Surachman dan Tuduhan Tak Beralasan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

 

 

Oleh: Garda Maharsi

Seperti cinta, kadang resiko memeluk ideologi adalah kematian tanpa rasa.

Hawa panas mengular di Jakarta sore itu. 4 Agustus 1965, rapat Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Indonesia -Partai nasionalis terbesar di Asia Tenggara- seperti hujan es di atap seng. Semua saling menunjuk dan berbicara dengan nada tinggi. Keputusan penting dikeluarkan dan -seperti kebanyakan maklumat politik- publik akan bersungut-sungut mengetahui ending cerita.

Dewan Pimpinan Pusat PNI secara resmi memecat beberapa anggotanya : Osa Maliki, Sabilal Rasjad, Isnaeni, Hardi, Hadisoebeno, Umar Said, Sugeng Tirtosiswojo, dan beberapa nama pengurus lain. Mereka mayoritas adalah pengurus teras PNI -dari Pusat sampai Daerah- yang dianggap nyeleweng, karena tidak taat pada keputusan Partai khususnya terkait garis perjuangan partai yang termaktub dalam “Deklam” -Deklarasi Marhaenis- yang menyisipkan definisi marhaenisme sebagai “Marxisme yang sesuai dengan konteks Indonesia”. Barang tentu tidak hanya soal definisi, melainkan ada derivat garis perjuangan partai yang kental rasa Marxisme dan digugat oleh kelindan politik.

Pecatan yang ditulis di Keputusan Partai 4 Agustus 1965 tersebut disebut sebagai “marhaenis gadungan”.

Meski dipecat lewat keputusan partai resmi, namun tak semua nama menerima. Beberapa malah tidak menganggap. Politik memang panas, multi-spektrum, cenderung likat, dan penuh tumbukan. Sunario -salah seorang pendiri PNI- dalam buku Banteng Segitiga menyebut “Keputusan tsb ditolak dan rapat DPP dianggap tidak bermanfaat”.

PNI seperti limbung. Langkah reformasi partai dengan “Deklarasi Marhaenis” yang berusaha menyaut semangat publik yang makin ke kiri, harus berdampak pada gesekan internal tanpa henti.

Limbung semakin mengarah pada kehancuran ketika peristiwa Gestok terjadi. Dewan Pimpinan Pusat PNI dibawah komando Mr. Ali Sastroamidjojo dan Sekjen Surachman menyatakan diri berada di belakang Presiden Soekarno dan Nasakom, dan ambil sikap diplomatis terhadap keributan yang terjadi di Lubang Buaya. Sementara para pecatan ini -anti Deklam- mengambil momen dengan mendeklarasikan DPP tandingan, dengan mengangkat Osa Maliki sebagai Ketua dan Usep Ranuwidjaja sebagai Sekjen. Keduanya saling mengklaim sebagai PNI yang sah. Keduanya berebut pengurus di daerah. Keduanya ribut mendaku yang paling marhaenis.

Dan seperti cerita film, selalu ada pihak yang bekerjasama dengan yang batil, datang terakhir sembari mengoyak jalan cerita. Lewat dukungan abri dan rezim transisi, DPP Osa-Usep mendapat angin. DPP Ali-Surachman dipojokkan, dirisak, dan dilabeli sebagai PNI “Asu” -singkatan Ali Surachman- yang lebih dekat dengan olok-olok. Kongres Persatuan di Bandung April 66 membalik keadaan, DPP Osa-Usep menang. Kongres ribut tak karuan. Manai Sophiaan dalam bukunya “Kehormatan Bagi Yang Berhak” memberikan keterangan pengamatan lapangannya. Kongres Bandung ternyata penuh tekanan dari pihak eksternal diluar PNI karena dihadiri oleh soeharto -Waperdam & panglima angkatan darat.

GmnI -organ underbouw PNI- yang terafiliasi dengan kekuatan Osa-Usep juga ikut dalam aksi menuntut Bung Karno mundur. Mereka bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan mendukung garis politik soeharto. Sebuah anomali besar mengingat GmnI lahir dan bertumbuh dengan pemikiran Bung Karno. Ketidakpastian kepemimpinan nasional dan leadership kepartaian menghasilkan gempa politik. Kader di lapangan saling serbu.

Kelak, pada tanggal 21 Desember 1967, PNI -yang dipimpin manusia takluk- menyatakan Kebulatan Tekad. Mereka mencabut Bapak Marhaenisme yang melekat pada sosok Bung Karno. Mereka mencari selamat masing-masing. Banteng-banteng ini, berlari sembunyi dibidik bedil.

Banteng-banteng ini ambruk ditubruk ketidakpastian, rasa takut, dan pragmatisme.

Ketika transisi pemerintahan berjalan dan operasi politik memberangus komunis dilancarkan, semua kemudian menjadi bingung. Ideologi sebagai baju identitas banyak ditinggalkan. Lambang partai seperti pudar didera cemas. Mereka takut dibina dan dibinasakan tentara.

Sebagian besar banteng-banteng ini, yang setia pada Bung Karno, yang mengimani gagasan politiknya -marhaenisme- lari. Mereka jadi pesakitan politik dan diburu.

