Keajaiban Pilkada DKI Untuk Ahok, Bukan Anies

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Penulis : Dahono Prastyo – Pengamat sosial Politik tinggal di Depok

Mudanews.com Saking dinamisnya tensi politik, hanya butuh waktu 6 hari, sebuah konspirasi terjadi di luar prediksi seorang pakar sekalipun. Dimulai hari Senin (19/8) saat 12 Parpol kompak mendeklarasikan dukungan kepada Paslon RK-Suswono. Mereka seolah sepakat menganaktirikan PDIP di Pilkada DKI.

Namun tanpa disangka pada hari Selasa (20/8) Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan penting terkait revisi pasal-pasal UU Pilkada. Elektoral threshold parpol pengusung calon kepala daerah (Cakada) diturunkan dari 20% menjadi di bawah 10%.

Pasal lain tak kalah pentingnya yaitu mengembalikan aturan batasan umur Cakada dari minimal 30 tahun pada saat pelantikan, diputuskan menjadi 30 tahun pada saat pendaftaran.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding pada keesokan harinya Rabu (21/8) mendapat reaksi perlawanan dari Legislatif sebagai pihak pembuat undang-undang. Rapat Badan Legislatif digelar kilat, hanya butuh waktu 3 jam menghasilkan kesepakan yang berseberangan dengan putusan MK.

Gelombang protes dan alarm peringatan Indonesia darurat meledak serentak, baik di dunia maya maupun trotoar jalanan. Kamis (22/8) ribuan mahasiswa dan masyarakat umum turun ke jalan mengepung gedung wakil rakyat memprotes begal konstitusi

Jadwal rapat pleno DPR hari Kamis gagal dilaksanakan dengan alasan tidak quorum karena tekanan massa. Kerja dadakan hari Rabu sia-sia meski bukan berarti rencana pembegalan berhenti. Tekanan publik bertubi-tubi memaksa DPR tak mau ambil resiko stabilitas keamanan terganggu.

Aksi demo lanjutan masih terjadi di hari Jumat (23/8) di berbagai kota dengan target mendesak KPU segera melaksanakan putusan MK. Situasi mereda di hari Sabtu dan Minggu usai KPU mengeluarkan pernyataan resmi akan melaksanakan putusan MK dengan mengagendakan hari Senin (26/8) mengadakan rapat konsultasi dan pengesahan dengan DPR.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan MK tersebut? PDIP khususnya dan Partai kecil lainnya mendapat berkah atas putusan penurunan ambang batas parpol. Sementara Kaesang yang dianggap primadona Pilkada gagal memenuhi syarat umur.

Di DKI PDIP punya Ahok yang sempat dipasung pencalonannya oleh koalisi KIM Plus kini kembali bersinar. Mukjizat Konstitusi membuatnya berpeluang besar dicalonkan pada Pilkada DKI

Ahok vs RK menjadi skema rivalitas dampak situasi politik dalam sepekan. Sementara rumor politik Anies akan diusung PDIP justru dihembuskan oleh para pembenci moncong putih yang mencitrakan hanya gerbong militan pendukung Anies-lah yang bisa mengimbangi koalisi keroyokan KIM plus.

Sebagian kader PDIP dan Ahoker mengancam hengkang dan golput jika Anies benar mendapat rekom Megawati. Elektabilitas Anies dilambungkan sebagai upaya memecah suara PDIP.

Namun keajaiban jika sudah terjadi tidak akan bisa dihentikan. Ahok kembali bersinar berkah dari putusan MK ibarat nyala obor di tengah kegelapan demokrasi.

Pendaftaran resmi Cakada dibuka dari tanggal 27-29 Agustus, jika Ahok benar didaftarkan oleh PDIP berpasangan dengan siapapun, diprediksi akan menimbulkan kepanikan di koalisi KIM Plus. PDIP mengubur Anies, gerbong militannya di PKS yang punya idola baru bernama Suhartoyo.

Koalisi KIM kini sedang berada di titik galau. Partai-partai besar jika tidak terburu-buru berkoalisi sesungguhnya bisa mencalonkan sendiri kadernya. Namun mereka sudah terjebak skema kejahatan politik menenggelamkan PDIP di DKI

Berikutnya publik akan menjadi saksi ketidakharmonisan di kemudian hari. KIM plus yang sesungguhnya rapuh. Pilkada serentak November takkala Jokowi sebagai perekat KIM sudah turun, otomatis membuat beban politik hilang. Mereka bisa berubah saling menjadi kanibal, saling begal, karena aslinya mereka komplotan pembegal

Jika itu benar terjadi maka diamnya PDIP atas perundungan politik, diprediksi berubah jadi bumerang bagi KIM plus. Konspirasi jahat akan menemukan jalan kehancurannya sendiri.

Ahok adalah suatu pilihan rasional, kemampuan kerja sudah terbukti, sekaligus test case untuk menguji keberagaman Indonesia, apakah bangsa ini sedang mundur atau selangkah lebih maju dalam isu primordial.

Seperti celoteh seorang pengusaha di Kopitiam Singapura, “Kami tidak khawatir siapapun pemimpin kalian, asal jangan ex gubernur DKI itu, karena berbahaya bagi kami, kebijakannya mengingatkan kami pada sepak terjang Lee KY muda, akan berdampak pada Singapura”

Demikian pula dengan 9 naga tentunya akan gerah dengan Ahok, karena akan tetap mengincar kontribusi pengembang –yang sebelumnya sempat dibebaskan Anies– untuk mengisi pundi pundi APBD, sembari menggratiskan warga DKJ dari pajak PBB

Bagi PDIP, tentunya tidak ingin mengulangi kesalahan memelihara kucing yang menjadi macan saat dewasa, menerkam induknya sendiri.

Apakah Jakmania akan mau dipimpin gegeduk bobotoh maung Bandung? Itu juga pertanyaan penting. Perseteruan *el classico sepak bola akan jadi bumbu penyedap dalam pilkada DKJ kali ini.

Secara strategis elektoral pilpres 2029, Ahok bukanlah ancaman serius bagi Presiden terpilih Prabowo, namun Anies adalah momok. PDIP jangan bertindak bodoh. Perhatikan tanda-tanda alam.

Putusan MK mukjijat untuk Ahok bukan Anies. Ketika hanya tersisa PDIP yang tidak bergabung dengan KIM plus, MK membuat putusan. Artinya Gusti menyediakan tiket itu kepada Ahok lewat PDIP. Jangan lawan kodrat Tuhan – BELIEVE IT OR NOT – WARNING!!

Mari kita tunggu lanjutan keajaiban itu.
Tabik untuk hakim MK

@DahonoPrasetyo

Berita Terkini