Pernyataan Bersama Darurat Kekerasan Polisi : Copot Kapolri Listyo Sigit

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com Yogyakarta – Sekelompok Aktifis HAM hari ini (11/12/24) bertempat di Gedung STPMD APMD Jalan Timoho Yogyakarta  Menyelenggarakan Diskusi Apa Kabar Pelanggaran HAM hari ini , terselenggara atas kolaborasi Social Movement Institute dan Amnesty International Indonesia Dalam rangka memperingati Hari HAM  Sedunia 10 Desember 2024,adapun naskah kepriihatinan tersebut disusun bersama dengan panitia acara Suara Tiga Zaman dan ditanda-tangani bersama al :

  1. Eko Prasetyo (Pendiri Social Movement Institute)
  2. ⁠Ursula Lara (Social Movement Institute, mahasiswa FH UGM, pembaca deklarasi)
  3. Paul FR Social Movement Institute)
  4. ⁠Daniel Siagian (LBH Pos Malang)
  5. . ⁠Zico Mulia (Yayasan Tifda)
  6. Tri Agus Santoso (Pijar, APMD)
  7. ⁠Ainun Najiha (Mahasiswa)
  8. ⁠Sukinah (Tokoh Pegunungan Kendeng)
  9. . ⁠Imanda (SMI)
  10. ⁠Akbar Firdaus (SMI)
  11. ⁠Syam Omar (SMI)
  12. ⁠Dimas Bagus Arya (KontraS)
  13. Indra Adil (PKM IPB 77/78)
  14. Zumrotin (senior aktivis)
  15. ⁠Veni Siregar (Aktivis Perempuan)
  16. ⁠Saepul Tavip (OPSI)

Kekerasan polisi terus terjadi dan membuat negara dalam kondisi darurat saat dunia, termasuk Indonesia, merayakan Hari Hak Asasi Internasional. Keberulangan kekerasan polisi telah menelan banyak korban fisik maupun jiwa namun tidak ada investigasi yang memadai sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat. Amnesty International menyebut ada 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian unjuk rasa 22-29 Agustus 2024 di sejumlah provinsi. Organisasi HAM Internasional tersebut juga mencatat dalam periode Januari-November 2024 terdapat total 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

Merespon situasi ini, kami menyatakan negara dalam keadaan darurat kekerasan polisi. Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban dalam luar biasa. Rendahnya transparansi hingga tidak ada penghukuman yang tegas untuk pelaku serta pemimpin komando dan petinggi-petinggi di kepolisian menjadi penyebab utama berulangnya kekerasan aparat ini. Kekerasan aparat harus dilihat dalam konteks yang lebih besar yaitu sebagai kebijakan yang diambil oleh petinggi polri bukan hanya merupakan kejadian terbatas yang dilakukan oleh aparat di lapangan. Oleh karena itu reformasi menyeluruh harus dilakukan di tubuh polri tidak hanya terbatas pada implementasi SOP penanganan aksi damai.

Yang lebih berbahaya adalah cara pandang bahwa segala bentuk tuntutan masyarakat dianggap sebagai ancaman sehingga responnya selalu berujung pada aksi kekerasan oleh aparat. Bahkan dalam banyak situasi, kekerasan terjadi hanya karena ketersinggungan aparat kepolisian hingga kekhawatiran yang tak beralasan. Polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat. Kegagalannya bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi.

Maka penting bagi kami untuk menyerukan adanya evaluasi atas kinerja kepolisian dengan meletakkan alat ukur HAM sebagai parameternya. Melalui alat ukur HAM itulah kepolisian tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang, tidak mudah digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat hingga terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang dimiliki. Tak ada cara lain selain menuntut keterbukaan juga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kepala Kepolisian.

Darurat kekerasan polisi telah membangunkan kita semua bahwa pengawasan dan kontrol atas wewenang kepolisian saatnya dilakukan oleh semua kalangan termasuk kelompok masyarakat sipil. Semua tahu kita bukan hanya memerlukan kepolisian yang melindungi tapi juga menjamin masyarakat untuk bebas menyatakan suara dan pandangan. Semestinya polisi belajar dari sejarah bahwa kemandirian yang diraihnya hari ini ialah perjuangan luar biasa dari semua gerakan masyarakat sipil di era 98. Polisi sebaiknya sadar diri bahwa posisi yang diraihnya hari ini bukan karena perjuangan institusinya. Maka wajib bagi polisi membayar ‘hutang sejarah’ itu dengan menghidupkan lagi kultur HAM dalam penggunaan wewenangnya dan memberikan pintu seluas-luasnya masyarakat untuk mengontrol kinerjanya.

Pada peringatan HAM kali ini saatnya polisi mulai mengubah diri dengan melakukan:

  1. Perombakan kepemimpinan termasuk di pucuk pimpinan tertinggi yaitu Kapolri yang musti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi
  2. Hentikan kebijakan penggunaan kekerasan dalam merespon aksi-aksi damai
  3. Memberi ruang bagi publik untuk menilai kinerja polisi dengan membuka partisipasi masyarakat untuk memilih pimpinan kepolisian di level pusat hingga daerah.
  4. Memastikan aparat kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti bahkan mampu untuk bertindak sesuai dengan prinsip prinsip HAM
  5. Memberikan hukuman keras pada aparat Kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dengan menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi etik.
  6. Membatasi dan mengontrol wewenang dan anggaran kepolisian yang selama ini tidak dikaitkan dengan kinerja polisi dalam penghormatan pada HAM.(Red)

 

 

 

 

Berita Terkini