Oleh. . S Purwadi Mangunsastro, Sekjen PDKN.
Mudanews.com OPINI I Republik Indonesia yang berdiri 17 Agustus 1945 sesungguhnya menampung ruang untuk menegakkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya sesuai esensi bunyi Sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa (sekalipun tidak seperti bunyi Sila 1 seperti pada Piagam Jakarta). Tetapi dibutuhkan syarat mutlak untuk memastikan konstruksi struktur kekuasaan dalam negara agar hakekat pemimpin adalah wakil Tuhan dimuka bumi dapat amanah diaktualisasi dalam pengambilan keputusan penting (hukum, politik, ekonomi, interdepedensi global) negara dan pemerintahan dengan mengedepankan musyawarah mufakat sebagaimana diinginkan Sila 4 Pancasila.
Sebagaimana terjadi dijaman daulah Madinah pada saat mana Rosululloh SAW memiliki kekuasaan penuh dalam dimensi ujud legislatif, eksekutif, yudikatif dan dalam tugasnya sehari-hari dibantu sahabat-sahabat Nabi.
Menyikapi wujud sistem pemerintahan daulah rosululloh di atas maka pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan oleh sosok yang berbeda dapat menegaskan kedudukan Kepala Negara berperan strategik terkait keputusan penting negara dan pemerintahan dalam tugas fungsinya mengadaptasikan pola kepemimpinan Rosululloh SAW dengan tujuan agar Indonesia sebagai negara merdeka menghormati nilai demokratis dengan tetap menjunjung tinggi Kedaulatan Tuhan menjadi platform aktualisasi demokrasi di Indonesia berfalsafah Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Oleh karenanya semestinya kita kembali menegakkan jati diri Pancasila 18 Agustus 1945 sebagai instrumen integrasi pemikiran dunia global dan jangan pernah menerima mentah-mentah frasa demokrasi dalam konteks liberalism dan kapitalism yang disebarkan kaum globalis dunia. Pendek kata politik bangsa wajib berbenah sebab aktifitas kampanye transnasional tentang demokrasi dengan dalih memperjuangkan kedaulatan rakyat penting diwaspadai agar tidak terinjak-injak oleh arus globalisasi itu sendiri.
Pengubahan UUD kita menjadi UUD 2002 telah nyata sebagai bukti merusaknya sendi-sendi bernegara di NKRI yang akibatnya berbiaklah korupsi makin memperkaya elitis koruptor disisi lain rakyat semakin miskin seperti kita rasakan dewasa ini, rakyat tidak pernah terbebas dari penindasan maupun penderitaan rakyat. Pada dasawarsa terakhir negara dibawah kepemimpinan Jokowi yang sekaligus berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan telah memanfaatkan wewenang melebihi batas dan mengambil sikap otoriter diktator yang dibungkus dengan tampilan pencitraan halus padahal dalihnya semata kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya dan terlebih spesial hubungan simbiose demoralisasi bersama oligarkhi telah menjurus pada penjajahan di Republik ini yang sama sekali bertentangan dengan komitmen pendirian negara sebagaimana tersebut pada alinea pertama Mukadimah UUD 1945.
Segeralah kembali ke UUD 1945 Asli dengan Adendum yakni (1) Pemisahan Kepala Negara yang bertugas menjalankan amanah negara dan rakyat menjunjung kedaulatan Tuhan dengan Kepala Pemerintahan yang tugasnya terbatas selaku kerja pemerintahan, (2) Pembatasan Masa Bakti Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, (3) Pemberlakuan GBHN. Jangan sampai terlambat.