Indeks Kepuasan Publik Prabowo-Gibran Kalahkan Jokowi, Ini Menjerumuskan!

Breaking News

- Advertisement -

 

 

 

 

Mudanews.com OPINI | Publik dibuat tercengang oleh Litbang Kompas yang merilis survei kepuasan terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hasilnya kepuasan 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh 80,9%.

Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka melebihi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan juga perspektif masyarakat umum terkaget dan terkagum. Benarkah ilustrasi Indeks kepuasan tersebut mencerminkan kondisi riil Pemerintah Prabowo-Gibran saat ini?

Hasil Survei Kompas

Survei periodik melalui wawancara tatap muka diselenggarakan Litbang Kompas pada 4-10 Januari 2025. Sebanyak 1.000 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia.

Tingkat kepercayaan 95%, margin of error kurang lebih 3,10%, dengan penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana. Adapun rincian kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yang dirilis Litbang Kompas sebanyak 80,9% responden mengaku puas dan 19,1% tidak puas.

Diketahui, Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka melebihi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Survei mencatat, menunjukkan tren kepuasan publik terhadap Prabowo-Gibran mencapai 80,9 persen pada 100 hari kerja. Khalayak publik yang tidak puas berada di angka 19,1 persen. Sementara, Jokowi-JK pada periode yang sama hanya mengantongi 65,1 persen.

Krisis Kepemimpinan dan Kedaulatan

MESKI tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Saat ini publik lebih memilih mengamini dan memberikan akreditasi penuh kinerja Kabinet Prabowo ketimbang harus bersikap kritis, pedas namun bertanggung jawab.

Sorotan penulis menekankan lemahnya kepemimpinan Prabowo. Kedaulatan Prabowo untuk menakhodai Indonesia tidak uruh, justru terfragmentasi. Kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

100 Hari Kerja

Detik-detik menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka semakin drjay jatuh pada 28 Januari 2025. Banyak testimoni terkait progresivitas kinerja mulai bermunculan. Sayangnya, tak sesuai yang diharapkan.

Statement RI-1 bahwa dalam beberapa waktu ke depan akan menghadirkan “kejutan besar” pun terbaca sebagai pemantik, yakni agar tak terpaku pada indikator 100 hari yang secara rasional pun cukup sukar untuk bekerja secara maksimal mengelola negara besar dengan tantangan serta permasalahannya yang kompleks seperti Indonesia.

Persoalan ialah terkait dengan gemuknya kabinet sehingga menyedot anggaran negara. Mengkritisi dalam 100 hari kerja Prabowo-Gibran ini beberapa kementerian masih sibuk internal karena dipecah-pecah. Terlalu banyak kepentingan dan kemauan, titipan dari berbagai vested interest-nya.

Dengan begitu kementerian baru dan yang dipecah-pecah tentu mereka masih berkutat konsolidasi internal, mengusun anggaran dan program yang baru, soalnya prioritaskan kebutuhan dan kepentingan mereka dalam bentuk produk anggaran dan kebijakan.

Tidak PD

Jika dari sisi politik kekuasaan dan pengaruhnya, Presiden Prabowo berhasil melakukan konsolidasi sehingga hampir semua kekuatan politik mendukung dan menjadi bagian dari pemerintahan. Usaha ini dinilai buang waktu dan kesempatan berprestasi di tenggang waktu jelang 100 hari kerja berakhir.

Hal Ini sangat disayang karena dianggap sebagai kehadiran ketakutan luar biasa ketika eksistensi oposisi hadir di luar pemerintahan. Prabowo phobia oposisi, padahal harusnya PD dengan kekuatan Koalisi penduduknya saat ini.

Bahkan terakhir, PDIP juga memberikan dukungan penuh pada pemerintahan. Adanya konsolidasi kekuasaan, kata Lili, dapat membangun stabilitas pemerintahan.

Adanya konsolidasi kekuasaan tersebut bisa mengancam kebebasan dan demokrasi karena tidak adanya kontrol yang kuat dari partai atau parlemen.

