Cikal bakal Pancasila. Piagam Jakarta adalah draft awal Pancasila, dan ide dasarnya tetap menjadi pondasi Indonesia sampai hari ini. Sebagian bertanya, adakah kebersamaan itu sejati? Atau hanya basa-basi politik untuk menghindari perang saudara? Realitanya, dalam tahun-tahun pasca-kemerdekaan, kebersamaan itu diuji dengan: Pemberontakan DI/TII karena merasa syariat dipinggirkan, Diskursus ideologi di Konstituante yang tak kunjung selesai, dan Ketegangan antara nasionalisme sekuler dan Islamisme.
Namun dari semua badai itu, Indonesia tetap memilih jalan tengah, Pancasila dan Pancasila bukan kompromi lemah, melainkan konsensus agung. Ia bukan hasil saling mengalah, melainkan saling memahami.
Ketiga, Pelajaran demokrasi dan pluralisme. Piagam Jakarta menunjukkan bahwa negara Indonesia dibentuk bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh musyawarah, keberanian mengalah, dan kesediaan memahami pihak lain. Dengan kata lain penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta menguatkan demokrasi dan penangkal tirani.
Piagam Jakarta menjadi pengingat, bahwa mayoritas tidak bisa memaksakan kehendak atas nama jumlah. Bahwa negara tidak boleh tunduk pada satu tafsir tunggal kebenaran. “Negeri ini tidak dibangun dari satu iman, Tapi dari berjuta harapan dalam satu tujuan.”
Justru dari kesediaan umat Islam —yang saat itu merupakan mayoritas— untuk tidak menjadikan syariat sebagai hukum negara, Indonesia belajar: demokrasi bukan sekadar suara terbanyak, tetapi suara yang mau mendengar yang sedikit. Di sinilah titik emas peradaban, saat kepercayaan mayoritas diuji dan tetap memilih ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan).
Penutup
Piagam Jakarta dalam konteks masa kini bukan kegagalan, melainkan kebesaran jiwa. Bukan sekadar dokumen hukum, melainkan saksi sejarah atas kompromi suci. Bukan simbol eksklusivitas agama, melainkan penanda awal pluralisme Indonesia. Piagam Jakarta mengajari kita, Bahwa keutuhan negeri lebih berharga daripada menang dalam satu tafsir semata.
Ahmad Syafii Maarif (2009), sebagai Refleksi Historis dan Etis mengungkapkan bahwa “Umat Islam Indonesia telah menunjukkan kedewasaan politik yang luar biasa. Mereka rela menanggalkan sebagian cita-cita syariat demi cita-cita kebangsaan yang lebih besar.”
Tapi perlu diingat bahwa pengorbanan umat Islam tersebut janganlah dilupakan sebagaimana yang diungkapkan Kasman Singodimedjo, pejuang kemerdekaan dan ulama besar, saat menerima penghapusan tujuh kata itu: “Demi persatuan, kita rela. Tetapi janganlah kita dilupakan. Jangan pula Pancasila dipisahkan dari sila Ketuhanan yang sejati.”
Indonesia, engkau bukan Madinah, tapi engkau tanah tumpah darah,
Engkau bukan ilham wahyu, tapi gema jerih payah dan musyawarah,
Dalam luka Piagam, kami temukan kasih yang tak terkatakan,
Dalam pengorbanan umat, kami lihat dasar negara diperkokoh perlahan.
Bukan mimpi sempurna yang kita jaga,
Tapi janji untuk setia pada cita-cita,
Bahwa di sini, semua bisa merasa satu,
Meski tak serupa warna kulit dan arah kiblat bersatu.
Bukan Piagam Madinah,
Tapi Piagam Jakarta yang berakhir demi persaudaraan.
Itulah demokrasi yang kita rawat,
Penangkal tirani yang lahir dari semangat umat.
Piagam Jakarta: Luka Sejarah dan Jejak Kebersamaan Menuju Demokrasi adalah suatu upaya untuk melakukan Sebuah Reflesi Historis dan Etis lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. [WT, 22/6/2025].
Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS, Kader Utama Pemuda Pancasila, Akademisi dan Praktisis Kebijakan Publik. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerjasama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Referensi:
1. Anhar Gonggong. Indonesia dalam Arus Sejarah (2013).
2. Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009).
3. Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011).
4. Saifuddin Zuhri. Berangkat dari Pesantren (1974).
5. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (Sekretariat Negara RI).