Mudanews.com Jakarta – Meskipun Kabinet Prabowo Gibran belum secara resmi di umumkan, namun nama-namanya sudah mulai beredar di sosial media benar atau salah kita tunggu pasca pengumuman setelah Prabowo Gibran dilantik jadi Presiden/wakil Presiden tanggal 20 Oktober mendatang,
Terkait dengan hal tersebut diatas Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Indonesia Workers Organization dalam hal ini Dewan Eksekutif Nasional OPSI memberikan padangannya.
Sosok Menteri Ketenagakerjaan di Kabinet Pemerintahan Prabowo mendatang akan sangat berpengaruh terhadap nasib, kesejahteraan, perlindungan dan masa depan rakyat pekerja di Indonesia di tengah situasi dunia kerja dan dunia usaha yang sedang tidak baik-baik saja. PHK yang semakin marak di berbagai sektor industri, pasar kerja yang semakin fleksible serta kondisi global yang saat ini tengah bergejolak, demikian kata Saipul Tavip Presiden OPSI dalam siaran pers pagi ini.
Lebih lanjut Saipul Tavip menjelaskan bahwa kriteria menteri Ketengakerjaan Kabinet Prabowo Gibran harus merupakan sosok yang memenuhi sembilan kriteria seperti yang yang dijelaskan sebagai berikut :
- Mampu menjalin kerja sama dengan departemen terkait, seperti perindustrian, perdagangan, koperasi/UMKM dan BKPM. Sinergi ini sangat diperlukan untuk memastikan terbukanya lapangan kerja yang semakin luas sehingga angka pengangguran sebesar 4,82 persen (data Februari 2024) ini dapat ditekan. Lapangan kerja bukan sekedar membuat orang jadi bekerja, tetapi lapangan kerja yang berkualitas yang dapat memberikan kesejahteraan dan perlindungan jangka penjang. Bukan yang bersifat kontrak, harian lepas, magang, maupun outsourcing yang kerap menjadi ajang ekploitasi terhadap kaum pekerja di Indonesia.
- Mampu mewujudkan kerja layak, upah layak dan hidup layak (decent work) bagi kaum pekerja yang saat ini semakin terpuruk dengan lahirnya UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya. UU Cipta kerja selain semakin menekan tingkat upah minimum (penghasilan pekerja yang secara riil terus mengalami penurunan) juga memangkas hak-hak buruh terhadap uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak manakala buruh menghadapi PHK dan harus kehilangan pekerjaan.
- Mampu mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan atas segala bentuk pelanggaran terhadap hak-hak normatif kaum pekerja. Selama ini segala bentuk pengaduan yang dilayangkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (melalui lembaga pengawasan, sampai di tingkat daerah) banyak yang lenyap ditelan bumi. Tidak ada tindak lanjutnya. Hal ini tentu saja semakin merugikan kaum pekerja/buruh dan membuat hukum semakin tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
- Mampu membuat regulasi yang mampu memberikan kepastian hukum terhadap berbagai isu di dunia ketenagakerjaan. Saat ini ada banyak persoalan pekerja yang masih belum memiliki landasan hukum yang belum dicover sepenuhnya oleh aturan yang ada, sehingga terjadi kekosongan hukum. Salah satunya adalah nasib pekerja on-line yang belum diatur dalam regulasi penting untuk segera diatur untuk memastikan para pekerja on-line mendapatkan kerja layak, upah layak dan hidup layak.
- Mampu meningkatkan kualitas SDM kaum pekerja melalui berbagai program-program pendidikan dan pelatihan vocational (skilling, upskilling, reskilling, dsb) sehingga tenaga kerja Indonesia memililiki daya saing tinggi dalam memasuki dunia kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Penting juga untuk menggabungkan pelaksanaan pelatihan vokasional agar lebih efektif dan efisien dalam memenuhi SDM yang dibutuhkan Dunia Usaha dan Dunia Industri. Selama ini pelaksanaan pelatihan vokasional masih terpisah-pisah seperti pelatihan vokasional di Kartu PraKerja, di Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dan pelatihan yang dilaksanakan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian lainnya.
- Mampu menjalin komunikasi dan dialog-dialog yang sehat dan konstruktif serta kedekatan dengan kalangan Serikat Pekerja (di semua level, Konfederasi maupun Federasi dan tingkat Perusahaan), karena Serikat Pekerja memiliki peran strategis untuk meningkatkan daya tawar pekerja (bargaining posotion) di tempat kerja. Seorang Menteri Ketenagakerjaan harus akomodatif terhadap suara-suara yang berkembang di kalangan Serikat Pekerja.
- Memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong agar klaster ketenagakerjaan yang ada dalam UU Cipta Kerja dapat dikeluarkan dan menginisiasi suatu regulasi baru yang mendukung kerja layak, upah layak dan hidup layak bagi kaum pekerja.
- Memastikan seluruh pekerja (formal mapun informal) tercover oleh seluruh program Jaminan Sosial (Ketenagakerjaan dan Kesehatan). Saat ini kepesertaan pekerja informal di Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan masih rendah (sekitar 8 jutaan pekerja dari total pekerja informal sebanyak 84 juta orang, BPS, Februari 2024). Pekerja informal miskin dan tidak mampu hingga saat ini belum dilindungi oleh Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dengan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh Pemerintah Pusat, padahal dengan sangat jelas Pasal 14 dan Pasal 17 mengamanatkan perlindungan tersebut.
- Mampu mendorong peningkatan jumlah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Perusahaan. Bahwa kehadiran PKB menjadi indikator demokratisasi hubungan industrial di tempat kerja serta sebagai bentuk implementasi Hubungan Industrial Pancasila sesuai Kepmenaker No. 76 Tahun 2024.
Singkatnya, sosok yang diharapkan menjadi Menteri Ketenagakerjaan mendatang adalah yang memiliki wawasan pengetahuan yang mumpuni di bidang ketenagakerjaan, mampu bergerak gesit, memiliki sensivitas yang tinggi terhadap nasib kaum pekerja, memiliki sikap yang tegas (tidak lembek terhadap pengusaha-pengusaha nakal), dan kedekatan terhadap seluruh elemen gerakan Serikat Pekerja di Indonesia, serta mampu menunjukkan kiprahnya di dunia internasional melalui lembaga ILO. Dan yang tidak kalah penting, tidak mengangkat seorang Menteri Ketenagakerjaan hanya berdasarkan bagi-bagi jatah terhadap Parpol pendukungnya yang seringkali mengabaikan rekam jejak (track record), kapasitas dan kompetensinya, pungkasnya (Red)