Oleh Erizeli Bandaro
Mudanews.com OPINI – Saya pulang ke rumah naik taksi. Jam menunjukan pukul 7 malam. Seperti biasa dalam kendaraan saya suka ngobrol dengan supir taksi. Saya suka melakukan studi social secara langsung dan memang ngobrol dengan mereka menyenangkan. Hiburan tersendiri. Tidak ada hipokrit. Apa adanya. Sedang bicara. Telp selular saya bergetar. Saya terima telp dari luar negeri. Setelah itu saya terdiam.
“Pak, ” Kata supir taksi memecah lamunan saya.
” Ya”
“Tadi saya antar penumpang wanita. Dia cerita. Kena razia di kamar hotel. Satpam yang selalu dia beri uang tip malah membantu aparat razia kamarnya. Dia baru bisa bebas setelah bayar uang ke aparat…
” Terus…” saya penasaran dengan ceritanya.
” Wanita itu cerita, siang hari dia kerja sebagai guru anak anak. Tapi malam hari dia kerja sebagai wanita panggilan “
” Apakah gajinya engga cukup sebagai guru ”
” Dia tidak terima gaji.”
” Mengapa ?
” Karena muridnya anak anak miskin dan tempat mengajar seadanya. Kadang berpindah pindah..”
Saya terdiam dan terhenyak
Wanita itu sedang berjuang melepas rantai kemiskinan. Seorang anak dari keluarga miskin tak bisa lanjut sekolah karena harus bantu orang tuanya mencari uang. Ia tumbuh tanpa pendidikan dan hanya bisa bekerja kasar. Kelak, anaknya juga lahir dalam situasi serupa. Maka kemiskinan pun diwariskan, bukan karena kemauan mereka, tapi karena sistem tak memberi jalan keluar. UNICEF memperkirakan sekitar 4,1–4,3 juta anak usia 7–18 tahun tidak bersekolah. 1 dari 4 penduduk Indonesia tamatan SD. 1 dari lima orang Indonesia tamat SLTP.
Saya termenung. Tentu bagi orang waras sulit memahami kemiskinan di republic ini. Karena hanya 1% penduduk negeri ini yang menikmati financial freedom. Data mencatat penjualan mobil mewah Ferrari terbanyak di ASEAN adalah Indonesia. Segmen SUV dan MPV mewah sangat digemari, terutama model-model dari Mercedes‑Benz, BMW, Porsche, hingga Tesla. Indonesia tercatat pemilik Private Jet nomor dua terbanyak di ASEAN.
Tahun 2025, diperkirakan terjadi 2 juta orang Indonesia pergi berobat ke luar negeri setiap tahun, mengakibatkan arus devisa keluar sekitar US$10 miliar atau setara Rp 162 triliun. Mayoritas berasal dari kalangan menengah ke atas dan orang-orang kaya yang ingin mendapatkan kualitas layanan medis, akses teknologi, dan dokter spesialis di luar negeri. Begitu mudahnya mereka menikmati kemewahan. Berkah dari kemerdekaan yang di proklamirkan pada 17 agustus 1945. Sementara 99% populasi di negeri ini hidup hanya sebatas survival. 2 dari 3 orang Indonesia tergolong miskin menurut world bank dan 1 dari 4 balita kena stunting.
Wanita itu adalah cermin orang kebanyakan. Kadang berpikir sederhana menyelesaikan masalah. Mungkin agak sedikit berbeda dengan elit oligarki yang menyelesaikan defisit anggaran lewat hutang. Memang mudah, just issued SBN, solve problem. Walau itu sama saja dengan menjual kemerdekaan yang didapat dengan darah dan airmata. Yang terpaksa membiarkan SDA di-eksploitasi dengan rusaknya lingkungan. Demi utang yang harus dibayar. Yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Negara tidak berutang karena miskin. Tapi menjadi miskin karena berutang yang salah urus. Sehingga tak cukup ada ruang fiskal di APBN untuk me-leverage kemakmuran. Tapi mesin birokrasi terus bergerak, dan oligarki semakin kaya karena state capture.
Di tengah Gini Ratio sekitar 0,388 (2024), Hanya 1% orang terkaya menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional. Wanita itu tahu bagaimana tabah. Dia tidak mengeluh tapi berbuat. Tapi apa daya. Sistem tidak memihak pada ketabahannya. Ketimpangan di negeri ini bukan karena miskin SDA, tapi justru kutukan SDA, yang karenanya melahirkan institusi ekstraktif yang hanya menguntungkan elite, tidak memberi kesempatan rakyat berkembang. Korporat mengekstrasi SDA dan keuntungannya tidak kembali dalam bentuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur lokal. Banyak daerah tambang seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, kaya SDA tapi masyarakatnya tetap miskin.
Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuk PSK itu. Aparat merazianya dan dapat uang darinya. Satpam dapat uang dari jerih payahnya. Ormas keagamaan akan menyebutnya pendosa. Begitulah standar norma. Entahlah. Mungkin saja menghakimi PSK tanpa melihat akar sosialnya adalah ketidakadilan moral. Sebaliknya, koruptor yang tampil terhormat dan bermoral lebih berbahaya bagi bangsa dan generasi. Mereka menikmati kekayaan dari menjual kuasa. PSK menjual karena tak punya kuasa.
Kebaikan hati bukan mustahil bagi siapa saja termasuk oleh seorang PSK. Pahlawan tidak selalu tercatat dan terpublikasikan, juga tidak berdiri di mimbar atasnama Tuhan. Dia hadir dalam sunyi. Dia menjalani takdir nya bersama Tuhan. Dia tidak berjudi dengan takdirnya. Tentu berbeda dengan mereka yang berjudi di Marina Bay Sands Casino. Orang Indonesia tercatat ranking 3 membership VIP Casino. Mereka sengaja membuang uang untuk have fun di meja judi. Orang miskin membuang uang di Judol, akhirnya terperangkap dengan pinjol.
Betapa timpang nya ketidak adilan. Betapa vulgar nya ditampilkan di social media. Tapi apa mau dikata. Mereka adalah elit oligarki. Yang dipuja dan dihormati di tengah keramaian saat membagi Bansos kepada si miskin – korban dari sistem yang membuat mereka berkuasa dan menikmati financial freedom. Saya terhenyak memikirkan semua itu. Sebenarnya ketimpangan itu cara Tuhan berdialogh kepada kaum elite dan terpelajar, tentang cinta dan kasih sayang. Namun mereka bisu dan tuli…