- Advertisement -
Oleh: Agung Wibawanto
Mudanews.com OPINI – Pada perkembangannya sejak lahirnya reformasi, Indonesia sedikit memiliki “dandanan” yang berbeda. Memang lebih modern tapi juga terlihat lebih individualis. Dasar-dasar dari semangat gotong royong perlahan mulai hilang dari pembahasan kenegaraan. Konsep kebersamaan (kolektif) hanya ada dalam praktik kehidupan masyakarat terutama di pinggiran.
Di era sebelumnya (orba 1967-1998) Indonesia sesungguhnya pernah mengalami sebuah kondisi yang nyaris sama. Di bawah kepemimpinan Suharto, sistem pemerintahan mengarah kepada otoritarian represif. Ia membawa Indonesia untuk mengenal gaya fasis (meski tidak murni seperti Napoleon ataupun Hitler). Suharto berhasil menguasai seluruh sendi kehidupan rakyat baik bernegara maupun bermasyarakat.
Kekuasaan absolut berada di tangannya. Semua lembaga negara dan perangkat lainnya hanyalah simbolis saja sepanjang sesuai konstitusi. Perekonomian Indonesia yang awalnya bersandar pada ekonomi kerakyatan mulai beralih kepada ekonomi liberal (menggelar karpet merah pada investor asing). Ia tidak sungkan memenuhi apapun tuntutan investor.
Namun pola sentralistik (mirip gaya sosialis-komunias sesungguhnya) tersebut tidak ia ditujukan kepada kesejahteraan rakyat melainkan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya saja (yang ini bergaya kapitalis bahkan imperialis). Seluruh kekayaan alam di seluruh daerah/wilayah Indonesia ia biarkan dieksploitasi oleh asing. Ia dan kroninya mendapat fee manajemen.
Dengan “kelicikannya” ia perkenalkan konsep trickle down-effect seolah rakyat akan mendapat manfaat jika investor masuk. Konsep yang sama dilakukan oleh Jokowi dan kini Prabowo (SBY juga namun gagal karena tidak bisa menguasai oligarki partai politik dan pengusaha). Dalam operasionalnya, Suharto butuh kekuatan aparat untuk menjamin kestabilan politik.
Ia kerahkan baik tentara dan polisi untuk mengontrol rakyat hingga di pelosok desa, dikenal kemudian dengan sebutan “liciknya” Dwi Fungsi ABRI (dulu TNI-Polri berada dalam satu kesatuan ABRI). Setiap lawan politik atau oposisi ia bungkam dengan tangan besi. Lalu siapa lawannya? Ia bebas menjalankan apapun yang ia kehendaki dibantu kroni-kroni dan para menterinya.
Kondisi Indonesia saat ini jika dideteksi akan mengarah kepada gejala new orba. Sangat mirip. Gejala itu adalah: 1. Menguasai parpol melalui Koalisi Besar (permanen); 2. Mobilisasi kekuatan TNI-Polri ke wilayah sipil; 3. Menguasai seluruh kepala daerah; 4. Membungkam seluruh anasir elemen perlawanan (oposisi) di masyarakat; 5. Menguasai seluruh kekayaan negara (kontrol ekonomi).
Seolah tidak bercermin kepada era kekuasaan mertuanya (orba), Prabowo dengan meyakinkan (jika tidak ingin disebut over estimate) mengatakan Indonesia kini tidak gelap, kabinet berisi orang-orang cerdas dan beberapa tahun ke depan Indonesia akan melampaui negara-negara maju seperti Amerika, Perancis, Inggris dll. Ia tidak bercermin bahwa rakyat masih terus bergerak.
Rakyat belum berhasil ia tundukkan meski sudah dicoba melalui program MBG. Di era orba meski rakyat berhasil direpresi, nyatanya rakyat terus menggeliat, bangkit dan bergerak. Prabowo mencoba menaklukan hati rakyat melalui program MBG tapi sepertinya kurang sukses karena dianggap lebih banyak bohongnya dan korupsinya. Rakyat pun menolak.
Sepertinya, Prabowo akan jatuh disebabkan orang-orang di lingkarannya sendiri yang kerap lakukan hal blunder. Namun menjadi perhatian serius juga jika Prabowo jatuh, rakyat tidak ingin jika wakil presiden yang akan menggantikannya (meski bersifat sementara hingga diadakan pilpres ulang). Itu resiko dari pilihan falsafah bernegara Prabowo.
Ingin sejahterakan rakyat atau memberi kebebasan individu para elite (oligarki)? Kedua-duanya memang bisa dijadikan jalan untuk melanggengkan kekuasaannya. Maka sekali lagi jika ditanya, disebut apakah landasan bernegara kita sekarang? Pertanyaan ini sama sulitnya dengan jawaban untuk pertanyaan, “Apakah nama ibu kota Indonesia saat ini?”***