Membedah KKN Keluarga Jokowi

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com OPNIĀ  I Fenomena oligarki dan nepotisme dalam pemerintahan bukanlah hal baru di Indonesia, namun pola yang terjadi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kompleksitas yang lebih sophisticated dalam mengintegrasikan kekuasaan politik dengan ekspansi bisnis keluarga.

Bermula dari kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Silicon Valley pada 2016, terungkap bagaimana agenda diplomasi ekonomi negara bersinggungan dengan kepentingan bisnis keluarga presiden.

Kunjungan ke Plug and Play, sebuah akselerator startup terkemuka di California, tidak hanya menghasilkan janji investasi untuk Indonesia, tetapi juga membuka jalan bagi terbentuknya PT Gun Inovasi Solusindo (GK Plug and Play Indonesia) yang melibatkan Gandhi Sulistianto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur di Sinarmas Group.

Pola kolusi dan nepotisme semakin terlihat jelas dalam struktur kepemilikan dan manajemen GK Plug and Play Indonesia. Wesley Harjono, menantu Gandhi, ditunjuk sebagai Direktur Utama, sementara operasional perusahaan dijalankan oleh Anthony Pradipta dan Edwin Prastya, anak-anak Gandhi. Jejaring ini kemudian berkembang dengan terbentuknya PT Harapan Bangsa Kita (GK Hebat) yang menjadi induk dari berbagai bisnis Gibran dan Kaesang, anak-anak Presiden Jokowi.

GK Hebat sendiri merupakan hasil kongsi tiga perusahaan besar: PT Siap Selalu Mas milik Gibran dan Kaesang, PT WADA Masa Depan yang terafiliasi dengan keluarga Gandhi, dan PT Gema Wahana Jaya milik keluarga Theodore Pramandi Rachmat, salah satu konglomerat terkaya Indonesia.

Aliran modal ke bisnis keluarga presiden menunjukkan pola yang sistematis dan berkelanjutan. Alpha JWC Ventures, perusahaan modal ventura yang didirikan oleh Jeffryjo, Willong Ko Widjaja, dan Jefrey Chan, tercatat secara konsisten mengucurkan dana besar ke berbagai usaha Gibran dan Kaesang.

Pada 2019, perusahaan ini memberikan pendanaan senilai 71 miliar rupiah untuk Goola, bisnis minuman milik Gibran. Setahun kemudian, bisnis kuliner Mangkokku yang dikelola Kaesang, Gibran, dan partner mereka mendapat suntikan modal 30 miliar rupiah. Puncaknya pada 2022, ketika Alpha JWC Ventures bersama EMech dan Cakra Ventures kembali menggelontorkan dana 107 miliar rupiah untuk Mako.

Diversifikasi bisnis keluarga presiden tidak berhenti di sektor startup dan F&B. Kaesang Pangarep melebarkan sayap ke pasar modal melalui platform Saham Rakyat yang dikembangkan bersama Kevin Indrawan dan Samuel Sekuritas. Langkah agresif Kaesang terlihat dari pembelian 8% saham PT Panca Mitra Multi Perdana senilai 922 miliar rupiah dan akuisisi 40% saham klub sepakbola Persis Solo.

Kepemilikan saham di Persis Solo membuatnya duduk sebagai Direktur Utama, dengan Kevin Nugroho sebagai Direktur Operasional dan Mahendra Thohir, putra Menteri BUMN Erick Thohir, sebagai Presiden Komisaris.

Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Walikota Medan, juga membangun jejaring bisnis yang luas. Karir bisnisnya dimulai di sektor properti pada 2011, sebelum bergabung dengan TaTae Group pada 2016 sebagai Direktur Pemasaran dengan kepemilikan saham 10-20%.

Selain menjalankan beberapa kedai kopi, Bobby tercatat sebagai komisaris PT Wasena Ciptra Suara dengan kepemilikan saham senilai 93 miliar rupiah. Perusahaan ini tidak hanya mengerjakan proyek rumah bersubsidi di Sukabumi, tetapi juga berekspansi ke sektor pertambangan melalui investasi di Bedasambas Mineral Mining.

Kontroversi muncul ketika aktivitas bongkar muat terminal khusus PT Sambas Mineral Mining diduga melanggar perizinan pemanfaatan ruang laut. Kritik keras datang dari mantan Wakil Ketua KPK, Laode Syarif, yang menyebut PT Sambas sebagai salah satu perusahaan di Konawe yang kerap mengakali peraturan dan merugikan daerah.

Keterlibatan keluarga presiden dalam sektor pertambangan semakin kontroversial dengan munculnya nama Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dalam sidang kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara terkait izin usaha pertambangan.

Jaringan bisnis keluarga presiden juga merambah ke PT Rakabu Sejahtera, perusahaan furnitur yang melibatkan Gibran dan Kaesang sebagai pemegang saham bersama PT Toba Sejahtera, perusahaan yang didirikan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Meskipun Luhut menyatakan telah mengundurkan diri dari jabatan perusahaan setelah masuk kabinet, ia mengakui masih memegang saham di Toba Sejahtera.

Dari perspektif hukum, berbagai aktivitas bisnis keluarga presiden ini menimbulkan pertanyaan serius terkait potensi pelanggaran UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Pola kolusi terlihat dari kerjasama sistematis antara keluarga penyelenggara negara dengan pengusaha besar, sementara nepotisme tampak dalam penempatan keluarga di posisi-posisi strategis perusahaan. Konflik kepentingan muncul ketika jabatan publik bersinggungan dengan kepentingan bisnis pribadi, seperti dalam kasus pemberian izin pertambangan dan pelaksanaan proyek pemerintah.

Dari segi pidana, beberapa aktivitas bisnis keluarga presiden berpotensi melanggar berbagai pasal dalam UU Tipikor, mulai dari dugaan suap dalam perizinan tambang (Pasal 5 dan 12), penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), hingga konflik kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i). Kompleksitas struktur bisnis dan aliran dana juga menimbulkan kekhawatiran terkait praktik pencucian uang sebagaimana diatur dalam UU TPPU.

Penegakan hukum terhadap dugaan praktik KKN ini menghadapi tantangan besar mengingat kompleksitas struktur bisnis, sulitnya pembuktian konflik kepentingan, dan perlunya audit forensik yang mendalam. Diperlukan pendekatan komprehensif melibatkan berbagai institusi penegak hukum, mulai dari KPK untuk kasus yang melibatkan penyelenggara negara, Kejaksaan untuk kasus yang merugikan keuangan negara, hingga Kepolisian untuk tindak pidana umum.

Kasus ini menjadi cermin bagaimana praktik KKN di era modern telah berevolusi menjadi lebih kompleks dan sophisticated, memanfaatkan celah hukum dan kompleksitas struktur bisnis untuk menghindari deteksi dan penegakan hukum. Diperlukan reformasi sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif, termasuk penguatan peran whistleblower dan pembentukan tim penyidik gabungan dengan kemampuan forensik akuntansi yang mumpuni.

Penulis : Danang Suwito,Salah seorang Pembina Gerakan Pemuda Marhaenis,tinggal di Semarang

Berita Terkini