Lawan Perdagangan Orang Tidak Bisa Sendiri, Harus Bersama dengan Organisasi dan Masyarakat Sipil

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Memperingati hari anti Perdagangan Orang Internasional yang diperingati setiap tanggal 30 Juli, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kejahatan Terorganisir bekerja sama dengan Media Kompas dan Migran Care menggelar Talkshow di At America Jakarta Selatan

Kegiatan itu bertemakan “Stories of Women Activists: Fighting Human Trafficking and People Smuggling”.

At America sendiri merupakan pusat kebudayaan Amerika Serikat (AS) yang didirikan oleh Kedutaan Besar AS yang memfasilitasi ruang bagi generasi muda, praktisi dan aktivis untuk mempelajari isu -isu penting yang menjadi urusan dari hubungan bilateral antara Amerika dan Indonesia, dimana salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang.

Kegiatan yang dilakukan pada tanggal 7 Agustus lalu tersebut, menghadirkan 4 pembicara yang kesemuanya adalah Perempuan.

Bukan tanpa alasan memilih all female panel dalam talkshow ini, karena didasari atas refleksi persoalan pelik perdagangan orang selama ini, yang mana kita ketahui bersama bahwa mayoritas dari para korban adalah kaum perempuan.

Paulina Heni Hayon, dari the Coalition yang bertindak sebagai moderator, menyampaikan pengantar yang cukup mencengkan terkait dengan praktik perdagangan orang yang makin kesini makin terorganisir modus kejahatannya.

Ia menambahkan, praktik perdagangan orang dan penyelundupan orang bisa menyasar kepada siapa saja, yang sangat mudah ditipudaya oleh para calo dengan iming-iming penghidupan yang layak.

Heni juga menerangkan bahwa, mereka (para korban) sangat rentan, karena dipengaruhi faktor laten yang membelit kehidupan mereka seperti, situasi kemiskinan, pendidikan rendah, dan akses informasi yang terbatas serta angka pengangguran yang tinggi.

Dalam paparannya, Ketua The Coalition, Nukila Evanty menyebutkan bahwa alasan dirinya kemudian terlibat menjadi aktivis Perempuan, didasari pada refleksi ketika terlibat mendampingi korban sejak 15 tahun lalu dan bagaimana menghadapi modus-modus kejahatan perdagangan orang yang kian banyak, akan tetapi masih sedikit orang yang menyadari dan memahami bahaya dari kejahatan tersebut.

Ia membeberkan bahwa, isu ini merupakan salah satu kejahatan yang menjadi global karena dampaknya yang luas dan melibatkan jaringan terorganisir linta negara.

Nukila pun menegaskan kalau kejahatan ini (TPPO), bisa menyasar ke semua orang untuk menjadi korban, terutama anak-anak.

Nukila yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG) juga menambahkan bahwa target dari para trafficker, yakni orang-orang yang putus asa, butuh pekerjaan, butuh kehidupan yang lebih baik.

Lebih lanjut, ia pun menjelaskan bahwa orang -orang yang bekerja di sektor pekerja migran formal pun bisa terperangkap perdagangan orang, misalnya jika kontrak kerja mau berakhir dua tahun ketika di luar negeri, ada sindikat yang mengintai dan mengiming-imingi pekerja migran tersebut untuk extend tanpa perlu menempuh rangkaian jalur formal.

Kedepannya Nukila mengharapkan dan mengusulkan agar perlu ada kesepahaman untuk mengisi ruang yang kosong dalam pencegahan, penegakan hukum, peradilan yang adil dalam mata rantai criminal justice system. Ia pun menghimbau agar Advokat dan aktivis yang perlu secara optimal untuk mengisi celah kekurangan yang dilakukan pemerintah, misalnya melakukan kampanye, dan pelatihan-pelatihan di tingkat desa sampai literasi untuk mengenali perdagangan orang agar tidak terperangkap kedalamnya.

Senada dengan Nukila, Siti Badriyah, dari Migran Care menceritakan pengalamannya sebagai mantan pekerja migran. Dengan mata berkaca-kaca, ia menuturkan bahwa selama bekerja di Malaysia, banyak sekali mengalami perlakuan eksploitasi dan tindakan kekerasan dari mantan majikannya.

“Perlakuan itu dialaminya, meskipun proses kerjanya melalui agen perusahaan yang resmi.
Siti menggambarkan bahwa menjadi pekerja migran melalui jalur resmi pun rentan menghadapi banyak pelanggaran hak asasi manusia seperti tak digaji, bekerja terus menerus tanpa istirahat cukup, kemudian berganti majikan tanpa sepengetahuan pekerja , pelecehan seksual dan pengabaian cukup panjang untuk menunggu keadilan,” paparnya.

Penyintas yang kini menjadi Advokat pembela pekerja migran nasional, menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya siap dan follow up jika menerima laporan dari korban atau keluarga korban. Bayangkan masih banyak pekerja migran Indonesia yang mungkin menghadapi nasib yang buruk di negara lain.

Baik Nukila maupun Siti menyebutkan kendala-kendala dalam melakukan advokasi lawan perdagangan orang.

Nukila meyebutkan aksi penegakan hukum yang heroic harus diimbangi dengan pencegahan, peningkatan program pendampingan bagi korban yang mengalami trauma, kerjasama antara penegak hukum dengan organisasi masyarakat sipil dirasa masih kurang dan dukungan lainnya bagi organisasi masyarakat sipil.

Sedangkan Siti menjelaskan .pengalamannya dan lembaganya menghadapi ancaman termasuk peretasan handphone dan ancaman fisik terhadap dirinya dan organisasinya. Nukila menambahkan, masih adanya pelecehan seksual yang dialami advokat perempuan, stalking atau pembuntutan, profiling terhadap advokat perempuan dan bentuk intimidasi lainnya. Lawan yang dilawan terlalu besar. Jadi, jangan pernah sendirian dan harus bersama-sama dengan individu dan organisasi masyarakat sipil lain.

Kegiatan yang berlangsung selama 2 jam itu, akhirnya ditutup oleh moderator yang membuat beberapa catatan penting perihal beberapa agenda penting kedepannya yang perlu dilakukan seperti, melakukan kerja-kerja advokasinya secara konkrit, melakukan pendampingan korban sampai tuntas, mendorong upaya pencegahan berbasis nilai-nilai pendidikan dan kultural masyarakat setempat, dan berjejaring kerja secara meluas untuk memerangi bahaya akut perdagangan orang. (red)

Berita Terkini