Masyarakat dan Siklus Korupsi di Indonesia: Refleksi Budaya, Pendidikan, dan Kebodohan

Breaking News
- Advertisement -

Oleh,: Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht

Mudanews.com-Jakarta (Opini) | Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat kembali dikejutkan dengan terungkapnya kasus mega korupsi, seperti skandal Timah dan Pertamina. Praktik korupsi ini bukanlah fenomena baru, melainkan telah mengakar sejak awal berdirinya republik ini. Lebih mengkhawatirkan, nilai korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun—dari puluhan miliar menjadi ratusan miliar, lalu beranjak ke puluhan triliun, hingga kini mencapai angka yang disebut-sebut menembus ribuan triliun rupiah.

Lalu, mengapa korupsi di Indonesia semakin masif? Apa akar permasalahan yang membuat praktik ini terus langgeng di kalangan penyelenggara negara, BUMN, dan pengusaha?

Korupsi di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh elite politik atau birokrat, tetapi juga diperkuat oleh keterlibatan masyarakat dalam lingkaran sistemik yang mengabadikan praktik ini. Fenomena ini tercermin dalam budaya permisif, kegagalan pendidikan dalam membangun kesadaran kritis, serta kebodohan yang dieksploitasi untuk kepentingan politik. Ironisnya, masyarakat sering kali tetap memilih figur koruptor dalam pemilu, meskipun telah berulang kali menjadi korban tipu daya. Tulisan ini akan mengulas bagaimana budaya, pendidikan, dan kebodohan berperan dalam memperpanjang siklus korupsi di Indonesia.

Budaya Patronase dan Normalisasi Korupsi

Budaya patronase yang kuat dalam masyarakat Indonesia telah menciptakan ruang subur bagi praktik korupsi. Pola hubungan timbal balik (reciprocity) antara pejabat dan masyarakat, seperti pemberian “uang terima kasih” untuk mempercepat layanan publik atau “hadiah” kepada pejabat, telah dianggap lumrah dan bahkan menjadi kebiasaan (Mulder, 2000). Sikap permisif ini berakar dari budaya feodal, di mana kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi (Scott, 1972). Akibatnya, banyak orang tidak menganggap korupsi sebagai kejahatan serius, melainkan sekadar bagian dari mekanisme bertahan hidup.

Budaya ini juga mendorong pola pemilih rasional-instrumental, di mana masyarakat cenderung memilih politisi korup karena iming-iming bantuan materi atau janji perlindungan, meskipun mereka sadar akan rekam jejak buruk kandidat tersebut (Aspinall, 2013). Tidak jarang, mantan koruptor justru kembali memenangkan pemilu karena dianggap “berjasa” dalam membagikan uang atau membangun infrastruktur saat kampanye.

Pendidikan yang Gagal Membangun Kesadaran Kritis

Sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada hafalan dan pencapaian nilai akademis, bukan pembentukan karakter anti-korupsi. Pendidikan kewarganegaraan, yang seharusnya menjadi wadah untuk membangun kesadaran politik dan hukum, justru gagal dalam mengajarkan analisis kritis terhadap struktur kekuasaan serta praktik korupsi (Tilaar, 2009).

Survei UNESCO (2019) menunjukkan bahwa tingkat literasi politik dan hukum masyarakat Indonesia tergolong rendah. Minimnya pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara membuat masyarakat mudah termakan janji populisme transaksional. Pendidikan yang cenderung apolitis juga berkontribusi melahirkan generasi apatis, yang tidak melihat pentingnya keterlibatan dalam pengawasan kebijakan publik.

Kebodohan yang Dimanipulasi: Kemiskinan dan Politik Klientelisme

Kebodohan dalam konteks ini bukan sekadar ketidaktahuan, tetapi juga kemiskinan struktural yang dimanfaatkan oleh elite politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Masyarakat miskin cenderung memilih kandidat yang menawarkan bantuan langsung—baik dalam bentuk uang tunai, sembako, maupun fasilitas lainnya—tanpa mempertimbangkan integritas kandidat tersebut (Winters, 2011).

Sistem klientelisme semakin memperparah keadaan, di mana hubungan antara pemilih dan politisi lebih banyak didasarkan pada pertukaran materi daripada pertanggungjawaban kebijakan. Parahnya, masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa praktik ini merupakan bentuk korupsi berjemaah. Misalnya, ketika seorang kepala daerah korup “membagi” proyek kepada kerabat atau pendukungnya, masyarakat di sekitarnya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar, bahkan sebagai bentuk “berbagi rezeki”. Dengan pola pikir seperti ini, korupsi justru dilihat sebagai sistem yang menguntungkan semua pihak, meskipun dalam jangka panjang merusak tata kelola negara.

Kesimpulan

Masyarakat Indonesia terperangkap dalam siklus korupsi yang disebabkan oleh tiga faktor utama:

Budaya yang menormalisasi praktik tidak etis dan memperkuat sistem patronase.

Pendidikan yang gagal membangun kesadaran kritis serta membiarkan masyarakat tetap buta terhadap praktik korupsi.

Kemiskinan dan kebodohan yang dieksploitasi melalui politik klientelisme, sehingga masyarakat terus menjadi bagian dari sistem korup.

Perubahan hanya dapat terjadi jika ketiga aspek ini diperbaiki secara simultan. Pendidikan anti-korupsi harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sejak dini, sementara reformasi politik perlu memutus mata rantai patronase melalui penguatan transparansi dan penegakan hukum yang tegas. Tanpa upaya kolektif yang serius, korupsi akan tetap menjadi “budaya” yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.**(RED)

Referensi

Aspinall, E. (2013). The Triumph of Instrumental Politics? Elections, Money Politics and Patronage in Indonesia. South East Asia Research, 21(2), 151-169.

Mulder, N. (2000). Indonesian Economics: The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The American Political Science Review, 66 (1), 91-113.

Tilaar, H. A. R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.

UNESCO. (2019). Global Education Monitoring Report: Migration, Displacement and Education. Paris: UNESCO Publishing.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.

Berita Terkini