Mudanwes.com Jakarta – Pendidikan dan kesehatan merupakan dua pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa. Keduanya saling berkaitan dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pendidikan yang baik menghasilkan generasi yang cerdas, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global, sementara kesehatan yang prima menjadi fondasi utama dalam menunjang produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam realitas kebijakan saat ini, sektor pendidikan dan kesehatan tampaknya tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Pemerintah telah menggaungkan program makan bergizi gratis sebagai salah satu langkah strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan tanda tanya besar, terutama terkait dampaknya terhadap sektor pendidikan yang kini terkena kebijakan efisiensi anggaran. Ketika pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama dan malah menjadi sektor yang dikorbankan demi program populis, maka masa depan generasi bangsa dipertaruhkan.
Efisiensi Anggaran: Rasional atau Keliru?
Keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran di berbagai kementerian, termasuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dan Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, memunculkan kekhawatiran serius. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, kebijakan ini justru mempersempit ruang gerak pengembangan sistem pendidikan yang lebih baik. Pemangkasan anggaran berpotensi mengurangi kualitas infrastruktur pendidikan, fasilitas belajar, serta kesejahteraan tenaga pendidik yang berperan krusial dalam mencetak generasi unggul.
Selain itu, langkah efisiensi ini juga dikhawatirkan berimbas pada meningkatnya angka putus sekolah, terutama di daerah-daerah tertinggal. Minimnya akses terhadap pendidikan berkualitas akan memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia di kancah global.
Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Kebijakan Setengah Matang?
Tidak dapat disangkal bahwa gizi yang baik adalah elemen kunci dalam menciptakan generasi yang sehat dan produktif. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana efektivitas program makan bergizi gratis dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan? Apakah kebijakan ini sudah benar-benar terukur dalam aspek keberlanjutan dan dampaknya terhadap sistem pendidikan nasional?
Program ini, jika tidak dirancang dengan matang, berisiko menjadi sekadar alat politik yang digunakan untuk menarik simpati masyarakat tanpa memberikan manfaat nyata dalam jangka panjang. Belum lagi, potensi penyimpangan dalam implementasi program ini sangat besar, mulai dari kualitas makanan yang disediakan hingga distribusi yang tidak merata. Tanpa pengawasan yang ketat dan strategi yang jelas, program ini hanya akan menjadi beban baru bagi anggaran negara tanpa memberikan hasil yang optimal.
Pendidikan dan Kesehatan: Harus Berjalan Seiring, Bukan Saling Mengorbankan
Dalam menghadapi tantangan masa depan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan program populis yang sifatnya jangka pendek. Pemerintah harus memahami bahwa pendidikan dan kesehatan bukanlah sektor yang bisa dipilih salah satu dan mengorbankan yang lain. Justru, keduanya harus mendapatkan porsi perhatian yang seimbang dan strategi yang lebih komprehensif.
Rama Fiqri Rahman Amin, Wakil Sekretaris Nasional BEM PTNU, menyoroti bahwa kebijakan ini bukan lagi sekadar efisiensi, tetapi lebih kepada pertaruhan masa depan bangsa demi kebijakan yang belum tentu efektif.
“Kami melihat kebijakan ini sebagai langkah yang kurang tepat dalam menentukan prioritas pembangunan. Pendidikan harus tetap menjadi fokus utama jika kita ingin mencapai visi ‘Generasi Emas 2045’. Jika pendidikan dikorbankan demi program populis tanpa kajian mendalam, maka dampaknya akan jauh lebih besar di masa depan. Negara membutuhkan strategi yang lebih komprehensif, bukan sekadar solusi instan yang berisiko tinggi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa efisiensi anggaran yang tidak terencana dengan baik dapat berimbas pada meningkatnya angka pengangguran serta menurunnya kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
“Ketika efisiensi dilakukan tanpa pertimbangan matang, dampaknya bisa sangat luas. Bisa saja angka kemiskinan semakin meningkat, tingkat pengangguran melonjak, dan kualitas pendidikan semakin merosot. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ini dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional,” tambahnya.
Kesimpulan: Evaluasi dan Perbaikan Kebijakan
BEM PTNU menegaskan bahwa pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran ini. Program makan bergizi gratis memang memiliki nilai strategis, tetapi tidak seharusnya dilakukan dengan mengorbankan sektor pendidikan yang memiliki dampak jangka panjang lebih besar bagi kemajuan bangsa.
Pendidikan dan kesehatan harus mendapatkan perhatian yang seimbang, dengan kebijakan yang berbasis data serta berorientasi pada hasil nyata. Pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan prioritas pembangunan agar cita-cita Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 dapat terwujud tanpa harus mengorbankan salah satu sektor yang esensial dalam pembangunan nasional.***(Red)