Implikasi Kekalahan Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2024

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : S. Ragil

————-

Mudanews.com – Penulis masih sangat ingat kasus pilkades salah satu desa di Boyolali dimenangkan oleh kotak kosong. Pilkades ulang digelar sampai 6 kali dengan calon yang sama melawan kotak kosong. Pada Pilkades ke 6 baru Cakades menang melawan kotak kosong dan lebih karena alasan warga lelah dengan Pilkades yang tidak lekas selesai.

Dari pengalaman yang di atas demi menghindari kotak kosong ada beberapa desa yang kemudian menggunakan calon boneka untuk menembus jalan kebuntuan politik.

Pengalaman pemilihan Walikota Solo ketika Gibran maju, sebenarnya juga menghadapi calon tunggal karena tidak ada Partai manapun yang berani menjadi lawannya. Maka diciptakan calon boneka dari jalur independen seorang tukang jahit untuk menjadi lawan Gibran.

Pilkada serentak 2024 ini diwarnai fenomena calon tunggal. Ada 43 daerah yang melawan kotak kosong, dan ini masih bisa berkurang jika KPUD setempat melakukan perpanjangan pendaftaran. Namun sepertinya waktu semakin sempit dan kecil kemungkinan penambahan Paslon. Dengan tidak adanya pilihan lain tersebut masyarakat tidak mustahil bisa apatis dan lebih memilih kotak kosong daripada Paslon tunggal.

Berkaitan dengan ambang batas pencalonan pilkada, PKPU Nomor 10 Tahun 2024 mengakomodasi Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 melalui pasal 11. Dengan demikian, partai-partai politik resmi dapat mengusung calon kepala daerahnya asal memenuhi ambang batas berupa sekian 6,5-10 persen suara sah dari total daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah yang bersangkutan.

Karenanya, threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Putusan MK yang sangat mendadak menjelang proses pendaftaran partai membuat partai kecil berpeluang mengajukan paslon namun di sisa waktu yang ada. Lobby politik lintas parpol butuh waktu dan tidak semudah tanda tangan koalisi. Peluang MK tidak mampu dilaksanakan secara maksimal.

Di luar putusan MK, menurut penulis dikarenakan pemerintahan Prabowo Gibran tidak menghendaki adanya partai penyeimbang (oposisi) yang dianggap akan mengganggu stabilitas politik untuk memuluskan program-program pemerintah. Maka dibentuklah koalisi KIM plus, yang praktis hanya menyisakan PDI Perjuangan. Dan hampir saja di Jakarta PDI Perjuangan tidak bisa mencalonkan kadernya sebelum turun putusan MK.

Sekarang pertanyaannya bagi publik apa implikasi politik jika Pilkada dimenangkan oleh kotak kosong ?

Ketika calon tunggal kalah dengan kotak kosong, dimana suara dukungan tidak mecapai 50 %, maka sesuai ketentuan Pasal 54 D ayat 3 ada Pilkada ulang yang dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal lima tahun sekali. Jika nanti diselenggarakan di tahun berikutnya berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November 2025.

Atau dalam bisa juga kebijakan Pasal 3 ayat 1 UU nomor 8 tahun 2015, penyelenggaraan Pilkada ulang dilaksanakan lima tahun kemudian bersamaan Pilkada serentak.
Sampai hari ini kita belum melihat regulasi tentang batas waktu seorang Plt kepala daerah diperpanjang jabatannya karena Pilkada tidak menghasilkan Kepala Daerah baru.

Plt Kepala Daerah yang kita tahu bisa ditetapkan oleh Presiden melalui Kemendagri. Implikasi yang terjadi, Plt Kepala Daerah secara aturan bertanggung jawab kepada Presiden bukan pada rakyat. Akibatnya aspirasi rakyat tidak akan tertampung jika tidak sesuai kehendak pemerintah pusat dimana pemerintah pusat tidak melihat kondisi riil masyarakat. Koalisi KIM Plus yang ada di daerahpun tidak akan punya nyali untuk berbeda dengan keputusan politik pimpinan koalisi di tingkat pusat.

Padahal recana koalisi KIM Plus oleh Jokowi/Prabowo diharapkan permanen minimal dalam jangka waktu 20 tahun ke depan hemat penulis mengapa koalisi KIM Plus tidak difusikan sekalian sehingga tinggal hanya ada 2 partai, seperti demokrasi ala Amerika Serikat. Beranikah kita melakukan amandemen UUD 1945 untuk ke 5 kalinya?

Berita Terkini