Warga Jakarta Rindu Ahok, Bagaimana Nasib Anies dan Kaesang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Basuki Tjahaja Purnanna alias Ahok

 

 

okeh :Mohamad Guntur Romli, Kader PDI Perjuangan

Tak ada yang lebih mengejutkan dari hasil survei Litbang Kompas bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih menempati Cagub terkuat nomer dua setelah Anies Baswedan.

Survei yang diumumkan Selasa 16 Juli 2024 menemukan angka 29,9 persen warga Jakarta memilih Anies dan 20,0 persen memilih Ahok. Sementara Ridwan Kamil yang selama ini digadang-gadang sebagai rival terkuat Anies menempati nomer tiga dengan angka 8,5 persen.

Hasil survei ini mengejutkan dan bisa mengubah peta politik di Jakarta. Dan yang pertanyaan penting yang menggelayut: apakah ini pertanda warga Jakarta merindukan Ahok?

Di tengah kondisi Jakarta yang tak kunjung berubah drastis, masalah-masalah klasik yang masih terus mendera dari soal kemacetan, banjir, pelayanan publik dan lain-lain, ditambah Jakarta “ditinggal” sebagai ibu kota yang telah berubah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) apakah warga Jakarta masih merindukan kerja keras Ahok untuk menyelesaikan masalah-masalah di Jakarta?

PDI Perjuangan, partainya Ahok, di mana Ahok menjadi Ketua DPP Bidang Perekonomian, memang tidak bisa mengusung Cagub dan Cawagub sendirian karena kurang 7 kursi. PDI Perjuangan di Jakarta memperoleh 15 kursi. Karena itu PDI Perjuangan harus membangun kerjasama antar partai-partai untuk mengusung pasangan cagub dan cawagub.

Dua Opsi PDI Perjuangan untuk Pilgub Jakarta

Selama ini memang ada dua opsi yang beredar dari PDI Perjuangan untuk Pilkada Jakarta.

Pertama, Cagub dari kader PDI Perjuangan, Cawagub bisa dari kader partai yang lain. Kedua, Cagub bisa dari kader atau diusulkan oleh partai lain, sementara Cawagub dari kader PDI Perjuangan.

Untuk opsi pertama, nama Ahok memang sudah disebut-sebut oleh Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, bersama nama lain seperti Risma, Andika Perkasa dan Pramono Anung.

Opsi kedua, nama Anies yang disebut-sebut sebagai Cagub, sementara untuk Cawagubnya ada 2 nama yang diusulkan oleh DPD PDI Perjuangan Jakarta, yaitu Charles Honoris (Anggota DPR RI) dan Prasetyo Edi Marsudi (Ketua DPRD DKI Jakarta).

Nama Ridwan Kamil tidak disebut di opsi kedua, karena bisa jadi nama RK sudah identik dengan Pilgub Jawa Barat. Menurut sejumlah hasil survei, RK tak ada tandingannya di Jawa Barat.

Ridwan Kamil sepertinya tidak mau ambil resiko dan memaksakan diri masuk Jakarta. Bagaimanapun kata pepatah “telur hari ini lebih baik daripada ayam esok hari”. Di Jabar, RK sudah jelas-jelas bisa menikmati “telur”. Buat apa berharap terlalu jauh: “telur” yang belum tentu benar-benar menetas menjadi ayam di Jakarta?

Kaesang Gentanyangan

Sementara Kaesang yang digadang-gadang dengan segala kekuatan, tapi malah semakin terlihat kebingungan, seperti kata pepatah “Pagi kedele, Sore tempe”: Paginya masih bilang realistis dengan Anies, tapi Sorenya sudah bilang berbeda dengan Anies, kemudian bermanuver mendatangi kantor PKS setelah sebelumnya menuduh Sekjen PKS “pembohong” dan meminta PKS mencalonkan kadernya sendiri, yang dipahami sebagai manuver ingin menjegal Anies, namun hasil survei Litbang Kompas menunjukkan dukungan ke Kaesang hanya 1 persen saja.

