Ditulis: Heru Subagia.
Pengamat Politik dan Sosial
Mudanews.com – Opini | Terkait polemik Gus Miftah yang “mengolok-olok” tukang es teh, Prabowo harus membayar konsekuensi yang amat besar. Pertaruhan politik dan juga legitimasi pemerintahan yang tergolong masih muda.
Sebenarnya, kejadian Gus Miftah tersebut di atas adalah cerminan tindakan politik yang mencerminkan bagaimana secara keseluruhan dan komprehensif pemerintahan Prabowo-Gibran bekerja. Pemenang Pilpres 2024 tersebut mempunyai tim. Salah satu tim dalam kabinet ini adalah Gus Miftah, yang terpilih sebagai salah satu staf khusus yang ditugaskan untuk kerukunan dan agama. Alasan inilah yang menjadi sorotan publik, bahwa Gus Miftah adalah bagian dari pemerintahan Prabowo. Konsekuensi yang sangat mendasar dari hal ini membuat kericuhan semakin menyala dan menggila ketika isu Gus Miftah disandingkan dengan Prabowo itu sendiri.
Tindakan Tegas
Tindakan tegas harus dilakukan, yang menurut penulis bisa terjadi melalui dua arah. Pertama, Prabowo segera memecat Gus Miftah dari jabatannya sebagai staf khusus. Kedua, Gus Miftah dengan sukarela mundur dari jabatannya.
Kedua langkah ini dapat menetralisir kemarahan masyarakat dan menekan laju delegitimasi pemerintah. Ketidaknyamanan masyarakat harus segera ditangani. Jika isu yang viral ini tidak ditangani segera, Prabowo akan kehilangan momentumnya sebagai presiden yang legitimate.
Prabowo Mencintai Rakyat
Apa yang diharapkan masyarakat saat ini adalah Prabowo mencintai rakyat Indonesia, tidak menyakiti mereka, dan berjuang untuk kepentingan mereka secara utuh. Prabowo seharusnya tidak menyakiti salah satu bagian masyarakat, apalagi membuang mereka.
Prabowo bukan seorang utopis, bukan presiden yang “halu”. Saat ini, Prabowo Subianto memiliki daya tarik besar bagi harapan-harapan masyarakat. Ia diharapkan membawa perubahan besar, terutama bagi wong cilik.
Penjual Es Teh: Pelajaran Mahal
Kasus penghinaan terhadap penjual es teh oleh salah satu staf presiden yang kemudian viral adalah pelajaran mahal. Bola panas isu ini dengan cepat menyebar dan “membakar” citra istana presiden. Kemarahan masyarakat ini mencerminkan kekecewaan yang ekstrem atas harapan yang tinggi kepada pemerintahan.
Keraguan Masyarakat
Pertanyaannya, bagaimana hal buruk seperti ini bisa terjadi? Gus Miftah, staf khusus untuk kerukunan agama, justru menjatuhkan harga diri wong cilik. Mengolok-olok adalah tindakan tidak senonoh yang merusak legitimasi Prabowo untuk memperkuat ekonomi dan hak-hak sipil.
Pecat Gus Miftah
Olok-olok Gus Miftah telah menjadi masalah politik yang krusial. Masyarakat mengharapkan reshuffle kabinet untuk mengganti pejabat dengan figur yang memiliki ide, gagasan, serta perilaku yang sesuai demi dedikasi kepada rakyat Indonesia.
Penulis meyakini bahwa tindakan Gus Miftah sudah masuk ke dalam ranah kriminalisasi politik di internal pemerintahan Prabowo. Persoalan ini harus segera diselesaikan agar kebijakan-kebijakan politik yang dirancang dapat dieksekusi dengan baik.
Fokus pada Janji Kampanye
Prabowo perlu segera memberikan arah perbaikan ekonomi yang cepat serta memastikan program kerjanya terealisasi. Saat ini, Prabowo belum menunjukkan hasil kerja nyata yang komprehensif untuk masyarakat. Padahal, sebagai pemimpin, Prabowo diharapkan mampu membawa perubahan nyata.
Namun, perilaku salah satu staf khusus yang tidak patut justru menjadi sorotan. Ini adalah kenyataan politik kompromi yang tidak sesuai dengan kebutuhan politik nyata.
Refleksi Politik Bagi-bagi
Kompromi instan berbasis kepentingan politik koalisi menciptakan distorsi pemerintahan. Hal ini mencerminkan kesenjangan antara pemikiran eksekutif presiden, para menteri, dan staf khusus.
Kemarahan kolektif masyarakat akhirnya meledak. Gus Miftah yang mengolok-olok orang kecil bukan hanya masalah moral, sosial, atau budaya, tetapi juga potret suram politik bagi-bagi kekuasaan yang mengabaikan etika, moralitas, dan profesionalisme.**()