Tak terkecuali Surachman. Sosok tegas namun tekun ini -Surachman menulis esai dan prosa- tak nampak lagi di Jakarta. Dia harus jadi kembara. Dia melihat partai dan ideologi jadi bahan empuk santapan tentara…

Di suatu pagi yang tak biasa, di pinggir jalan desa Sumberdadi Blitar, seorang tua berjalan. Ia memanggul tas ransel dan menggendong canteen -wadah minum- kecil di pinggangnya. Tak disadari ia ternyata diikuti oleh 2 orang tentara.

“Berhentiiiiiiiiiiiiiii” seru Peltu Jatimin —anggota Kompi C Batalyon 521 Kodam Brawijaya.

Pria tua ini kaget, tak sempat berpikir jernih. Kembara ini memutuskan lari. Peltu Jatimin memberikan tembakan peringatan 2 kali. Masih dalam jarak tembak, Kopda Soepono melepaskan pelurunya. Pria tua ini lungsur. Pahanya nyaris buntung ditombak peluru, nafasnya menyingsal menjemput maut.

Ketika tasnya dibuka, isinya adalah sarung bekas dipakai sholat dan sebuah buku Mao Zedong.

Setelah beberapa hari identifikasi, Wakil Komandan Satgas Operasi Trisula (operasi pembasmian komunis di Jawa Timur) Letnan Kolonel Sasmito merilis info akurat. Orang tersebut adalah Ir. Surachman, mantan menteri Irigasi sekaligus mantan Sekretaris Jenderal PNI. Setelah diburu sejak Mei 1966, akhirnya sosok ini berhasil ditemukan meski dalam keadaan meninggal. Surachman dituduh komunis. Ya, komunis. Ko-mu-nis.

Terbang ke tahun 1969. Tahun dimana Soeharto semakin kuat mengkonsolidir kekuatan. Dalam sebuah sidang pengadilan, terdakwa menyebut bahwa Surachman adalah benar kader komunis yang disusupkan ke dalam PNI untuk bisa mengambil alih pucuk pimpinan. Barang tentu itu adalah salah, dan terdakwa pasti sudah dipaksa bicara mengikuti alur tentara. Tapi malang tak bisa dinyana, nama Surachman yang tebas peluru harus tetap dicatat sebagai seekor komunis -dan karenanya sah dibantai (?)

Sejarah ditulis oleh yang menang, meski yang kalah tak akan bisa diam.

Tuduhan bahwa Surachman adalah komunis yang menyusup ke tubuh PNI lalu banyak dikritik. Para pembela ini juga bukan main-main; mereka mengetahui fakta sejarah dan merunut akar masalah dengan nurani yang buncah.

Satya Graha -seorang penulis & redaktur Suluh Indonesia- menyatakan kesangsiannya.

“Saya kira karena dia loyalis Bung Karno yang sangat radikal, lantas musuh-musuh politik Bung Karno mem-PKI-kannya setelah peristiwa Gestok” ucapnya.

Dalam buku “Nationalism In Search of Ideology: The Indonesian Nationalist Party 1945-1965” karya Jose Elisio Rocamora, tampak argumen yang lebih memadai. Dari beragam tulisan Surachman di Suluh Indonesia -Surachman memang rajin menulis esai- terlihat jelas bahwa garis ideologisnya tak serampak dengan komunis. Surachman menulis dengan pendekatan negara-sentris, membuang alam pikir kolonial dan feodal, serta mendorong akses kesejahteraan yang lancar bagi kaum marhaen.

Rocamora sendiri mafhum -sepenuh hati yakin setelah menjelajahi dokumen sejarah- bahwa pilihan langkah politik Surachman memang tidak mudah. Ketika Soeharto mulai menangkap para menteri Kabinet Dwikora II untuk diinterogasi, dan melihat kebanyakan dari mereka dipaksa anti-Soekarno, Surachman melawan.

Ia pulang ke kampung masa kecilnya di Blitar, dan di saat sisa-sisa kekuatan rakyat berusaha menjadi guerillas -berperang gerilya susur desa- melawan tentara, ia bergabung. Sebagai seorang Soekarnois, ia tidak hanya mendukung sosok Soekarno, namun juga mengimani pemikiran bahwa marhaen adalah ikhtiar hidup terbesar. Di sela-sela gerilya ia masih berusaha membaca dan menulis -meski dengan nama samaran- untuk mengecam tentara yang mencaplok daulat politik kaum marhaen.

Lulusan insinyur pertanian Universitas Gadjah Mada ini, dengan segenap hati, merelakan hidupnya memeluk ideologi. Tuduhan tak beralasan -komunis, penyusup, infiltran bayaran- tak tedas di hidupnya yang penuh taji.

Meski harus mati dibedil, Surachman menjelma asap rokok yang dihembus kita hari ini. Banteng-banteng tidak mudah dibeli, tidak gampang takluk tawaran kuasa demi menghidupi diri, dan rela pergi demi semua keyakinan pasti.

Surachman, marhaen, keras hati. Kita dapat kisah kecil dan api besar membumbung di kesadaran hati✨

Berita Terkini