Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber.
Mudanews.com – Ketika Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden, banyak yang merasa optimis dengan program kerjanya yang dinilai realistis. Harapan ini muncul karena Prabowo dianggap membawa visi yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi Indonesia, baik di level domestik maupun global. Namun, rasa optimisme ini mulai pudar ketika diumumkannya daftar nama menteri yang akan mengisi kabinet. Nama-nama tersebut didominasi oleh loyalis Presiden Jokowi, yang menimbulkan skeptisisme di sebagian kalangan. Hal ini ditambah dengan situasi ekonomi yang tidak menentu—utang pemerintah yang menumpuk, ekonomi domestik yang melemah, serta krisis global yang terus membayangi. Dalam keadaan seperti ini, keraguan masyarakat semakin besar.
Meskipun begitu, Prabowo tetap memasang target ambisius untuk memajukan perekonomian negara. Ia menetapkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% per tahun. Target ini tentu sah-sah saja, karena setiap pemerintahan berhak memasang tujuan setinggi mungkin. Namun, tanpa perencanaan yang matang dan realistis, target ini bisa menjadi beban baru. Apalagi jika melihat postur APBN 2024-2025, yang menunjukkan bahwa kondisi fiskal negara sedang dalam tekanan berat. Anggaran negara sekitar Rp 3.000 triliun harus menanggung defisit sebesar Rp 700 triliun, sementara Rp 1.000 triliun dari anggaran tersebut dialokasikan untuk membayar cicilan dan bunga utang. Di sisi lain, kabinet yang disusun Prabowo juga tampak “gemuk” dengan 42 kementerian, dua Wakil Menteri di setiap kementerian, dan struktur birokrasi yang semakin kompleks.
Dalam kondisi keuangan yang lesu seperti ini, wajar jika publik mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Jika pemerintahan Prabowo terus menambah utang luar negeri, hal ini hanya akan memperburuk situasi karena utang tersebut akan menambah beban cicilan di tahun-tahun mendatang.
Tantangan yang dihadapi Prabowo sangat besar. Defisit anggaran sebesar Rp 700 triliun mengisyaratkan bahwa pengeluaran negara jauh lebih besar dari pendapatannya. Ini tentu mengurangi ruang gerak pemerintah untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur atau program-program produktif lainnya. Beban utang yang begitu besar juga menyerap anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif.
Di tingkat global, perekonomian dunia sedang mengalami penurunan, yang juga berdampak pada Indonesia. Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor, Indonesia rentan terhadap fluktuasi ekonomi global. Penurunan ekonomi dunia akan memukul sektor ekspor kita, yang tentu saja memperlambat laju pertumbuhan nasional. Di dalam negeri, daya beli masyarakat juga sedang menurun, seperti tercermin dari lesunya belanja domestik. Padahal, konsumsi masyarakat adalah salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika daya beli tidak segera ditingkatkan, sulit untuk mengharapkan adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Selain itu, tingginya tingkat korupsi dan maraknya penyelundupan menjadi hambatan besar bagi efisiensi ekonomi. Korupsi memotong anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, dan penyelundupan merugikan pendapatan negara. Tanpa komitmen yang kuat untuk memberantas masalah-masalah ini, Indonesia akan terus kehilangan peluang untuk tumbuh.
Struktur pemerintahan yang terlalu kompleks juga menambah beban. Dengan 42 kementerian dan banyaknya pejabat tinggi, pengambilan keputusan menjadi lamban dan kerap terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit. Efektivitas pemerintah dalam merespons masalah ekonomi bisa terganggu oleh kerumitan birokrasi ini.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, Prabowo dan timnya harus melakukan reformasi mendalam. Efisiensi pengeluaran negara perlu ditingkatkan agar defisit anggaran bisa ditekan. Pengelolaan utang harus lebih bijak agar ruang fiskal terbuka untuk investasi produktif. Indonesia juga harus berupaya mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan mendorong pengembangan sektor-sektor lain seperti manufaktur, teknologi, dan pariwisata. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat institusi anti-korupsi dan memastikan penegakan hukum berjalan dengan tegas agar kepercayaan investor bisa pulih.
