Mudanews.com-Jakarta | Ancaman hoaks dan disinformasi bukan sekadar gangguan komunikasi, tetapi telah menjelma menjadi “Bom Waktu Digital” yang secara sistematis menggerogoti persatuan, kepercayaan publik terhadap pemerintah, serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peringatan tegas ini disampaikan oleh Drs. Muhammad Bardansyah, Ch.Cht dari Forum Komunikasi Bela Negara (FKBN) Provinsi DKI Jakarta, dalam Dialog Interaktif Pemantapan Kesadaran Bela Negara Angkatan ke-2 Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi DKI Jakarta, Rabu (25/6/2025), di Hotel Best Western Mangga Dua, Jakarta Utara.
Indonesia: Anugerah Sekaligus Sasaran Strategis
Dalam paparannya, Bardansyah menegaskan posisi Indonesia sebagai “pusaran geostrategis” dunia. Menurutnya, wilayah Nusantara bukan sekadar untaian pulau, melainkan poros geopolitik Asia Tenggara yang mengendalikan jalur perdagangan global, seperti Selat Malaka, yang dilintasi lebih dari seperempat perdagangan maritim dunia.
“Kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seperti nikel, tembaga, energi, hingga kekayaan laut, menjadikan Indonesia sebagai magnet sekaligus target serangan non-militer oleh kekuatan besar dunia,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa perang konvensional sudah tak lagi relevan. Kini, musuh lebih memilih strategi proxy war, dengan senjata utama berupa serangan informasi digital yang masif.
Ruang Siber: Medan Perang Gaya Baru
Sebagai pengamat sosial politik, Bardansyah menguraikan bahwa keragaman budaya dan agama Indonesia yang tinggi, jika tidak diimbangi dengan literasi digital, justru menjadi kerentanan.
“Algoritma media sosial dirancang untuk keterlibatan, bukan kebenaran. Di situlah hoaks dan ujaran kebencian menjadi konten paling menjual,” jelasnya.
Ia menambahkan, musuh dengan sengaja menyebarkan narasi pemecah-belah, memanipulasi sentimen SARA, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
“Algoritma adalah amplifier yang bisa menjebak masyarakat dalam labirin distorsi informasi,” tegasnya.
Mengungkap Bahaya Hoaks dari Perspektif Ilmiah
Untuk memperkuat argumentasi, Bardansyah mengutip berbagai teori komunikasi massa, di antaranya:
Echo Chamber (Cass Sunstein, 2021): Algoritma media sosial menciptakan ruang gema informasi yang memperkuat bias dan memperdalam polarisasi masyarakat.
Spiral Kebisuan (Elisabeth Noelle-Neumann, 1974): Informasi rasional sering tenggelam oleh dominasi narasi destruktif yang membuat publik enggan menyuarakan kebenaran.
Bias Konfirmasi (Nickerson, 1998): Masyarakat cenderung percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya, meski belum tentu benar.
Efek Kebenaran Semu (Hasher et al., 1977): Informasi palsu yang terus diulang cenderung dianggap benar karena familiar di benak publik.
“Gabungan antara kerentanan sosial, rendahnya literasi digital, dan manipulasi algoritma berbasis psikologi ini menjadikan hoaks sebagai ancaman nyata yang bisa merusak sendi-sendi kebangsaan,” papar Bardansyah.
Generasi Muda: Garda Terdepan Bela Negara Digital
Bardansyah menekankan pentingnya peran generasi muda sebagai pengguna digital paling aktif. Mereka diharapkan menjadi “Kader Bela Negara Digital”, dengan langkah-langkah strategis seperti:
Membangun imunitas kognitif, yaitu kemampuan menyaring, menganalisis, dan memverifikasi informasi.
Memecah echo chamber, dengan cara aktif mencari referensi dari sumber terpercaya dan menyuarakan kebenaran.
Menjadi agen penangkal hoaks, dengan melaporkan konten berbahaya dan memproduksi konten positif berbasis nilai kebangsaan.
Memperkuat pemahaman terhadap Pancasila, UUD 1945, dan prinsip NKRI sebagai pondasi ideologi.
Rekomendasi Strategis untuk Pemerintah
Dalam kesempatan itu, Bardansyah juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kebijakan kepada pemerintah:
Penguatan literasi digital nasional, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Penguatan kapasitas lembaga, seperti Kominfo dan BSSN, dengan SDM dan teknologi mutakhir.
Promosi konten positif di ruang digital, termasuk melibatkan komunitas kreatif dan influencer edukatif.
Transparansi komunikasi publik, untuk meminimalkan ruang tumbuh hoaks.
Revitalisasi program bela negara, termasuk pemahaman tentang proxy war, teknik melawan disinformasi, dan psikologi massa.
Penutup: Ketahanan Digital Adalah Pertahanan Negara
Mengakhiri paparannya, Bardansyah mengajak seluruh elemen bangsa, terutama generasi muda, untuk menjadi bagian dari pertahanan negara yang baru: ketahanan digital.
“Keutuhan NKRI di era perang informasi tidak cukup dijaga dengan senjata. Ia butuh kesadaran kolektif dan kemampuan literasi yang tangguh,” tutupnya, disambut tepuk tangan peserta.
Acara ini menjadi salah satu upaya strategis Kesbangpol DKI Jakarta dalam memperkuat kesadaran warga terhadap ancaman kontemporer dan mendorong partisipasi aktif dalam menjaga kedaulatan bangsa di ruang fisik maupun digital.**[Red]