Koreografi Kekuasaan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

 

 

Oleh :  Made Supriatma

Sodara tentu masih ingat ketika dia berkata semuanya belum siap. Listriknya apa sudah siap? Airnya apa sudah siap? Begitu dia bertanya ketika itu.

Dia tahu bahwa proyek ambisiusnya, yakni memindahkan ibukota negara dalam waktu singkat, tidak akan berhasil. Dia sudah memecat kepala dan wakil otoritanya.

Dia menyuruh orang kepercayaannya menanganinya. Dalam arti, menangani untuk mempertontonkan apa yang bisa dipertontonkan. Paling tidak tontonan yang pas masuk di layar hape dan TV serta foto2 di koran.

Kemudian dia sadar bahwa dia tidak memproyeksikan kegagalan. Tidak, dia tidak boleh terlihat gagal. Namun, sukses jelas tidak akan tercapai. Tidak akan mungkin proyek ini akan jadi hanya dalam waktu 90 hari. Itu hil yang mustahal, kata almarhum Asmuni, pelawak Srimulat.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Saya hapal betul caranya berkuasa selama hampir 10 tahun terakhir. Ketika dihadapkan pada kesulitan, dia biasa mempertontonkan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. DIa seolah sadar bahwa dalam dunia politik modern yang dibutuhkan adalah perhatian.

Politik perhatian. Yakni, bagaimana orang tidak fokus pada kekurangan atau kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan atau kelemahan itu harus dieliminasi. Kalau bisa bagaimana menjadi kekurangan itu sebagai kelebihan. Bagaimana membuat kelemahan menjadi kekuatan. Dalam hal ini, harus diakui, dialah kampiunnya.

Misalnya, ketika di awal-awal kekuasaannya, dia tidak memiliki potongan untuk menjadi presiden. Dia kurus dengan penampilan ndeso. Ada yang mengejeknya, plonga-plongo. Orang mengejeknya kiri kanan. Tanggapannya adalah “Aku rapopo!”

Ia menelan ejekan-ejekan itu dan kemudian memuntahkannya balik kepada pengkritiknya. Para pendukungnya menjadi kagum dan terharu biru. Kalangan rakyat bawah kemudian merasa ‘terwakili’ karena toh ada orang yang plonga-plongo mewakili dirinya.

Banyak orang tidak mengerti bahwa itulah inti dari populisme. Yakni memainkan perasaan dengan pura-pura menjadi lemah seperti rakyat kecil, tidak elitis, tidak kelihatan terlalu pintar, dan menimbulkan belas kasihan. Itulah yang membuat pendukungnya menjadikannya ‘kultus’ dan dari sana juga dia yakin bahwa ia tidak akan terkalahkan.

Seringkali dia melawan kekuatan dengan mengeksploitasi yang lemah. Dalam krisis-krisis, dia muncul bermain dengan cucunya yang lucu. Untuknya, tidak ada batas dalam politik. Bahkan anggota keluarga yang imut pun bisa menjadi pion kekuasaan.

Namun jangan salah. Dia paham persis bahwa kekuasaan tidak boleh selamanya mempertontonkan kelemahan. Sesekali ia memainkan pecut. Dia mengorkestrasi kemarahan kepada pembantu-pembantunya. Dan, tentu saja, memastikan bahwa kemarahan itu dilihat oleh publik.

Dia juga gemar bersolek dengan pakaian ala raja-raja. Masih ingat proyeksinya tentang keragaman, dimana di acara-acara kenegaraan penting dia memakai pakaian adat? Dia hampir selalu tampil dengan pakaian raja atau kepala suku. Bukan pakaian adat para jelata.

Dia tahu persis bagaimana memainkan kelemahan dan kekuatan ini. Bagaimana membuat sebuah spectacle (pertunjukan) dimana dia mendapat perhatian secara maksimal. Persis tepat dengan karakter politisi populis: narsistik!

Nah, kembali ke soal di atas. Ibukotanya jelas belum akan jadi dalam waktu 90 hari ke depan. Namun ia tidak ingin terlihat gagal.

Yang dilakukan adalah bekerja disana. Apakah istananya selesai atau tidak selesai, namun penting bagi dia agar publik tahu bahwa dia sudah bekerja disana!

Namun, sekaligus dia tidak ingin memperlihatkan bahwa dia bekerja dengan suasana nyaman seperti di Jakarta. Maka, secara sangat taktis, dia menciptakan pemandangan bahwa disana tidak ada meja. Hanya kursi saja. Padahal, dengan kekuatan dan kekuasaan negara yang dia punya, apa sih sulitnya mengangkut meja ke sana?

Kemudian, kepada pers dia bilang bahwa tidurnya tidak nyenyak disana. Aha! Kesan yang muncul adalah situasi yang serba terbatas. Mungkin karena nyamuk. Mungkin karena tempat tidur yang tidak nyaman.

Sebagai penguasa sebenarnya itu bisa dia selesaikan dengan mudah. Sangat mudah. Dia membawah ratusan ribu prajurit, jutaan pegawai negeri, dan belum lagi kolega-kolega yang superkaya. Namun, dia memilih tidur tidak nyenyak?

Ini koreografi kekuasaan yang sangat sederhana. Saking sederhananya, banyak orang tidak menganggapnya sebagai koreografi. Yang ada adalah persepsi bahwa dia bertanggungjawab. Dia adalah penyelesai masalah (problem solver). Dia punya komitmen sangat kuat untuk mewujudkan ibukota impiannya itu.

Yang tidak dipikirkan oelh banyak orang adalah bahwa semua itu sudah dikoreografi untuk membangun persepsi. Apakah ibukota itu akan selesai dalam 90 hari sisa kekuasaannya? Jelas tidak. Bahkan ada kemungkinan penguasa berikutnya atau bahkan mungkin anaknya sendiri (oh Lord, spare us from this to happen!) mungkin tidak bisa melanjutkannya.

Orang sering lupa pada pola-pola koreografi ini. Ingat mobil Esemka, ketika dia berbual bahwa orang harus inden 3-4 tahun untuk membelinya? Segera muncul bahwa ia pemimpin yang visioner, yang bekerja keras untuk kemajuan negeri ini. Dia tahu persis bahwa itu tidak mungkin dilakukan. Namun toh dia bisa mengkoreografi sukses, bahkan ketika sukses itu sendiri adalah kegagalan.

Saya maklum kalau Sodara tidak paham. Karena memang ketidakpahaman itulah yang dia kehendaki. Semakin Anda tidak paham, maka ia semakin berhasil!

Berita Terkini