Opini Oleh: Nasrullah, Penulis, Kolumnis Ilmu Hukum dan Sosial
Mudanews.com – Opini | Gagasan Islam Transitif kini mulai berdenyut dalam ruang akademik, menggema di antara bilik perdebatan dan lorong pemikiran Islam kontemporer. Ia bukan sekadar wacana yang bersemayam dalam teks, tetapi telah menjadi arus yang menggerakkan kesadaran, menggugat kemapanan, dan meretas batas tafsir klasik. Di tangan para pemikirnya, Islam Transitif menjelma menjadi dialektika yang lentur namun berakar, menghadirkan fiqih yang tidak hanya membaca hukum, tetapi juga menafsirkan zaman. Islam tidak lagi sekadar warisan, tetapi kekuatan yang terus bertransisi, menembus batas realitas yang terus berubah.
Islam Transitif dalam pemikiran Prof. Dr. Ansari Yamamah, MA, bukan sekadar jejak teoretis dalam ushul fiqih, melainkan denyut intelektual yang berusaha menghela teks menuju realitas, menghubungkan khazanah klasik dengan dinamika zaman. Ia menolak kebekuan normatif tanpa tercerabut dari akar epistemiknya, merajut benang antara hukum dan konteks, antara dalil dan perubahan sosial. Dalam tafsirnya, Islam bukan entitas statis, melainkan hidup, bergerak, dan merespons. Fiqih bukan hanya hukum yang dipatuhi, tetapi juga instrumen yang membimbing dan mentransformasikan peradaban.
Resistensi terhadap Islam Transitif
Di tengah berkembangnya gagasan Islam Transitif, resistensi muncul sebagai ombak yang menggulung pemikirannya. Layaknya sebuah odise intelektual, ide ini mengarungi samudra akademik dengan riak perdebatan yang tak terhindarkan. Ada yang menentangnya dengan dalil yang kukuh, menganggapnya sebagai ancaman terhadap fondasi tradisi. Ada pula yang mengkritisinya, menguliti setiap argumen dengan ketelitian skeptis, menguji daya tahannya dalam bara intelektual. Namun, tak sedikit yang menyambutnya sebagai jembatan antara zaman, sebuah ikhtiar menjadikan Islam bukan sekadar teks yang dibaca, tetapi realitas yang dihidupi. Begitulah hukum gagasan—ia diuji, dipertanyakan, dan pada akhirnya, menemukan jalannya sendiri dalam sejarah pemikiran.
Perlawanan Islam Transkriptif
Di sisi lain, muncul gelombang perlawanan dari kelompok Islam Transkriptif—barisan pemikir yang meneguhkan fiqih dan ushul fiqih sebagai kodifikasi final, tak tersentuh oleh waktu, dan tidak memerlukan reorientasi maupun reinterpretasi. Bagi mereka, hukum Islam telah mencapai bentuk paripurna, menjulang sebagai monumen yang tidak perlu digerakkan oleh dinamika zaman. Mereka membaca masa kini dengan kacamata lampau, memandang setiap upaya transisi sebagai kegelisahan yang tak perlu.
Barisan Islam Transkriptif berdiri teguh dalam keyakinannya, memandang Islam Transitif tak lebih dari pergantian jubah bagi gagasan lama—sebuah eufemisme intelektual yang menata ulang diksi tanpa menghadirkan esensi baru. Bagi mereka, segala yang dikemukakan telah lama terucap di mimbar-mimbar ulama klasik, terpahat dalam kitab-kitab yang mengabadikan kebijaksanaan hukum Islam. Mereka menolak gagasan bahwa fiqih dan ushul fiqih masih perlu disentuh oleh tafsir baru, karena para fuqaha terdahulu telah menuntaskannya dengan ketelitian yang tak menyisakan ruang untuk revisi.
