OPINI Oleh: Drs. Muhammads Bardansyah Ch.Cht
Mudanews com-Opini | Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, seharusnya mampu menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal akibat tingginya indeks korupsi. Berdasarkan data Transparency International, Indonesia kerap berada di peringkat menengah hingga bawah dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI). Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari faktor budaya dan pendidikan yang membentuk pola pikir serta perilaku masyarakat, termasuk aparatur negara.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana budaya dan pendidikan berkontribusi terhadap maraknya korupsi di Indonesia serta memberikan rekomendasi perubahan untuk membawa bangsa ini menuju kemajuan yang lebih baik.
Budaya dan Korupsi di Indonesia
Budaya memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola perilaku korupsi. Beberapa aspek budaya yang berkontribusi terhadap suburnya praktik korupsi antara lain:
Budaya Patron-Klien
Hubungan patron-klien yang kuat dalam budaya Indonesia sering kali mengedepankan loyalitas kepada individu atau kelompok tertentu dibandingkan kepatuhan terhadap hukum. Dalam birokrasi, misalnya, pejabat cenderung memberikan proyek kepada kerabat atau kolega meskipun mereka tidak memenuhi kualifikasi. Bahkan, kelompok pendukung tetap membela pejabat yang jelas-jelas terlibat korupsi, menunjukkan betapa budaya ini telah mengakar kuat dalam masyarakat.
Budaya “Silaturahmi” yang Disalahartikan
Silaturahmi, yang sejatinya merupakan nilai positif dalam budaya Indonesia, kerap disalahartikan sebagai bentuk pertukaran kepentingan. Hadiah atau uang sebagai bentuk “terima kasih” kepada pejabat yang memberikan bantuan atau fasilitas tertentu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, pemberian “uang silaturahmi” kepada pejabat guna memperlancar proyek sudah menjadi praktik yang lazim, meski jelas merupakan bentuk korupsi terselubung.
Budaya “Tidak Enakan”
Budaya ini membuat individu sulit menolak permintaan yang bertentangan dengan aturan. Seorang pegawai negeri, misalnya, mungkin merasa tidak enak menolak suap dari seseorang yang menginginkan layanan lebih cepat. Kebiasaan ini secara tidak langsung memperkuat rantai korupsi di berbagai sektor.
Pendidikan dan Korupsi
Pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk karakter masyarakat. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia masih memiliki kelemahan yang turut memperparah kondisi korupsi, antara lain:
Kurangnya Pendidikan Karakter
Sistem pendidikan masih berorientasi pada aspek kognitif dan kurang menekankan pendidikan karakter. Nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, dan tanggung jawab belum tertanam kuat dalam diri generasi muda, membuat mereka lebih rentan terhadap praktik korupsi.
Kurikulum yang Tidak Menyentuh Isu Korupsi
Kurikulum pendidikan jarang membahas isu korupsi secara mendalam. Akibatnya, siswa tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang bahaya korupsi dan cara melawannya. Seharusnya, pendidikan anti-korupsi menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah.
Kualitas Guru yang Tidak Merata
Variasi kualitas guru yang cukup besar, terutama di daerah terpencil, menjadi tantangan dalam menanamkan nilai-nilai anti-korupsi. Selain itu, rendahnya kesejahteraan guru membuat mereka rentan terhadap praktik pungutan liar yang justru mencerminkan budaya korupsi sejak di bangku sekolah.
Contoh Nyata Korupsi di Indonesia
Beberapa kasus korupsi yang mencerminkan pengaruh budaya dan pendidikan di Indonesia antara lain:
Kasus Korupsi E-KTP
Proyek e-KTP yang melibatkan banyak pejabat tinggi, termasuk anggota DPR, menunjukkan bagaimana budaya patron-klien dan lemahnya integritas birokrasi dapat menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.
Korupsi di Sektor Pendidikan
Penggelapan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi bukti bahwa korupsi juga merajalela dalam dunia pendidikan. Minimnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan berdampak buruk pada kualitas pendidikan yang diterima siswa.
Rekomendasi Perubahan
Untuk mengurangi indeks korupsi dan membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik, beberapa langkah berikut perlu diterapkan:
Reformasi Budaya
Kampanye anti-korupsi harus dilakukan secara masif dan berkelanjutan.
Penanaman nilai integritas dan kejujuran harus dimulai dari keluarga dan lingkungan sosial.
Peningkatan Kualitas Pendidikan
Sistem pendidikan perlu direformasi agar lebih menekankan pendidikan karakter dan integritas.
Kurikulum harus memasukkan materi anti-korupsi serta mendorong siswa berpikir kritis terhadap isu korupsi.
Kesejahteraan guru perlu ditingkatkan untuk mengurangi praktik pungutan liar dalam dunia pendidikan.
Penegakan Hukum yang Kuat
Hukum harus ditegakkan secara tegas dan tanpa pandang bulu.
Aparat penegak hukum harus independen serta bebas dari intervensi politik.
Mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum sendiri harus diperketat untuk mencegah korupsi dalam institusi hukum.
Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Sistem e-governance harus diterapkan untuk mengurangi interaksi langsung antara masyarakat dan pejabat, sehingga peluang korupsi dapat diminimalisir.
Kesimpulan
Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan kompleks yang dipengaruhi oleh budaya dan pendidikan. Untuk mengatasinya, diperlukan reformasi budaya, peningkatan kualitas pendidikan, penegakan hukum yang kuat, serta transparansi dalam pemerintahan.
Meski kritik dan perlawanan terhadap korupsi sudah ada, sering kali kritik ini hanya diwujudkan dalam bentuk sarkasme, seperti singkatan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) atau JAKSA (Jika Ada Komunikasi Solusi Ada). Lagu-lagu sindiran pun diciptakan untuk menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Namun, suara-suara kecil ini hanya mewakili sebagian kecil masyarakat yang sadar. Masih ada puluhan hingga ratusan juta orang yang perlu direvolusi mentalnya agar budaya korupsi yang telah mengakar selama ratusan tahun dapat benar-benar diubah.**(RED)
Referensi
Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index 2023. Berlin: Transparency International.
Mietzner, M. (2015). Dysfunction by Design: Political Finance and Corruption in Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 34(3), 39-56.
Hadiz, V. R. (2010). Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press.
World Bank. (2018). Indonesia Economic Quarterly: Learning More, Growing Faster. Jakarta: World Bank.
Tjitropranoto, P. (2017). Korupsi dan Budaya: Studi Kasus di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 21(2), 123-135.