Kendati demikian, telaah kritis menjelang 100 hari pemerintahan di bawah kepemimipinannya kiranya tak keliru juga untuk tetap dilakukan.

Blunder Politik

Pemerintah dalam hal komunikasi publik selama 100 hari pertama ini masih menghadapi berbagai tantangan. Beberapa menteri disebut melakukan kesalahan komunikasi yang berdampak pada kebingungan di masyarakat. Salah satu kasus yang disoroti adalah kebijakan dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) yang dinilai memicu polemik.

Masalahnya bukan hanya pada kualitas kebijakan, tapi juga bagaimana kebijakan tersebut disosialisasikan dengan baik, baik di internal maupun eksternal. Ketika komunikasi di dalam terganggu, dampaknya akan terasa di luar, dan ini yang perlu diperbaiki.

Sejumlah kebijakan strategis seperti program makan bergizi gratis sudah menunjukkan potensi populis. Namun, implementasinya di awal masih menghadapi sejumlah hambatan karena format yang belum matang dan komunikasi yang kurang optimal.

Koalisi Rawan Pecah

Menyoroti tantangan koalisi besar dalam pemerintahan ini. Koalisi besar memang rawan. Presiden Prabowo sendiri menyatakan bahwa pemerintahan ini bekerja bukan untuk sekadar mendapatkan penilaian, tetapi masyarakat kita sangat kritis. Hal ini membutuhkan pemerintahan yang benar-benar fokus pada implementasi kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat.

Pemerintahan Presiden Prabowo dapat menjadikan 100 hari pertama ini sebagai refleksi untuk memperbaiki orkestra kebijakan dan komunikasi publik ke depannya. Evaluasi terhadap kinerja kabinet juga dinilai penting, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

Dialog publik harus dilakukan, seperti yang sudah dicontohkan Presiden Prabowo dalam isu kenaikan pajak. Kebijakan yang strategis harus diimbangi dengan komunikasi yang efektif agar kepercayaan publik tetap terjaga selama lima tahun masa pemerintahan.

Merasa Terancam

Presiden Prabowo sebagai seorang pemimpin yang memiliki latar belakang militer, sering kali dikaitkan dengan sifat kepemimpinan yang tegas dan deterministik. Namun, dalam menjelang 100 hari pemerintahannya bersama Gibran Rakabuming Raka, muncul spekulasi mengenai perasaan insecureyang memengaruhi keputusannya.

Sebagai pintu masuk interpretasi,, aspek ini dapat dianalisis dari beberapa sudut pandang psikologis.

Pertama, sebagai mantan purnawirawan TNI di satuan elite Kopassus, Presiden Prabowo memiliki pengalaman mendalam dalam dunia militer yang penuh dengan hierarki ketat dan keputusan yang cepat.

Pengalaman ini, meskipun memperkuat keahliannya dalam strategi dan taktik, juga berpotensi menciptakan kecenderungan untuk melihat dunia melalui lensa yang “sempit” dan penuh kontrol.

Dalam konteks kepemimpinan politik, hal ini dapat berimplikasi pada gaya kepemimpinan panoptikon, di mana pemimpin merasa perlu mengawasi dan mengontrol segala aspek untuk menjaga stabilitas.

Tak sepenuhnya keliru memang, tetapi membuat manuver dan kebijakan krusial dan strategis bisa berpotensi kehilangan momentum tepat untuk tujuan yang terkait kemaslahatan rakyat.

Kedua, keputusan untuk menunjuk menteri yang dianggap sebagai loyalis, seperti Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Prasetyo Hadi sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), dapat dilihat sebagai cerminan dari kebutuhan untuk memastikan lingkungan yang dapat dikendalikan.

Dalam teori psikologi kepemimpinan, hal ini dikenal sebagai kebutuhan untuk mengurangi ambiguitas dan ketidakpastian, yang sering kali muncul dari ketakutan terhadap pengkhianatan atau disloyalitas.

Prabowo mungkin merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang ia percaya sepenuhnya, meskipun keputusan ini dapat mengorbankan kompetensi dan efisiensi pemerintahan.