Meningkatkan investasi asing juga menjadi poin penting. Regulasi yang ramah investasi dan stabilitas politik serta ekonomi sangat diperlukan untuk menarik investor masuk ke Indonesia. Di sisi lain, kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat juga harus segera diterapkan, misalnya melalui subsidi yang tepat sasaran dan peningkatan upah minimum.
Kesimpulannya, target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun memang mungkin dicapai, tetapi jalan menuju ke sana penuh dengan tantangan besar. Prabowo dan kabinetnya harus bekerja keras dan melakukan reformasi yang menyeluruh di berbagai sektor jika ingin membawa Indonesia keluar dari krisis dan mencapai tujuan tersebut. Namun, tanpa langkah-langkah konkret dan perubahan fundamental, target ini bisa jadi hanya sebatas angan-angan.
Contoh Serupa di Argentina
Salah satu contoh yang mirip dengan situasi saat ini adalah di Argentina. Argentina menghadapi berbagai tantangan ekonomi dan politik yang mencerminkan kondisi serupa, di mana beban utang yang besar, defisit anggaran yang tinggi, dan struktur pemerintahan yang rumit telah menyulitkan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Argentina telah lama berada dalam krisis ekonomi yang kronis, terutama setelah krisis finansial besar pada awal 2000-an. Negara ini terus berjuang dengan utang luar negeri yang besar, yang diperburuk oleh defisit anggaran yang terus meningkat. Seperti di Indonesia, pemerintah Argentina harus mengalokasikan sebagian besar anggarannya untuk membayar cicilan dan bunga utang, yang menyulitkan pemerintah untuk melakukan investasi dalam sektor-sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Argentina juga kerap mengalami situasi di mana pejabat-pejabat pemerintah yang masih terikat dengan pemerintahan sebelumnya tetap memegang peran penting dalam kabinet atau lembaga strategis negara. Misalnya, ketika Presiden Alberto Fernandez terpilih pada 2019, kabinetnya banyak diisi oleh loyalis Cristina Fernandez de Kirchner, mantan presiden yang juga menjadi wakil presiden dalam pemerintahannya. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa kebijakan ekonomi akan dipengaruhi oleh agenda politik lama, yang terbukti tidak efektif dalam menangani krisis ekonomi di masa lalu.
Struktur pemerintahan Argentina yang gemuk, dengan banyak kementerian dan lembaga strategis, juga menambah kompleksitas dalam pengambilan kebijakan. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih kebijakan antara berbagai kementerian dan lembaga, yang berujung pada kebijakan yang tidak konsisten dan kurang efektif. Misalnya, dalam hal kebijakan ekonomi dan fiskal, sering terjadi perbedaan pandangan antara menteri keuangan yang lebih pro-pasar dan menteri-menteri lain yang lebih populis, yang mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak stabil.
Minimnya oposisi yang kuat juga membuat kontrol terhadap pemerintah menjadi lemah. Di Argentina, koalisi pemerintahan sering mendominasi parlemen, sehingga ada sedikit ruang bagi oposisi untuk memberikan kritik atau mengawasi kebijakan yang dijalankan pemerintah. Hal ini menyebabkan kurangnya keseimbangan dalam pemerintahan dan berpotensi memperburuk situasi ekonomi, karena tidak ada kekuatan yang cukup untuk menantang kebijakan yang mungkin tidak efektif.
Kombinasi dari beban utang yang besar, defisit anggaran yang terus meningkat, struktur pemerintahan yang gemuk, dan dominasi loyalis pemerintahan lama telah membuat Argentina kesulitan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil. Situasi ini sangat mirip dengan yang bisa terjadi di Indonesia jika pemerintahan baru tidak segera melakukan reformasi struktural dan mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang lebih luas daripada sekadar mempertahankan loyalitas politik.
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 17 Oktober 2024, 06:45 Wib.