Mudanews.com OPNI – Pesiden Prabowo geram. Prabowo pun bingung. Tentang korupsi. Karena dia sekarang berkuasa, peta korupsi terpapar jelas di dia. Dia melihat korupsi secara utuh. Terstruktur. Sistematis. Masif. Nyaris di semua lini kehidupan.
Tidak ada yang mampu melawan keganasan korupsi. Tidak juga Prabowo. Maka dia mewacanakan mengampuni koruptor asal mengembalikan duit yang dikorup. Menteri Hukum pun setuju. Wah.
Politik di Indonesia saat ini adalah politik berbasis korupsi. Korupsi menjadi alat kekuasaan dan alat politik. Korup menjadi filsafat dan karakter bangsa. Hukum dan aturan hanya milik penguasa. Siapa pun yang berkuasa. Berhak mengendalikan segalanya: hukum dan semua sumber daya.
Beberapa gelintir orang yang baik pun; hilang, tenggelam dalam kolam yang berisi para iblis. Bahkan ikut menari-nari; yang sebelumnya menajiskan perilaku korup.
Pegangan untuk mengontrol diri, agar memiliki nilai, moralitas, norma, aturan, sudah tidak ada lagi. Agama, hukum berbasis tuhan atau kemanusiaan di Indonesia, telah berubah fungsi, jadi alat politik.
Ketika agama dan politik menjadi alat mencengkeram kekuasaan telah ditelan oleh perilaku korup, oleh koruptor, maka tidak ada lagi alat untuk mengontrol perilaku.
Contohnya, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar mencetak uang palsu ribuan triliun selama belasan tahun! Sebelumnya, tercatat banyak menteri termasuk menteri agama masuk bui.
Maka, Indonesia menjadi kebun binatang besar yang dipenuhi oleh dua kelompok. Kelompok penguasa-politikus-pengusaha (hitam) yang mempertontonkan kekuasaan; kedigdayaan, kekayaan melimpah, kemewahan tak terbatas.
Kelompok kedua adalah para penjaga moralitas beneran. Ini ditandai dengan kehidupan sederhana, bahkan miskin dan tersingkir. Atau, orang yang belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi kelompok pertama di atas.
Kelompok kedua ini disebut sebagai rakyat jelata, si miskin, seperti disebut oleh Adita Irawati Juru Bicara Kantor Presiden. Karena memang dalam pikiran penguasa, terminologi rakyat jelata telah melekat dalam alam bawah sadar mereka.
Tak salah Adita Irawati menyebutkan secara lugas, mewakili kelompoknya, para elite, kelompok kaya, penguasa, tentang adanya kelompok kedua. Si papa, si miskin, si tak berdaya; rakyat jelata.
Ironisnya, kelompok pertama yang diwakili oleh Adita Irawati salah satunya, menentukan narasi, menentukan hajat hidup mayoritas rakyat. Kelompok para orang kaya, penguasa, politikus, konglomerat di alam ekonomi liberal-kapitalis, mengendalikan nasib mayoritas.
Kelompok rakyat mayoritas ini menjadi obyek; deretan angka, untuk ditentukan ukuran makannya, hartanya, kalau pun punya. Kelompok kedua ini adalah abdi dalem, budak bagi para penguasa-politikus-pengusaha (hitam).
Perilaku serakah untuk mengeruk kekayaan, telah menghancurkan petani sayur, peternak sapi perah di Boyolali, ratusan ribu perkebunan kopi, teh PTPN telantar, sekaligus ribuan rakyat jelata kehilangan pekerjaan; tambah jelata menurut Adita Irawati.
Belum lagi ribuan karyawan Sritex dan srintil lain terancam bangkrut, juga industri lainnya. Makin tambah panjang rakyat jelata menderita kekurangan makan. Membuktikan mereka hanyalah obyek pembangunan (pemarjinalan, tepatnya).
Akhirnya, Indonesia menjadi negara auto-pilot; penguasa-politikus-pengusaha (hitam) terus menghisap rakyat jelata sebagai obyek. Dan, rakyat jelata pun menikmatinya sebagai keniscayaan; sunnatullah. Sak karepmu rek.Terselip pertanyaan dan harapan: seperti apa legacy Prabowo dibangun nanti, di tengah pengaruh di luar dirinya tetap teguh mencengkeram sebagai bagian dari Indonesia yang ditelan koruptor?
(Penulis: Ninoy Karundeng).