Tragedi Ampenan: 60 Rumah dan Masjid Digilas Ekskavator, Warga Bertahan dalam Tenda-tenda Perlawanan

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com – MATARAM | Suara mesin ekskavator menggulung harapan, meratakan tempat tinggal, dan menghapus jejak puluhan keluarga di RT 08, Lingkungan Pondok Perasi, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram. Rabu pagi (28/5/2025) akan tercatat dalam memori kolektif warga sebagai hari ketika negara alih-alih melindungi mengirim pasukan untuk menggusur tanpa perintah hukum terbaca, tanpa kompromi, tanpa belas kasih.

Tak kurang dari 60 rumah dihancurkan. Masjid Al Mujahidin dibangun dari dana zakat umat melalui Baznas NTB dihancurkan hingga rata tanah. Sejak saat itu, warga yang kehilangan atap dan tanah pijakan terpaksa bertahan di tenda-tenda darurat yang berdiri di gang-gang sempit. Mereka tak hanya kehilangan rumah, tapi juga rasa keadilan.

Simak kronologi lengkap penggusuran seperti yang dilansir dari Kuytanda.com pada Minggu (1/6/2025).

Dikepung Saat Gotong Royong, Dihantam Tanpa Surat.

Pagi itu, warga tengah membersihkan lingkungan dan merapikan sekitar masjid—ritual sosial yang menjadi simbol kebersamaan. Namun sekitar pukul 08.25 WITA, suasana berubah drastis. Sejumlah pria tak dikenal, diduga kuat intelijen, muncul dan mengawasi warga dari sudut-sudut gelap permukiman. Kamera-kamera diarahkan ke wajah-wajah tak berdosa.

Pukul 10.00 WITA, aparat gabungan menyerbu. Polisi, Satpol PP, perangkat kelurahan, hingga diduga aparat berbaju preman menyebar seperti kawanan serigala mengelilingi mangsa. Tak ada surat pengadilan dibacakan. Tak ada proses hukum yang transparan. Yang ada hanyalah tekanan, teror, dan tindakan sepihak.

Warga sempat berdiri di depan gerbang, menuntut penjelasan, meminta keadilan yang tak pernah datang. Sekitar pukul 10.30 WITA, eksekusi dilakukan begitu saja. Ekskavator mulai bekerja, merobohkan rumah demi rumah. Tiga warga pingsan dalam upaya sia-sia menghadang mesin kekuasaan.

Kekerasan Terstruktur dan Pembungkaman Suara.

Solidaritas dari mahasiswa pun dibalas dengan kekerasan. Mereka dipukuli oleh orang tak dikenal, ditarik paksa, dan dibawa ke Polres Mataram tanpa alasan yang jelas. Seorang pengacara warga yang membawa surat kuasa justru diusir dan dipukul. Seorang jurnalis lokal ditangkap hanya karena pelat motornya tak berasal dari Lombok, cermin represifisme yang membungkam pers dan melecehkan jurnalisme.

Semua ini terjadi di siang bolong. Di tengah kota. Di hadapan publik. Dan tak satu pun pihak berwenang memberi klarifikasi.

Masjid Dirobohkan, Relokasi Ditolak.

Sekitar pukul 15.00 WITA, ekskavator merobohkan Masjid Al Mujahidin. Suara reruntuhan bangunan bercampur dengan isak warga yang menyaksikan rumah ibadah mereka dihancurkan tanpa ampun. Ini bukan sekadar penggusuran fisik ini pembunuhan simbolik atas ruang suci dan martabat komunitas.

Pemerintah menawarkan relokasi, namun warga menolak. Lokasi pengganti berada jauh dari laut padahal mayoritas warga adalah nelayan dan berada di atas bekas rawa, area yang selama ini dikenal sebagai habitat ular dan sarang penyakit. Relokasi yang ditawarkan tak lebih dari bentuk pemindahan penderitaan ke lokasi yang lebih jauh dari sorotan publik.

Bertahan, Melawan, Menolak Dilupakan.

Hari-hari berikutnya menjadi saksi perlawanan warga yang ditelantarkan oleh kebijakan. Mereka mendirikan tenda-tenda, bukan hanya untuk tidur, tapi untuk mempertahankan eksistensi. Untuk mengatakan: “Kami masih di sini, dan kami tak akan diam.”

Peristiwa ini menambah catatan kelam konflik agraria di tubuh urbanisasi yang rakus. Warga miskin kota kembali jadi korban, ditindas dalam diam, digusur dalam kesunyian hukum.

Hingga berita ini diturunkan, tak satu pun pejabat Kota Mataram atau aparat penegak hukum memberikan penjelasan resmi. (red).

Berita Terkini