Menurut informasi kawan saya yang juga dari lembaga survei yang lain, 1 persen buat Kaesang itu tidak berubah dari berbulan-bulan yang lalu.

Bisa jadi warga Jakarta yang sudah cerdas tidak mau terpengaruh segala manuver dan gimik basa-basi dari “ketua umum karbitan” yang baru 2 hari menjadi anggota partai, tiba-tiba “simsalabim” sudah menjadi ketua umumnya. Terus mau dipaksakan memimpin Jakarta?

Putusan MA yang mengubah usia pencalonan Cagub dan Wagub, mau diakui atau tidak, jelas-jelas sebagai jalan untuk memuluskan jalan Kaesang, seperti halnya putusan MK yang memuluskan jalan kakaknya: Gibran.

Banyak yang menganggap bahwa hukum sudah dipolitisasi agar tunduk pada Dinasti Penguasa.

Gibran yang tiba-tiba mundur dari jabatan wali kota Solo yang kemudian mau tinggal di Jakarta dan diberitakan mau pindah domisili dan jadi pemilih di Jakarta, tak sedikit yang menganggapnya bagian strategi totalitas untuk mendongkrak Kaesang.

Saya yakin warga Jakarta cerdas dan bernurani bersih tidak akan membiarkan kota tercintanya jatuh pada permainan politik Dinasi Penguasa dengan mempolitisasi hukum dan panggung uji coba politik demi kepentingan keluarga itu. Karena masa depan Jakarta menjadi taruhannya.

Anies “Dikunci” PKS

Nama Anies disebut-disebut PDI Perjuangan berdasarkan realitas politik masyarakat Jakarta. DPD PDI Perjuangan Jakarta telah membuka usulan dari bawah dan mencermati suasana kebatinan warga Jakarta, maka itulah nama-nama yang diusulkan.

Menyebut nama Anies bukan tanpa resiko, mengingat Pikada Jakarta tahun 2016-2017 yang penuh dengan kontroversi dan menyisakan luka batin hingga polarisasi keras yang membelah warga Jakarta. Ada luka dan trauma.

Akhir nasib Ahok juga tragis, yang sama-sama kita tahu, namun Ahok tampak banyak belajar dari kejadian itu, sehingga dia dalam setiap kesempatan selalu menjelaskan bahwa dia telah berubah dan banyak belajar dari kejadian itu. Tanpa malu-malu, tanpa kemarahan, Ahok dengan penuh kesadarannya menerima dengan kelapangan hatinya.

Sikap Ahok itu tentu punya pengaruh besar pada pendukungnya, kalau Ahok sudah menerima, tak ada marah dan dendam, buat apa kita memelihara marah dan dendam? Bukankah Jakarta masih membutuhkan perhatian untuk terus diperbaiki dan disempurnakan? “Let bygones be bygones” Yang Lalu Biarlah Berlalu.

Apalagi ada nama Charles Honoris yang diusulkan oleh DPD PDI Perjuangan Jakarta untuk mendampingi Anies bisa menjadi pertimbangan yang serius sebagai langkah “mengobati” luka akibat polarisasi sekaligus menambah kekuatan (di mana Anies terlihat lemah) yaitu wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara yang merupakan Dapil Charles Honoris sebagai Anggota DPR RI yang pada tahun 2024 ini terpilih kembali.

Apakah pasangan ini mau ditujukan sebagai “rekonsiliasi sosial” untuk mengobati “luka” akibat polarisasi Pilkada Jakarta sebelumnya? Harapannya memang seperti itu.

Prasetyo Edi Marsudi yang menjabat Kedua DPRD DKI Jakarta selama 2 periode (2014-2019) dan (2019-2024) juga tak kalah menarik dari sisi pengalamannya yang mendalam tentang seluk-beluk dan segala pesoalan Jakarta.

