Bipang Ambawang dan Indahnya Toleransi Presiden Jokowi Melayat Istri Yasonna Laoly

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sedih. Habis Bipang Ambawang, kini doa Presiden Jokowi di depan orang yang tengah berduka pun digoreng, soal kopar-kapir, kafir-iman. Konteks budaya, konteks kepatutan kemanusiaan, soal kehidupan berbangsa, semua dinafikan. Adanya neraka dan surga. Dosa dan pahala.

Menghormati orang yang meninggal, sejatinya bukan hanya untuk yang meninggal. Bukan. Namun, juga adalah etika kemanusiaan.

Untuk yang hidup. Untuk yang tengah berduka. Adalah kejahatan kemanusiaan, ketika berdoa, berkumpul, penghiburan, dikaitkan dengan neraka dan surga. Sungguh menyakiti kemanusiaan.

Tentang surga dan neraka, dosa dan pahala: adalah urusan di akhirat, yang hanya berdasarkan iman, percaya, untuk kehidupan dan harapan masa depan yang semua orang belum pernah ke sana.

Namun, manusia pasti ke sana. Ke surga, atau ke neraka hanya imajinasi yang kini bisa dibayangkan.

Bagi yang masih hidup: jalani hidup dalam kehidupan. Bagi yang telah mati, jalani kehidupan dalam kematian. Jadi ada porsi logisnya: jangan hidup tapi pikiran mati. Hingga doa pun dihakimi.

Kilas balik. Bipang Ambawang membuat seluruh tatanan komunikasi Presiden menelanjangi diri. Menteri bikin blunder. Minta maaf: lah Jokowi dan isi promosi babi panggang apa salahnya? Apa Presiden harus kampanye beli unta atau kurma palsu Tenabang?

Istana ngeles. Karena mereka tidak memiliki pemahaman Pancasila, toleransi, maka begitu kadal gurun berteriak tidak punya bahan berpikir. Bahan berpikir tidak ada (baca: Pancasila), maka output pernyataannya: ngawur.

Jokowi tertawa ngakak melihat Tim Komunikasi Istana dan Menteri Kebingungan yang gelagapan karena tidak punya dasar berpikir. Sejatinya sesuatu harus sudah ada sejak dalam pikiran. Toleransi kehidupan.

Kadang ketika kita masih hidup, kita lupa rasa kematian. Bahkan ada yang merasa tidak akan mati. Maka kelakuan pun kurang ajar. Masih hidup mencaci maki, bahkan mendoakan agar orang cepat mati. Suatu hal yang jauh dari ajaran agama apa pun, termasuk Islam.

Maka ketika Presiden Jokowi berdoa pun, mendoakan agar almarhumah istri Yasonna Laoly diterima di sisiNya, sesuai dengan amalan dan keyakinannya, pun dipersoalkan.

Seolah Presiden Jokowi dijadikan sebagai Ulama. Bukan. Jokowi adalah Presiden Semua Agama: Hindu, Kristen. Islam. Buddha. Konghucu. Katolik. Protestan. Maka mendoakan yang baik-baik sebagai Presiden RI lanjutkan. Istana jangan menanggapi. Cukup saya saja daripada blunder seperti Bipang Ambawang meminta maaf segala.

Istana dan Presiden Jokowi, termasuk media Istana jangan ragu untuk memuat foto yang menggambarkan toleransi dan Pancasila. Media Istana jangan mundur lantas meminta maaf kepada Nouval Assegaf, atau Novel Baswedan. Tak usah digubris. Tegak lurus.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Agama untuk seluruh alam semesta. Untuk benda hidup dan benda mati. Maka Allah SWT yang menguasai seluruh isi alam semesta. Ruang dan waktu. Islam dan Allah SWT bukan hanya ada di Bumi yang seuprit ini. Kecil.

The greatness of God, yang dirangkai dengan ajaran Islam adalah kebesaran alam semesta. Bukan hanya soal manusia – namun kemanusiaan. The whole human beings. Malah esensi tentang kehidupan manusia. Dan, ketika manusia mati pun ada kehormatannya.

Manusia yang tidak beragama Islam pun layak dihormati. Karena sejatinya Islam untuk seluruh alam: bukan hanya untuk sektarian. Ajaran menghargai perbedaan adalah esensi diturunkannya Islam ke muka bumi. Manusia diciptakan dengan berbagai bangsa untuk saling mengenal (QS 49:1).

Mendoakan orang yang meninggal atau jenazah non-muslim tentu tidak masalah. Nabi juga pernah menghormati jenazah orang Yahudi. Hadits Bukhari vol. 2 no. 398 dan 399. Ada rombongan mengangkut jenazah orang Yahudi.

Nabi pun berdiri menghormati. Sahabat Nabi segera memberi tahu, seolah menegur dengan nada protes: “Itu jenazah orang Yahudi.” Nabi menjawab: “Bukankah ia juga manusia?”.

Dialog singkat ini menggambarkan betapa Rasulullah sangat menghormati manusia karena kemanusiaannya, bukan karena agamanya. Rasulullah adalah model terbaik dari praktek toleransi termasuk kepada orang yang sudah meninggal sekalipun. Dan, Jokowi memraktikkannya.

Oleh: Ninoy Karundeng

- Advertisement -

Berita Terkini