Prof. Ansari Yamamah sangat menyadari bahwa resistensi adalah bayangan yang tak terpisahkan dari setiap upaya pembaruan. Justru di titik inilah Islam Transitif menemukan denyutnya—menyalakan kembali obor rekonstruksi pemikiran keislaman yang telah lama redup dalam kepungan dogma. Ia tidak menuntut penerimaan mutlak, sebagaimana ia juga tidak gentar pada penolakan. Di antara yang merangkul dan yang menampik, Islam Transitif terus melaju, bukan sebagai paksaan, tetapi sebagai ajakan untuk berpikir, membaca ulang warisan dengan mata terbuka, dan memahami hukum tidak sekadar sebagai jejak masa lalu, tetapi sebagai kompas yang membimbing masa depan.
Ujian Islam Transitif dalam Praktik Hukum
Pada akhirnya, Islam Transitif dan Islam Transkriptif berhadapan dalam arus besar pemikiran: yang satu menawarkan rekonstruksi, yang lain meneguhkan tradisi. Islam Transitif membuka cakrawala baru, menafsir ulang hukum dalam dialektika zaman, meyakini bahwa fiqih dan ushul fiqih bukanlah fosil, melainkan organisme yang terus bernapas. Sementara itu, Islam Transkriptif berdiri kokoh di tapal batas warisan, menjaga kemurnian teks dari sentuhan reinterpretasi, memegang erat doktrin bahwa hukum telah selesai disusun oleh ulama terdahulu. Maka, di antara gelombang pembaruan dan gelora pemertahanan, Islam terus berdenyut—kadang bergerak, kadang diam—tapi tak pernah benar-benar mati dalam perdebatan intelektual yang mengiringinya.
Ushul Fiqih Islam Transitif yang digagas Prof. Ansari Yamamah tidak boleh berhenti sebagai gema narasi akademik yang berputar dalam ruang wacana. Ia harus menjelma menjadi alat baca realitas, menguji ketajamannya dalam pergulatan hukum yang nyata. Tantangannya kini bukan sekadar membangun argumen, tetapi melahirkan model hukum yang dapat berdiri dalam lanskap politik legislasi Indonesia. Mampukah ia menemukan hukum di antara simpang siur kepentingan? Bisakah ia merumuskan undang-undang yang selaras dengan dinamika politik hukum nasional? Di sinilah ujian sesungguhnya—apakah Islam Transitif sekadar teori yang bergaung di menara gading, atau justru mampu turun ke gelanggang, membuktikan dirinya sebagai metodologi hukum yang hidup, bekerja, dan relevan bagi zaman.
Pembuktian ini bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan. Sebab hukum yang berguna bukanlah hukum yang hanya tersusun rapi dalam teks, tetapi hukum yang teruji dalam realitas dan dapat dibuktikan daya gunanya. Islam Transitif harus melampaui batas teorinya sendiri, menjelma metode yang mampu membaca zaman dan merumuskan hukum yang hidup. Jika ia ingin berdiri sebagai paradigma baru, ia harus berani diuji dalam pusaran politik legislasi, dalam ketegangan antara idealita dan praktik. Sebab dalam dunia hukum, yang abadi bukan sekadar gagasan, tetapi gagasan yang terbukti mampu bekerja untuk manusia dan peradaban.
Hukum di Indonesia adalah lanskap yang kompleks, terbentang dari ranah nasional hingga berkelindan dalam arus hukum internasional. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi bersilang dengan politik, ekonomi, sosial, dan budaya—menjadi mozaik yang menuntut pendekatan lebih dari sekadar normatif. Di tengah kerumitan ini, mampukah Ushul Fiqih Islam Transitif hadir sebagai cahaya baru dalam ruang metodologis? Bisakah ia memberi warna segar dalam merumuskan, menemukan, dan menyelesaikan persoalan hukum di negeri ini? Ataukah ia hanya akan menjadi wacana yang menggema tanpa daya guna? Sejarah akan mencatat, hanya gagasan yang mampu beradaptasi dan bekerja dalam kenyataan yang akan bertahan dan diakui zaman.
Sejumlah pertanyaan ini harus mampu dijawab sebagai basis pembuktian bahwa Ushul Fiqih Islam Transitif dapat menjadi solusi terkini dalam meramu dan menjawab problematika hukum di tanah air.**(RED)