Namun opsi kedua ini seperti menemui tembok, karena PKS telah “mengunci” Anies bersama kader mereka: Shohibul Iman. Akronim pasangan sudah diumumkan: AMAN (Anies-Shohibul Iman). Meski faktanya, PKS Jakarta tidak bisa mengusung pasangan ini sendirian, mereka masih kurang 4 kursi dari persyaratan pencalonan. Tapi sebelum pendaftaran, segala dinamika politik kemungkinan besar masih akan terjadi.

Kini nama Ahok kembali muncul dan menguat, dan bisa jadi akan semakin mengubah peta politik Pilgub di Jakarta.

Warga Jakarta Ingin Ahok Kembali?

Tapi apakah warga Jakarta benar-benar merindukan Ahok?

Menurut Buya Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan, warga Jakarta memang sedang merindukan pemimpin yang tegas dan berintegritas seperti Ahok.

“Ahok bekerja dengan sangat baik. Terlebih, dia punya integritas, saya rasa, sangat dipahami oleh semua masyarakat. Mungkin itulah yang membuat namanya kembali mencuat. Jadi, ini adalah suara yang muncul dari bawah,” kata Buya Said Abdullah.

Sedangkan Ahok merespon hasil survei Litbang Kompas tidak mau mengada-ada apakah akan maju kembali di Pilkada Jakarta. Meskipun di kesempatan lain, dia mengaku merasa lebih siap karena “sudah lulus dari ‘kuliah’ di Mako Brimob”. Maksudnya Ahok sudah belajar banyak dan mengubah dirinya setelah di tahanan Mako Brimob.

“20 persen itu masih jauh. Jakarta membutuhkan 50+1, apalagi PDI Perjuangan tidak cukup kursi, kita tidak tahu apa partai lain apakah bisa dan berani bekerjasama dengan PDI Perjuangan” kata Ahok di acara ROSSI di Kompas TV 18 Juli 2024.

Saya kira Ahok benar. 20 persen memang masih jauh. Semuanya akan kembali pada warga Jakarta, apakah benar-benar rindu dan menginginkan Ahok kembali?

Rindu pada pengaduan tiap pagi di Balai Kota di mana Ahok bertemu dengan semua lapisan masyarakat yang mengadu kemudian menyelesaikannya.

Rindu pada kesigapan segala “pasukan-pasukan” berwarna: Oranye (PPSU), Biru (Mengurusi sungai, waduk, gorong-gorong) Merah (mengurusi bedah rumah), Ungu (mengurusi Lansia dan warga terlantar), Hijau (mengurusi makam dan taman), Kuning (mengurus jalan dan penerangan) Pink (Kesejahteraan Keluarga), Putih (bidan dan perawat)

Rindu pada cerita-cerita dan keharuan marbot-marbot masjid dan musola yang diumrohkan Ahok.

Rindu pada pembangunan infrastruktur tanpa harus mengunakan APBD tapi dengan menekan perusahan-perusahan besar seperti pembangunan Simpang Susun Semanggi, pengerukan waduk-waduk dan sungai-sungai serta pembangunan rusun-rusun.

Rindu pada cepatnya penyelesaian masalah di lingkungan kita melalui laporan yang hanya cukup menekan jempol di aplikasi “Qlue”.

Rindu pada transparasi APBD dan kita tidak takut uang pajak kita dikorupsi dan benar-benar kembali ke kita.

Rindu pada maraknya pembangunan RPTRA dan ruang-ruang terbuka hijau tempat warga bertemu dan berkegiatan dari senam ibu-ibu, tempat bermain anak-anak dan membaca buku dan lain-lainnya.

Benarkah warga Jakarta rindu Ahok? Hanya warga Jakarta yang bisa menjawabnya.

Mohamad Guntur Romli, Kader PDI Perjuangan

Berita Terkini