Ketiga, catatan Soe Hok Gie tentang Prabowo muda yang “kehilangan horison romantiknya” juga menambahkan lapisan lain pada analisis ini.

Kehilangan visi idealistik dapat menyebabkan seorang pemimpin menjadi lebih pragmatis dan berhati-hati terlalu berlebihan dalam mengambil keputusan.

Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan yang muncul dari pengalaman kegagalan atau kekecewaan. Prabowo, yang pernah menghadapi kekalahan dalam beberapa pemilihan presiden sebelumnya, mungkin mengembangkan kecenderungan untuk bermain aman dan menghindari risiko yang berlebihan.

Keempat, keputusan politik yang dipengaruhi oleh mood personal adalah fenomena yang umum dalam kepemimpinan. Prabowo mungkin menghadapi fluktuasi emosi yang memengaruhi cara pandangnya terhadap situasi tertentu.

Kendati demikian, “mood politik” yang cenderung negatif dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang defensif, sementara mood yang positif dapat mendorong keputusan yang lebih berani.

Determinasi Politik Yang Jelas

Dalam konteks 100 hari pertama pemerintahannya, mood politik Presiden Prabowo kiranya bisa menjadi faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan dan strategi politik yang diambil.

Selain dari aspek psikologis, kemungkinan aspek insecure Presiden Prabowo juga dapat dianalisis dari sudut pandang politik. Dalam dunia politik yang dinamis dan penuh intrik, keputusan untuk menunjuk loyalis di pos-pos penting menunjukkan tanda-tanda ketidakpastian politik tertentu.

Presiden Prabowo tampaknya lebih memilih loyalitas daripada kompetensi dalam penunjukan menteri, yang berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam pemerintahan.

Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang punya catatan spesifik positif, dengan plus-minusnya, seperti Presiden ke-2 RI Soeharto, mampu menyeimbangkan antara loyalitas dan kompetensi dengan menunjuk menteri-menteri berkualitas seperti Ali Alatas, Sudharmono, hingga Mochtar Kusumaatmadja.

Presiden Prabowo, meskipun memiliki sampel konkret dari sosok yang notabene adalah mertuanya itu, tampaknya belum mampu mengadopsi pendekatan yang sama.

Dalam dimensi lain, keputusan untuk menunjuk menteri berdasarkan loyalitas dapat mencerminkan ketakutan akan kehilangan kendali politik dan menghadapi resistensi dari dalam kabinet sendiri. Ini adalah bentuk insecure politik yang dapat menghambat efektivitas pemerintahan.

Insecure politik Prabowo juga seakan terlihat dalam upayanya untuk mengelola pengaruh politik eksternal, seperti Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri dan PDIP.

Keputusan untuk bermain aman dengan merangkul kekuatan politik besar lainnya dapat dilihat sebagai strategi untuk menghindari konflik dan memastikan stabilitas politik.

Hal itu imenunjukkan ketidakpercayaan diri dalam memimpin secara mandiri dan mengambil keputusan yang berani tanpa bergantung pada dukungan eksternal.

Harapan dan Masukan

Pengaruh politik Jokowi yang disebut masih kuat, turut menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika politik Prabowo. Sangat berbahaya bagi Prabowo sendiri dan juga wibawa demokrasi Indonesia.

Kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik dapat memaksa Prabowo untuk mengambil keputusan yang kompromistis, yang pada akhirnya dapat memperkuat persepsi publik bahwa ia “tersandera” oleh pengaruh politik lainnya.

Interpretasi kritis ini tentu tak serta merta menegasikan upaya konstruktif sesungguhnya yang memang telah dilakukan Presiden Prabowo dan jajarannya. Ini lebih sebagai bentuk masukan konstruktif yang mungkin dapat dipertimbangkan demi kebaikan bersama dalam berbangsa, bernegara, berpolitik, dan berkehidupan yang sejahteran.

Ditulis: Heru Subagia  Sebagai
Pengamat Politik dan Ekonomi Alumni Fisip UGM

Berita Terkini