Mudanews.com – OPINI – Feodalisme sebagai paham warisan era penjajahan masih menjadi tembok sosial yang memisahkan manusia berdasarkan strata. Perilaku diskriminatif tersebut sering kita temui pada karakter seseorang yang merasa derajatnya lebih tinggi atau berkuasa dibanding orang lain.
Kasus perundungan yang dilakukan Miftah kepada seorang pedagang minuman, tidak bisa dimaknai sebagai kecelakaan verbal (keceplosan). Miftah melakukannya dengan sadar dan diakuinya sebagai gaya bahasa yang lazim dilakukannya saat berkomunikasi dengan orang lain. Ungkapan “goblok” mengandung frasa dirinya lebih pintar daripada pedagang minuman.
Benak seorang Miftah berisi kelas perbedaan, memposisikan dirinya berada di panggung lebih tinggi, pedagang berada di bawah bersama jama’ah lainnya. Miftah sosok pendakwah yang dimuliakan banyak orang, penjual minuman cuma pedagang biasa. Dan miftah seorang utusan khusus Presiden sedangkan Sunhaji rakyat biasa yang sedang mencari nafkah.
Kasta yang ada dalam pikiran Miftah menjadi dorongan verbal menyebut “goblok” kepada orang lain dengan ringan, tanpa beban etika.
Urusan ungkapan verbal kasar barangkali Butet Kartarejasa juaranya. Seniman yang identik dengan kata “asuwok” dalam setiap bicaranya dilakukan tanpa sekat sosial. Kepada siapapun dan situasi apapun “asuwok” dilontarkan sebagai identitas pikiran Butet menyimpulkan sesuatu yang menurutnya mengecewakan, mengherankan bahkan luar biasa.
Asuwok dalam definisi bahasa Jogja berarti : Anjing, kok?!
Sama-sama berasal dari Jogja, Miftah seorang pendakwah bukan seniman “liar” sekelas Butet. Alih-alih menyamakan dengan “asuwok” milik Butet, kefasihan “goblok” Miftah bergaung di ruang dakwah. Miftah berkata untuk orang lain sedangkan Butet nyumpah “asuwok”untuk dirinya sendiri.
Butet tidak membedakan kasta, Miftah hanya berani bilang “goblok” kepada orang yang lebih rendah strata sosialnya. Butet berani bilang “asuwok” untuk Mulyono, Miftah mustahil berani bilang “goblok” untuk orang yang memberinya panggung atau jabatan. Prabowo misalnya.
No viral no party kembali menelan korban. Video Miftah dan orang-orang sekelilingnya ngakak usai meng-goblok-kan pedagang es teh viral hingga ke istana membuktikan kekuatan netizen mengadili mulut Miftah.
Netizen bersatu ngamuk, Miftah dirujak habis klarifikasi dan minta maaf hanya menambah semangat publik dunia maya menelanjangi Miftah yang aslinya bernama Ta’im. Dalam waktu 2 hari, video sudah diunggah dan diposting ulang mendekati angka 2 juta kali.
Kasus ini memberi pelajaran pada kita, bahwa jari netizen lebih mematikan daripada pistol Partai Coklat. Miftah tidak sendirian yang hobi merendahkan raktjat jelantah, masih banyak yang lain. Apesnya dia saja malam itu, mungkin kurang minun es teh
–
@Dahono Prasetyo