Sri Mulyani di Persimpangan Jalan: Antara Realitas Ekonomi dan Kepentingan Politik

Breaking News
- Advertisement -

Sri Mulyani di Persimpangan Jalan: Antara Realitas Ekonomi dan Kepentingan Politik

Opini oleh: Heru Subagia
Penulis dan Pengamat Politik-Ekonomi

Mudanews com-Jakarta | Indonesia tengah menghadapi ujian berat di sektor ekonomi. Sejumlah kebijakan strategis yang diambil pemerintah menuai pro dan kontra, dari pembentukan Danantara hingga Bank Emas. Namun, respons pasar menunjukkan ketidakpastian, yang terlihat dari anjloknya indeks saham dan derasnya aliran modal asing keluar dari Indonesia.

Situasi ini semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah hingga mendekati Rp16.600 per dolar AS—posisi terendah dalam 25 tahun terakhir. Untuk menjaga stabilitas moneter, Bank Indonesia harus menggelontorkan cadangan devisa dalam jumlah besar. Semua ini menandakan ada persoalan mendasar dalam pengelolaan ekonomi nasional.

Diamnya Pemerintah dan Ketidakpastian Publik

Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, transparansi menjadi kunci utama dalam membangun kembali kepercayaan publik dan pasar. Namun, hingga kini pemerintah belum memberikan gambaran jelas tentang kondisi fiskal sebenarnya.

Kementerian Keuangan, yang biasanya rutin merilis laporan realisasi APBN KiTa, kali ini tampak lebih lambat dalam mempublikasikan data ekonomi Januari 2025. Padahal, laporan tersebut sangat penting karena mencerminkan kesehatan fiskal negara, termasuk pendapatan pajak, belanja negara, serta defisit anggaran.

Penundaan ini memunculkan berbagai spekulasi, terutama karena laporan terakhir yang dirilis hanya mencakup Desember 2024. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada sesuatu yang perlu disembunyikan dari publik?

Sri Mulyani dan Beban Kebijakan Ekonomi

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani memiliki rekam jejak panjang dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Namun, di bawah pemerintahan Prabowo, ia menghadapi tantangan yang lebih berat.

Di satu sisi, Sri Mulyani dikenal sebagai ekonom dengan pendekatan kebijakan fiskal yang disiplin dan berbasis pasar. Di sisi lain, Presiden Prabowo memiliki visi ekonomi yang lebih berorientasi pada pembangunan strategis dan kemandirian nasional. Dua pendekatan ini jelas memiliki perbedaan mendasar, yang bisa berujung pada benturan kebijakan.

Selain itu, agenda politik juga memegang peran besar dalam kebijakan ekonomi. Sri Mulyani harus memastikan keseimbangan fiskal di tengah tuntutan untuk memenuhi janji-janji politik yang membutuhkan anggaran besar. Apakah ia masih memiliki ruang manuver yang cukup untuk menjalankan kebijakan ekonominya secara independen?

Coretax dan Masalah Penerimaan Pajak

Salah satu tantangan besar di awal tahun 2025 adalah implementasi Coretax, sistem perpajakan baru yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak. Sistem ini diharapkan bisa meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya.

Namun, dalam 100 hari pertama penerapannya, Coretax justru menghadapi berbagai kendala teknis. Banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengakses data dan melakukan pembayaran pajak. Akibatnya, penerimaan pajak mengalami penurunan drastis.

Berdasarkan laporan yang beredar, penerimaan pajak Januari 2025 hanya mencapai Rp88,89 triliun, turun hampir 42% dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp152,89 triliun. Penurunan ini tentu berdampak besar pada APBN, yang sangat bergantung pada pendapatan pajak sebagai sumber utama pembiayaan negara.

Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin defisit anggaran semakin membengkak dan tekanan terhadap perekonomian semakin besar.

Sri Mulyani: Bertahan atau Mundur?

Di tengah situasi yang semakin kompleks, muncul spekulasi bahwa Sri Mulyani sedang mempertimbangkan langkah besar dalam kariernya: bertahan atau mundur dari posisi Menteri Keuangan.

Secara teknis, ia menghadapi tantangan besar dalam memastikan sistem perpajakan berjalan efektif, menjaga keseimbangan fiskal, dan menghadapi gejolak nilai tukar. Secara politis, ia berada dalam pemerintahan yang mungkin memiliki visi ekonomi yang berbeda dengan prinsip-prinsip yang selama ini ia pegang.

Keputusan yang diambil Sri Mulyani dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi penentu arah kebijakan ekonomi Indonesia. Jika ia memilih bertahan, maka ia harus mampu menavigasi dinamika politik dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip profesionalisme. Jika ia memilih mundur, maka itu bisa menjadi sinyal kuat bahwa ada masalah mendalam dalam pengelolaan ekonomi nasional.

Kesimpulan

Indonesia sedang berada dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan. Ketidakpastian fiskal, tekanan nilai tukar, serta perbedaan pendekatan ekonomi dalam pemerintahan menjadi faktor yang perlu dicermati dengan seksama.

Di tengah kondisi ini, transparansi dan komunikasi yang jelas dari pemerintah menjadi hal yang sangat penting. Publik dan investor membutuhkan kepastian, bukan hanya janji-janji yang tidak didukung dengan data yang valid.

Ke depan, bagaimana pemerintah—termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani—menyikapi tantangan ini akan menentukan arah kebijakan ekonomi Indonesia. Apakah pemerintah akan mampu menavigasi krisis ini dengan baik, atau justru semakin tenggelam dalam ketidakpastian?.**(RED)

Berita Terkini